Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).
Perpaduan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi krisis malah menimbulkan krisis bertambah parah. Inilah sebuah dilema yang sampai saat ini belum terpecahkan sebagaimana secara jelas dikatakan oleh Samuelson dan Nordhaus. Bahkan mereka mengatakan kebijakan atau solusi yang ditawarkan oleh para ahli dalam memecahkan permasalahan inflasi dan pengangguran secara bersamaan justru menyebabkan efek samping yang lebih buruk dari penyakitnya itu sendiri. Ini terjadi dikarenakan “obat” yang diberikan hanya sebatas menghilangkan penyakit bagian permukaan saja, sementara penyakit bagian dalamnya masih belum disembuhkan.
Penyakit bagian dalam yang belum tersentuh oleh perpaduan kebijakan di atas adalah terkait dengan hakikat mata uang itu sendiri dan sistem yang melingkupinya serta penyalahgunaan dari fungsi dasar uang sebagai alat tukar yang bertambah menjadi tidak hanya sebatas sebagai alat tukar, melainkan juga menjadi sebuah barang (komoditas) yang turut diperdagangkan dengan imbalan bunga (interest). Yang lainnya adalah masalah kewajiban cadangan bank komersial (fractional reserve banking system).
Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dan sebagainya. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih parah, mendalam dan serius.
Dampak Destruktif Bunga
Siregar (2001), telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi. Menurutnya dengan adanya ketentuan suku bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengembalian. Oleh karenanya, peminjaman perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, dana bank hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja. Sedangkan golongan miskin tidak akan pernah memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicius consumption (konsumsi barang lux, yang hanya berguna untuk simbol status), pengeluaran yang tidak bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi non produktif dan tak bermanfaat.
Tingginya inflasi (hyper inflation) yang menimpa Indonesia pada krisis moneter di tahun 1997-an juga tidak terlepas dari ulah spekulan mata uang di bursa valas tersebut. Akibat adanya spekulasi di bursa valas, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS inilah yang mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi sangat tinggi. Indonesia sebagai negara yang mayoritas industrinya masih bergantung pada bahan baku impor, dengan naiknya harga barang impor inilah yang menyebabkan terjadinya inflasi tinggi di Indonesia (Tambunan, 1998).
Fakta Empiris Indonesia
Menurut penelitian yang dilakukan penulis tentang determinan inflasi Indonesia dengan metode estimasi Vector Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) pada tahun 2008, didapat hasil yang menunjukkan bahwa suku bunga ternyata berpengaruh positif dan dominan terhadap inflasi Indonesia. Oleh karena itu perlu dikaji kembali keberadaan institusi bunga di dalam perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan moneter Indonesia ataukah malah sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat penyembuh ampuh, ataukah malah menjadi virus potensial yang dapat menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut.
Hasil lain dari penghitungan menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah menjadi faktor kedua setelah suku bunga yang memberi kontribusi cukup besar terhadap inflasi (9.2% dalam model mixed). Dengan fakta ini, menjaga kestabilan mata uang menjadi hal yang urgen, baik karena intrinsiknya yang stabil maupun karena di back-up dengan jelas oleh institusi berwenang. Hal ini berkaitan erat dengan jenis mata uang yang dipakai oleh suatu negara maupun dengan problem seigniorage. Apakah bentuk fiat ataukah commodity money yang akan mampu menjaga stabilitas mata uang.
Penemuan yang tidak kalah penting dari riset yang penulis lakukan adalah bahwa model monetaris merupakan pendekatan yang paling banyak dilakukan untuk menganalisis penyebab inflasi, baik di negara maju maupun negara berkembang. Model ini menjelaskan bahwa penyebab utama inflasi adalah akibat terlalu banyaknya uang beredar. Baik yang dicetak oleh bank sentral (uang kartal) maupun yang diciptakan oleh bank komersial (berbentuk giral) sebagai konsekuensi logis dari aturan fractional reserve banking system. Karenanya perlu ada pengaturan dan pembatasan penciptaan uang, umpamanya dengan pemikiran fully (100%) reserve banking.
Fenomena Krisis Keuangan Amerika
Krisis moneter Amerika saat ini menggejala menjadi krisis keuangan global. Program bailout sebesar USD 700 miliar kemudian menjadi nihil. Program itu gagal meningkatkan kepercayaan para pelaku pasar pada upaya stabilisasi. Hal ini juga merupakan sinyal yang sangat jelas bahwa krisis belum akan mereda dalam waktu dekat. Beberapa bulan lalu ekonom Amerika ada yang mengatakan bahwa krisis keuangan Amerika akan mengantarkan perekonomian Amerika pada situasi resesi atau bahkan depresi yang diikuti oleh kondisi hiperinflasi seperti yang pernah dialami Jerman sebelum perang dunia kedua (Sakti, 2008).
Pasar modal di Amerika, Eropa, Asia dan beberapa emerging market countries di Amerika Selatan rontok, dimana kejatuhan pasar mencatatkan rekor yang fantastis. Dow Jones jatuh mencapai 800,06 poin, meskipun kemudian ditutup dengan kejatuhan akhir 350 poin. Namun angka indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuknya dalam 4 tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000. Krisis juga bahkan mulai menjalar ke Asia. Pasar saham Jepang turun 4,25%, Korea 4,3%, Hong Kong 5% dan Australia 3,4%. Sementara di Indonesia IHSG pada 6 September 2008 lalu, terjun bebas 10,03%.
Ekonomi Islam memandang fenomena krisis keuangan dunia yang sedang terjadi sekarang ini tidak jauh dari ihwal masalah moneter, uang, dan fungsi-fungsinya. Tidak semua fungsi uang dalam ekonomi konvensional bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest, gambling dan gharar dalam motif permintaan uang untuk berspekulasi telah menyebabkan motif ini secara keras ditentang oleh Islam –yang justru inilah yang menjadi penyebab utama krisis yang terjadi. Sehingga spekulasi di pasar uang menjadi sangat menarik. Tidak seperti halnya dengan ekonomi konvensional, prinsip ekonomi Islam menentang keras uang itu untuk diperlakukan sama dengan barang (commodity) yang dapat diperjualbelikan semata-mata untuk meraih keuntungan.
Konsep uang dalam Islam berbeda dengan konsep uang dalam sistem kapitalis. Dalam Islam, uang adalah uang yang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Jadi uang adalah sesuatu yang terus mengalir dalam perekonomian, atau lebih dikenal sebagai flow concept. Sedangkan dalam ekonomi konvensional, uang adalah barang modal (capital), komoditas dagangan, sesuatu yang bisa ditukarkan, dan beberapa kapasitas yang lain. Atau dengan kata lain, uang adalah sesuatu yang biasa disimpan atau stock concept.
Problematika moneter di dunia saat ini kerap menjadi penyebab nomor wahid terjadinya krisis ekonomi di banyak negara, termasuk US financial crisis. Padahal pada zaman Rasulullah saw dahulu, masalah itu tidak menjadi sebuah kendala yang pokok. Salah satu alasannya adalah, karena salahnya para ekonom memandang uang. Uang yang seharusnya menjadi flow malah menjadi stock. Yang seharusnya hanya menjadi perantara, malah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Bahkan dijadikan sebagai alat spekulasi yang menghancurkan.