Perdagangan dan Kesejahteraan

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS 106 : 1-4)


Salah satu ‘kebiasaan’ masya rakat Quraisy, sebagaimana yang terekam pada ayat di atas adalah aktivitas perdagangan yang dilakukan turun-temurun, jauh sebelum da tangnya misi kerasulan Muhammad SAW. Suku Quraisy terkenal sebagai bang sa yang ulung dalam berdagang.


Yang menarik adalah dalam perjalanan bisnis tersebut, para penguasa negeri yang dilalui oleh kafilah dagang Quraisy memberikan jaminan keamanan, sekaligus jaminan untuk mengatasi segala hambatan. Jaminan tersebut merupakan refleksi dari penghormatan mereka terhadap Baitullah.


Munculnya sikap penghormatan ini, antara lain disebabkan oleh kesaksian mereka terhadap kisah Abrahah bersama pasukan bergajahnya, yang mencoba untuk menginvasi Ka’bah, namun kemudian dihancurkan oleh Allah SWT dengan mengirimkan pasukan burung yang melemparkan batu dari api neraka. Sedangkan di sisi lain, aktivitas bisnis yang dilakukan, ternyata mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi Makkah dan jazirah Arab pada saat itu.


Dalam beberapa tafsir dinyatakan bahwa berdagang bagi kaum Quraisy adalah sumber utama penghidupan mereka. Hasil dari perdagangan tersebut kemudian mereka gunakan untuk dua hal. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Kedua, sebagai sumber dana untuk berkhidmat dan menjaga Ka’bah yang menjadi kebanggaan dan simbol Makkah saat itu. Keberadaan Ka’bah ini juga telah mengundang datangnya para peziarah dari negeri-negeri di sekitarnya sehingga secara ekonomis, para penduduk Makkah sangat diuntungkan.


Rasul sebagai pebisnis
Kebiasaan berbisnis sejak muda pun dilakoni oleh Rasulullah, yang merupakan keturunan Bani Hasyim, sebuah keluarga yang sangat terhormat di Makkah. Menurut ekonom syariah M Syafi’i Antonio, Rasulullah menghabiskan waktu selama 28 tahun untuk berdagang, lebih lama dari ke seluruhan masa kenabiannya yang berlangsung selama 23 tahun.


Kebiasaan berdagang ini berawal ketika beliau berusia 12 tahun. Waktu itu, pa mannya Abu Thalib mengajak Rasulullah untuk berdagang ke Syria. Sejak itulah Rasul melakukan semacam kerja magang selama lima tahun. Baru pada usia 17 tahun, beliau mulai membuka usaha kecil-kecilan secara mandiri di kota kelahirannya.


Karena kejujuran dan kepiawaiannya dalam berbisnis, para pemodal be sar di Makkah mengajak Rasul un tuk bermitra. Termasuk di antaranya adalah Siti Khadijah, yang kelak menjadi istri beliau.


Pelajaran penting
Dari kisah-kisah di atas, ada sejumlah pelajaran penting yang bisa diambil. Pertama, perdagangan (dan sektor riil secara keseluruhan) adalah kunci utama bagi perekonomian suatu masyarakat dan bangsa. Produktivitas dan kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh maju tidaknya sektor ini. Karena itu, ajaran Islam memberikan sejumlah stimulus bagi pengembangan perdagangan.


Yang kedua, Alquran secara eksplisit telah menyebutkan bahwa perdagangan dan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) adalah antitesa dari sistem ekonomi ribawi (QS 2:275-279). Karena itu, tidak mungkin umat Islam akan dapat mengeliminasi sistem bunga yang telah mendominasi perekonomian dunia dewasa ini, jika tidak mampu melahirkan para pebisnis tangguh. Selain itu, perkembang an lembaga keuangan syariah juga tidak akan optimal dalam melahirkan kesejahteraan jika tidak diimbangi kemampuan umat menguasai perdagangan.


Berangkat dari pemikiran ini, sejak tanggal 1 Maret 2011 lalu, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bersama Maje lis Ulama Indonesia (MUI) bersepakat un tuk membentuk Komite Pelaksana Pemberdayaan Ekonomi Umat (KP2EU). Komite ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk merumuskan model pengembangan usaha umat, terutama usaha kecil dan mikro.


Namun, QS Quraisy juga telah mengingatkan kita bahwa implikasi positif perdagangan terhadap kesejahteraan dan pemerataan akan terwujud, jika diikat dan diarahkan oleh keimanan kepada Allah SWT. Tanpa iman, perdagangan hanya akan jadi jalan eksploitasi eko no mi se kelompok manusia.


Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya