Dari beberapa forum pengajian kami sering dihadapkan pada pertanyaan apakah perbankan dan lembaga keuangan syariah terbebas dari krisis. Beberapa pihak menilai bahwa bank syariah akan bebas dari krisis. Berikut adalah ulasan kami.
Beberapa alasan umum yang dikemukakan bahwa bank syariah akan bebas krisis. Pertama, bank dan lembaga keuangan syariah mesti terkait langsung dengan sektor riil - diistilahkan Main Street vs Wall Street - serta aktifitas transaksi syariah tidak mendukung ekspansi yang berlebihan dan membatasi tindakan spekulatif di sektor finansial. Kedua, persyaratan etik mengarahkan bank dan lembaga keuangan syariah menjauhi risiko dan leveraged transaction seperti adanya risk sharing serta mengharuskan adanya underlying asset dalam setiap transaksinya. Pembatasan ini berperan sebagai perisai ekstra dalam manajemen risiko. Ketiga, ketentuan syariah mengharamkan penjualan atau sewa atas sesuatu yang tidak dimiliki, sehingga melarang praktek spekulasi short selling dalam sistem keuangan. Dengan kata lain, prinsip-prinsip syariah menyokong disiplin dan tanggung jawab dalam aktifitas keuangan sebagai prasyarat yang dibutuhkan dalam stabilitas keuangan.
Akan tetapi pandangan yang menyatakan bahwa perbankan dan lembaga keuangan syariah dapat sepenuhnya bebas krisis boleh jadi keliru. Bahkan dalam situasi ketika prinsip-prinsip syariah dipegang sekalipun, sistem keuangan syariah tidak kebal terhadap segala risiko atau bebas dari krisis secara sempurna. Sekedar untuk mengingatkan para penggiat dan praktisi keuangan syariah hendaknya tidak perlu overconfidence serta tetap waspada terhadap euforia yang terjadi.
Beberapa alasan baik secara teoritis dan empiris dapat menunjukkan hal ini. Pertama, secara teori, sumber utama krisis keuangan biasanya adalah akibat terjadinya kelebihan pembiayaan oleh perbankan yang dilakukan secara tidak hati-hati. Namun apakah bisa dijamin bahwa bank dan lembaga keuangan syariah tidak tergiur melakukan ekspansi kredit apalagi ketika melihat suatu sektor sedang booming? Kasus gagal bayar Dubai World akibat ekspansi berlebihan menerbitkan surat utang syariah kiranya dapat dijadikan pelajaran akan hal ini. Kita pun tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada institusi keuangan termasuk yang berlabel atau berskema syariah karena mereka pun ingin memaksimalkan keuntungan.
Kedua, keterkaitan erat keuangan syariah dengan sektor bukan berarti bank syariah bebas risiko karena sektor riil juga dapat mengalami fluktuasi. Guncangan di sektor riil sunnatullah dan dapat terjadi kapanpun sehingga mau tak mau kinerja bank syariah pada akhirnya akan terkena dampaknya pula. Belum lagi risiko-risiko lain seperti penurunan perdagangan, risiko suku bunga dan nilai tukar. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa akibat krisis global bank syariah terkena dampak dari penurunan kinerja sektor riil akibat depresiasi asset (terutama asset properti), penurunan pembiayaan perdagangan (trade finance) akibat penurunan perdagangan dunia, penurunan dalam sindikasi sukuk, dan sebagainya.
Studi Parashar dan Venkatesh (2010) juga menunjukkan bahwa walaupun secara umum selama 2006-2009 perbankan syariah berkinerja lebih baik daripada perbankan konvensional, sebagai dampak krisis keuangan global, penurunan kinerja bank-bank syariah justru lebih buruk daripada bank konvensional dalam hal capital ratio, leverage dan return on average equity. Sedangkan bank konvensional mengalami kinerja lebih buruk dari bank syariah dalam return on average asset and liquidity.
Adalah benar bahwa risiko di sektor riil menurun dalam beberapa dekade terakhir, sebaliknya risiko di sektor finansial terus meningkat, namun hal ini bukan berarti risiko lembaga keuangan syariah juga menurun. Temuan ini justru menunjukan bahwa pembiayaan terhadap sektor riil dapat menimbulkan risiko sistemik bila ekspansi investasi cenderung spekulatif, terlebih ketika perekonomian sedang membaik atau booming. Pembiayaan yang terlampau agresif disertai manajemen risiko yang tidak prudent akan menjadi sumber krisis di masa mendatang.
Pertimbangan ini memberi pelajaran pentingnya manajemen risiko yang lebih hati-hati dan mempersiapkan infrastruktur penyangga dalam mendukung sistem keuangan syariah dalam menjamin standar pengawasan yang lebih hati-hati terkait manajemen risiko, tatakelola perbankan syariah, disiplin aturan dan transparansi pasar.
Pelajaran penting dari ulasan di atas adalah bahwa lembaga keuangan syariah, dengan segala keunggulan yang ditawarkannya, tidaklah hidup dalam plastik yang steril. Tuntutan zaman mengharuskan ia berinteraksi dengan berbagai pihak (baik nasabah, supplier pendukung operasionalnya, perusahaan induk dan sebagainya) dengan segala macam konsekuensinya. Proyek-proyeknya yang dibiayai oleh bank dan lembaga keuangan syariah tetap terpengaruh oleh dinamika apapun yang akan terjadi. Pembiayaan dari bank syariah bukan berarti bebas risiko, terlebih lagi dengan pragmatisme praktik-praktik perbankan syariah di lapangan yang memungkinkan menyalahi prinsip transaksi dan maqashid syariah. Bank syariah juga manusia.
Oleh: Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany
Beberapa alasan umum yang dikemukakan bahwa bank syariah akan bebas krisis. Pertama, bank dan lembaga keuangan syariah mesti terkait langsung dengan sektor riil - diistilahkan Main Street vs Wall Street - serta aktifitas transaksi syariah tidak mendukung ekspansi yang berlebihan dan membatasi tindakan spekulatif di sektor finansial. Kedua, persyaratan etik mengarahkan bank dan lembaga keuangan syariah menjauhi risiko dan leveraged transaction seperti adanya risk sharing serta mengharuskan adanya underlying asset dalam setiap transaksinya. Pembatasan ini berperan sebagai perisai ekstra dalam manajemen risiko. Ketiga, ketentuan syariah mengharamkan penjualan atau sewa atas sesuatu yang tidak dimiliki, sehingga melarang praktek spekulasi short selling dalam sistem keuangan. Dengan kata lain, prinsip-prinsip syariah menyokong disiplin dan tanggung jawab dalam aktifitas keuangan sebagai prasyarat yang dibutuhkan dalam stabilitas keuangan.
Akan tetapi pandangan yang menyatakan bahwa perbankan dan lembaga keuangan syariah dapat sepenuhnya bebas krisis boleh jadi keliru. Bahkan dalam situasi ketika prinsip-prinsip syariah dipegang sekalipun, sistem keuangan syariah tidak kebal terhadap segala risiko atau bebas dari krisis secara sempurna. Sekedar untuk mengingatkan para penggiat dan praktisi keuangan syariah hendaknya tidak perlu overconfidence serta tetap waspada terhadap euforia yang terjadi.
Beberapa alasan baik secara teoritis dan empiris dapat menunjukkan hal ini. Pertama, secara teori, sumber utama krisis keuangan biasanya adalah akibat terjadinya kelebihan pembiayaan oleh perbankan yang dilakukan secara tidak hati-hati. Namun apakah bisa dijamin bahwa bank dan lembaga keuangan syariah tidak tergiur melakukan ekspansi kredit apalagi ketika melihat suatu sektor sedang booming? Kasus gagal bayar Dubai World akibat ekspansi berlebihan menerbitkan surat utang syariah kiranya dapat dijadikan pelajaran akan hal ini. Kita pun tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada institusi keuangan termasuk yang berlabel atau berskema syariah karena mereka pun ingin memaksimalkan keuntungan.
Kedua, keterkaitan erat keuangan syariah dengan sektor bukan berarti bank syariah bebas risiko karena sektor riil juga dapat mengalami fluktuasi. Guncangan di sektor riil sunnatullah dan dapat terjadi kapanpun sehingga mau tak mau kinerja bank syariah pada akhirnya akan terkena dampaknya pula. Belum lagi risiko-risiko lain seperti penurunan perdagangan, risiko suku bunga dan nilai tukar. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa akibat krisis global bank syariah terkena dampak dari penurunan kinerja sektor riil akibat depresiasi asset (terutama asset properti), penurunan pembiayaan perdagangan (trade finance) akibat penurunan perdagangan dunia, penurunan dalam sindikasi sukuk, dan sebagainya.
Studi Parashar dan Venkatesh (2010) juga menunjukkan bahwa walaupun secara umum selama 2006-2009 perbankan syariah berkinerja lebih baik daripada perbankan konvensional, sebagai dampak krisis keuangan global, penurunan kinerja bank-bank syariah justru lebih buruk daripada bank konvensional dalam hal capital ratio, leverage dan return on average equity. Sedangkan bank konvensional mengalami kinerja lebih buruk dari bank syariah dalam return on average asset and liquidity.
Adalah benar bahwa risiko di sektor riil menurun dalam beberapa dekade terakhir, sebaliknya risiko di sektor finansial terus meningkat, namun hal ini bukan berarti risiko lembaga keuangan syariah juga menurun. Temuan ini justru menunjukan bahwa pembiayaan terhadap sektor riil dapat menimbulkan risiko sistemik bila ekspansi investasi cenderung spekulatif, terlebih ketika perekonomian sedang membaik atau booming. Pembiayaan yang terlampau agresif disertai manajemen risiko yang tidak prudent akan menjadi sumber krisis di masa mendatang.
Pertimbangan ini memberi pelajaran pentingnya manajemen risiko yang lebih hati-hati dan mempersiapkan infrastruktur penyangga dalam mendukung sistem keuangan syariah dalam menjamin standar pengawasan yang lebih hati-hati terkait manajemen risiko, tatakelola perbankan syariah, disiplin aturan dan transparansi pasar.
Pelajaran penting dari ulasan di atas adalah bahwa lembaga keuangan syariah, dengan segala keunggulan yang ditawarkannya, tidaklah hidup dalam plastik yang steril. Tuntutan zaman mengharuskan ia berinteraksi dengan berbagai pihak (baik nasabah, supplier pendukung operasionalnya, perusahaan induk dan sebagainya) dengan segala macam konsekuensinya. Proyek-proyeknya yang dibiayai oleh bank dan lembaga keuangan syariah tetap terpengaruh oleh dinamika apapun yang akan terjadi. Pembiayaan dari bank syariah bukan berarti bebas risiko, terlebih lagi dengan pragmatisme praktik-praktik perbankan syariah di lapangan yang memungkinkan menyalahi prinsip transaksi dan maqashid syariah. Bank syariah juga manusia.
Oleh: Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany