Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penanganan Fakir Miskin yang telah disahkan menjadi Un dang-Undang (UU) No 13/2001 tertanggal 21 Juli 2011 lalu memang kurang mendapatkan perhatian media massa. Hal ini berbeda de ngan pembahasan RUU Badan Jaminan Sosial (BPJS) Nasional atau RUU Penyelenggaraan Pemilu yang lebih ‘seksi’ karena dianggap sarat kepentingan.
Padahal, UU tersebut merupakan instrumen penting dan landasan Pemerintah, khususnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II untuk bekerja mengurangi jumlah fakir miskin di Indonesia. Dengan demikian, di akhir KIB II Pemerintah diharapkan mampu menyejahterakan dan meningkatkan taraf hidup fakir miskin. Sebuah prestasi yang sangat ditunggu oleh seluruh kalangan.
Landasan filosofis dari UU ini adalah bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum dan men cerdaskan kehidupan bangsa. Secara yuridis, negara juga harus bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab negara itu diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Hanya, dalam perjalanannya, proses pengesahan undang-undang ini tidak berlangsung mulus. Ada sejumlah persoalan yang cukup alot dan menimbulkan perdebatan antara DPR dan Pemerintah. Yaitu, terkait dengan masalah pendataan, pendanaan, dan kelembagaan.
Terkait dengan pendataan akhir nya disepakati bahwa Kemen terian Sosial yang berhak menetapkan kriteria fakir miskin berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Selanjutnya, dengan kriteria fakir miskin yang telah ditetapkan oleh menteri sosial tersebut dilakukanlah pendataan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik (Badan Pusat Statistik). Dari sana akan diperoleh unifikasi data makro jumlah fakir miskin.
Lalu, dari data makro tersebut, Kementerian Sosial melakukan verifikasi dan validasi sehingga mendapatkan data fakir miskin lengkap dengan nama dan alamatnya. Hal ini sangat penting karena dapat digunakan oleh kementerian atau lembaga yang menangani fakir miskin. Di samping itu ia juga dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.
Mengenai sumber pendanaan, Panja Komisi VIII DPR dan Panja Pemerintah sepakat untuk tidak mencantumkan besarnya persentase. Akan tetapi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk mengalokasikan dana yang memadai, mencukupi, dan berkeadilan dalam APBN APBD untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin.
Selanjutnya terkait dengan kelembagaan, semula ada beberapa fraksi yang memandang perlunya lembaga baru dalam penanganan fakir miskin. Namun, dengan pertimbangan bahwa keberadaan lembaga baru hanya akan menambah beban anggaran yang besar, sementara fungsinya belum tentu efektif dan efisien, akhirnya disepakati untuk memperkuat lembaga yang telah ada. Lembaga yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian Sosial. Menteri Sosial sebagai leading sector dalam penanganan fakir miskin.
Tantangan
Setelah dua bulan disahkan, sampai saat ini belum ada dobrakan yang dilakukan Kementerian Sosial. Hal tersebut dapat dimaklumi karena berbicara mengenai penanganan fakir miskin maka UU ini tidak berdiri sendiri. Ada UU lain yang bersinggungan dengannnya, yakni UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Na sional, UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Presiden (Perpres) No 15/ -2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Sampai saat ini perhatian Pemerintah, ter masuk Menteri Sosial difokuskan pada pembahasan RUU BPJS.
Sebagai leading sector, Menteri Sosial harus segera memperkuat fungsi koordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerin tah daerah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), menguatkan program, serta meningkatkan anggaran.
Sebagai langkah awal sebelum akhir tahun 2011, Menteri Sosial harus mulai menyinergikan semua program penanganan fakir miskin yang ada di kementerian atau lembaga dengan melakukan sebuah pertemuan. Hal tersebut menjadi sangat penting karena sam pai saat ini secara de facto Presiden belum mempercayakan penanganan fakir miskin kepada Menteri Sosial dan lebih mempercayakan Wakil Presiden dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Pascadisahkannya UU Fakir Miskin, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar daya laku dan daya ikat Perpres 15/2010? Dalam UU Fakir Miskin disebutkan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur penanganan fakir miskin dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”
Klausul ini secara tersurat menyatakan bahwa Perpres Percepatan Penanggulangan Kemiskinan masih berlaku. Padahal, jelas kedudukan UU lebih tinggi. Apabila mengacu pada substansinya, Perpres 15/2010 sebetulnya merupakan dasar hukum keberadaan TNP2K.
Berdasarkan kajian dan pengamatan kami, perpres ini merupakan perpres yang tidak mendapatkan mandat secara langsung (given) dari UU, yang lebih dikenal dengan perpres yang ‘mandiri’. Sebab, tidak ada ketentuan dalam UU 40/2004 yang memerintahkan untuk membuat Perpres tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Lahirnya perpres tersebut dapat dimengerti sepanjang hal itu dilakukan atas dasar diskresi kepala pemerintahan dan hal ini di akui dalam hukum Indonesia. Hanya, diskresi tersebut bukan berarti dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi tetap dilakukan dalam kerangka kepastian hukum. Sebab, negara Indonesia adalah negara hukum. Bila diban dingkan dengan negara lain, maka penerapan prinsip kepastian hukum ini sudah umum dan sama.
Berdasarkan hal tersebut, Perpres Nomor 15 Tahun 2010 yang memuat dasar keberadaan TNP2K yang dipimpin oleh Wakil Presiden sudah tidak mempunyai daya laku dan daya ikat karena bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2011. Artinya, Wakil Presiden bukan lagi sebagai leading sector untuk menangani fakir miskin karena koordinasi penanganan fakir miskin berdasarkan UU tersebut saat ini beralih ke tangan menteri sosial (sebagai leading sector). Termasuk dalam hal ini juga perihal program yang tengah dijalankan oleh Kementerian Sosial, yaitu Program Bantuan Tunai Bersyarat/Program Keluarga Harapan (PKH).
Saatnya percaya diri
Keberadaan TNP2K dirasakan menggerus tugas dan fungsi Kementerian Sosial. Sebagai sebuah kementerian yang sempat dibubar kan, Kementerian Sosial saat ini harus diakui sebagai sebuah ke menterian yang “kurang percaya diri”. Pasalnya, ada banyak tugas dan persoalan yang penanga nannya diambil alih oleh kementerian dan lembaga lain. Misalnya, masalah penanganan kemiskinan yang tugasnya diambil alih TNP2K, masalah perlindungan anak yang saat ini menjadi tu gas Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, masalah penanggulangan bencana pun kini menjadi tugas Badan Nasional Penan ggulangan Bencana.
Beruntung, euforia efisiensi anggaran dan perampingan birokrasi mulai menjadi perhatian DPR sehingga kementerian ini se lamat dari kehilangan salah satu tugas dan fungsinya. Paling tidak, semua mata saat ini menantikan gebrakan apa yang akan di lakukan Kementerian Sosial.
Dengan berbekal UU Fakir Miskin, Kementerian Sosial seharusnya lebih percaya diri untuk menyinergikan program penanganan fakir miskin yang terdapat di 19 kementerian/lembaga, mengoordinasikan perencanaan kebijakan penanganan fakir miskin secara integral, mengoordinasikan pengelolaan pembiayaan, mengoordinasikan pencapaian target sasaran, serta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penanganan fakir miskin. Karena ini merupakan ma salah, tentu saja pelaksanaannya harus dilakukan dengan menggandeng Kementerian PPN/Bappe nas dan Kementerian Keuangan.
Oleh: KH Bukhori Yusuf MA, Anggota FPKS DPR RI
Sumber: Republika