Otoritas bursa komoditas dan pihak-pihak terkait akan segera meluncurkan suatu instrumen di bursa komoditas untuk maksud manajemen likuiditas di industri perbankan syariah. Semua persiapan telah dilakukan, sistem transaksi akan dilakukan online, dan mekanisme transaksi yang diusulkan konon telah mendapatkan lampu hijau dari Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan nama komoditas syariah, untuk membedakannya dari komoditas murabahah yang umum dipraktikkan di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.
Seperti apakah komoditas syariah tersebut? Sebagai ilustrasi, mekanismenya berawal pada suatu hari ketika misalnya ada sebuah bank syariah (misalnya bank syariah A) yang sedang mengalami kesulitan likuiditas. Bank tersebut kemudian menghubungi bank syariah lain (bank syariah B) untuk melakukan transaksi komoditas syariah. Kemudian, bank syariah B melakukan pembelian tunai sebuah (sejumlah) komoditas di bursa komoditas yang apabila diuangkan akan bernilai sama dengan jumlah likuiditas yang dibutuhkan oleh bank syariah A.
Setelah melakukan pembayaran tunai ke bursa komoditas, bank syariah B lantas menjual kepemilikannya atas komoditas tersebut kepada bank syariah A dengan mark up (mengambil keuntungan) dan dibayar tangguh (murabahah) oleh bank syariah A pada waktu yang disepakati bersama. Setelah memiliki komoditas atau minimal sertifikat kepemilikan atas komoditas di bursa, bank syariah A segera menjual kembali komoditas tersebut ke bursa melalui otoritas bursa.
Tentunya, karena transaksi tersebut terjadi pada hari yang sama (minimal berselang satu-dua hari) dan harga komoditas tidak berubah sehingga bank syariah A mendapatkan likuiditas sesuai yang diinginkannya. Namun, bank syariah A meninggalkan kewajiban pembayaran kontrak murabahah kepada bank syariah B sebagaimana dijelaskan di atas.
Mekanisme tersebut dikenal di Malaysia dan di negara-negara Timur Tengah sebagai komoditas murabahah yang merupakan kontrak kontroversial. Sebelumnya, perbankan syariah Indonesia adalah satu-satunya industri perbankan syariah di dunia yang tidak menerapkan kontrak-kontrak kontroversialm seperti Bay al Innah, Bay al Dayn, Tawarruq (commodity murabahah), Bay al Arbun, dan Bay al Wafa. Dengan demikian, kita boleh berbangga dengan menyebut industri perbankan syariah Indonesia adalah yang Sharia based (murni menerapkan kontrak-kontrak yang sesuai syariah) bukan hanya Sharia compliance.
Namun, apabila kita membuka diri dan kontrak komoditas syariah di atas berlaku di Indonesia, industri perbankan syariah Indonesia tidak berbeda lagi dengan negara-negara lain yang mempunyai pangsa industri perbankan syariah yang cukup besar, tetapi dari hasil penerapan kontrak-kontrak yang kontroversial.
Menurut para perumus dan pengusul transaksi komoditas syariah, transaksi yang akan diterapkan di Indonesia berbeda dengan komoditas murabahah pada umumnya. Perbedaannya, antara lain: (i) transaksinya sangat jelas dan transparan di mana komoditas yang diperjualbelikan jelas, dapat dilihat, dimiliki, dan dikirimkan (deliverable), (ii) penjualan kembali komoditas dilakukan melalui otoritas bursa dan tidak dilakukan oleh bank syariah perantara (bank syariah B pada ilustrasi di atas), (iii) bank syariah perantara (bank syariah B) hanya membeli komoditas dan menjualnya kepada bank syariah yang kesulitan likuiditas (bank syariah A) dengan akad murabahah murni.
Namun, penulis melihat walaupun transaksi tersebut memiliki perbedaan dengan komoditas murabahah yang dilakukan di Malaysia, negara-negara Timur Tengah dan negara lain yang menerapkan komoditas murabahah tetap saja ciri-ciri Tawarruq (komoditas murabahah) jelas terlihat. Ciri-ciri utama komoditas murabahah adalah: (a) transaksi yang dilakukan bukan untuk maksud memiliki barang, melainkan untuk maksud mendapatkan likuiditas. Barang (komoditas) yang diperjualbelikan hanyalah perantara (hiyal) untuk melegalkan transaksi, (b) transaksi dilakukan on the spot atau minimal berselang satu-dua hari dan apabila komoditas yang mendasari transaksi kita hilangkan, terlihat jelas mekanisme pemberian pinjaman uang oleh bank syariah perantara (bank syariah B) kepada bank syariah yang membutuhkan likuiditas (bank syariah A) dengan margin (mark up price).
Transaksi ini adalah Riba bahkan gabungan dari Riba al Fadhl dan Riba Nasyiah. Lantas bagaimana solusi nya? Penulis mengusulkan suatu mekanisme instrumen likui ditas di bursa komoditi yang insya Allah berbeda dengan komoditi Murabahah atau komoditi syariah di atas.
Mekanismenya berawal dari pembelian langsung (sejumlah) komoditas di bursa komoditas oleh bank syariah pada kondisi normal, tidak dalam kondisi tekanan likuiditas, murni untuk maksud investasi (menempatkan likuiditas pada instrumen investasi), dan tidak akan dijual kembali dalam hitungan detik, menit, hari, atau pekan. Komoditas tersebut minimal akan dimilikinya dalam hitungan bulan atau sesuai ketentuan yang ditetapkan otoritas perbankan.
Karena untuk maksud menempatkan dana, bank syariah tidak memerlukan bank syariah perantara alias langsung membelinya melalui otoritas bursa dan murni memang "naksir" untuk memiliki komoditas di bursa komoditas dan bukan merupakan hiyal untuk melegalkan transaksi. Maksud pembelian komoditas tersebut adalah untuk pre-cautionary (motif berjaga-jaga) dan bukan motif mendapatkan likuiditas dalam hitungan detik, menit, atau hari.
Ketika pada suatu saat dan tanpa diduga sebelumnya, bank syariah yang memiliki komoditas di bursa tersebut mengalami kesulitan likuiditas, ia dapat langsung menjual komoditas yang dimilikinya ke bursa untuk mendapatkan likuiditas. Seperti yang disebutkan di awal, untuk membedakannya dengan komoditas murabahah atau komoditas syariah, penjualan kembali komoditas ke bursa tidak boleh dilakukan dalam hitungan hari atau pekan, tetapi haruslah pada waktu tertentu yang ditetapkan oleh otoritas perbankan atau bursa.
Dengan demikian, setiap bank syariah harus mempunyai perencanaan likuiditas yang baik dengan membeli sejumlah komoditas untuk ditahan dan (motif pre-cautionary) dan menjualnya suatu saat ketika membutuhkan likuiditas. Apabila tidak ada tekanan likuiditas, komoditas tersebut tidak akan dijual atau akan dijual.
Dilihat dari motif pre-cautionary (bukan motif mendapatkan likuiditas), murni untuk investasi, tanpa adanya pihak perantara, tanpa komoditas yang merupakan hiyal, adanya rentang waktu (lag) penjualan kembali komoditas dalam hitungan bulan dan jangka singkat, mekanisme yang diu sulkan penulis insya Allah bukan komoditas murabahah atau komoditas syariah. Meka nisme tersebut dapat dipertimbangkan otoritas bursa, DSN, dan pihak terkait yang berniat baik merancang mekanisme transaksi untuk membantu bankbank sya riah yang kesulitan likuiditas.
Rifki Ismal, Pemerhati Bank Syariah, meraih PhD Ekonomi Islam dari Durham University, Inggris