Ekonomi Syariah dan Outlook 2011

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini menumbuhkan optimistis yang semakin menggembirakan, baik sekarang maupun di masa mendatang. Fokus pertumbuhan ekonomi syariah bisa dilihat pada tiga aspek. Pertama, Perbankan dan Keuangan Syariah. Meskipun saat ini size dan market share perbankan syariah masih belum mampu menembus angka lima persen dari total keseluruhan aset perbankan nasional, namun pertumbuhan industri perbankan syariah--sebagai infant industry cukup mengesankan--tumbuh rata-rata di atas 30 persen per tahun. Hingga Oktober 2010, perbankan syariah tumbuh 33 persen, jauh lebih tinggi dari perbankan konvensional yang hanya tumbuh secara rata-rata 18 persen per tahun.


Berdasarkan data statistik perbankan syariah Bank Indonesia bulan September 2010, secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Semenjak berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1992 sampai 2005 hanya ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 92 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan total jumlah kantor baru mencapai 550 unit. Dalam rentang lima tahun (2005- 2010), pertumbuhan perbankan syariah lebih dari dua kali lipat. Jumlah BUS saat ini telah mencapai 10 unit dengan 23 UUS. Selain itu, jumlah BPRS telah mencapai 146 unit dan total  jumlah kantor syariah sebanyak 1,640 unit. Secara geografis, sebaran jaringan kantor perbankan syariah juga telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 provinsi.


Dari segi aset, perkembangan perbankan syariah meningkat secara signifikan, dari Rp 20,880 miliar  (2005) menjadi Rp 83,454 miliar (September 2010). Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp 63,912 miliar dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 60,970 miliar.


Kedua, zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tumbuh rata-rata lebih dari 50 persen sepanjang 2002-2009. Puncaknya tahun 2005 dan 2007 yang pertumbuhan mencapai lebih dari 95 persen dengan jumlah pengumpulan dana sebanyak Rp 295, 32 miliar dan Rp 740 miliar per tahun (The National Board of Zakat, 2009).


Menurut kajian Bank Pembangunan Asia (ADB), potensi pengumpulan zakat di Indonesia bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Jumlah ini masih jauh dengan jumlah yang dikumpulkan oleh Baznas. Pada 2009, jumlah dana ZIS yang terkumpul mencapai Rp 1,2 triliun. Sedangkan untuk tahun 2010 diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 triliun. Tren ini menunjukkan, kesadaran masyarakat untuk mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah, semakin meningkat. Dengan demikian, dana masyarakat yang terkumpul melalui ZIS ini, akan semakin berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan di negeri ini.


Adapun jumlah tanah wakaf di Indonesia menurut data yang dihimpun oleh Departemen Agama RI mencapai 268.653, 67 hektare yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dilihat dari segi resouces capital, jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah wakaf terbesar di seluruh dunia. Begitu juga, dengan wakaf uang (cash waqf), potensinya sangat besar. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana memaksimalkan harta wakaf tersebut secara maksimal agar mampu menyejahterakan umat Islam di Indonesia. Tentu saja, potensi wakaf yang demikian besar itu harus dikelola secara modern, profesional, dan penanggung jawab yang amanah.


Ketiga, Politik Ekonomi Syariah. Proses legislasi hukum ekonomi syariah menjadi undang undang nasional, seperti Undang Undang Wakaf, pengelolaan zakat, perbankan syariah, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), merupakan perjuangan yang cukup panjang di parlemen. Meskipun negeri ini mayoritas berpenduduk Muslim, tidak semua elemen masyarakat mendukung proses legislasi ini. Lihatlah polemik soal revisi RUU Zakat antara Departemen Keuangan dan lembaga-lembaga zakat.


Outlook 2011
Pertama, zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Komitmen anggota dewan untuk mengandemen UU zakat No 38/1999 dan penataan kelembagaan BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) menjadi faktor penting dalam pengelolaan lembaga-lembaga zakat.


Dengan melihat tren kinerja ekonomi yang cukup memuaskan, tumbuh sekitar enam persen per tahun, akan berpengaruh positif terhadap pengumpulan dana-dana ZIS. Diperkirakan tahun 2011 penghimpunan zakat mencapai Rp 1,5-2 triliun. Adapun target share pengumpulan zakat adalah 0,05 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Jika target GDP tahun 2011 sebesar Rp 7.000 triliun, target penghimpunan zakat sebesar Rp 3,5 triliun. Target ini bukanlah hal yang mustahil terjadi, apalagi dilihat dari dukungan kebijakan berupa: pembentukan UPZ di lembaga-lembaga BUMN, kewajiban zakat BUMN, kebijakan zakat pengurang pajak, sanksi muzaki pengemplang zakat, peningkatan keamanan, dan profesionalitas BAZ/LAZ yang saat ini  BAZNAS telah mendapat ISO 9001:2008.


Kedua, Perbankan dan Keuangan Syariah. Pada tahun 2011, aset perbankan syariah bisa mencapai 3,5-4,5 persen dari total aset perbankan nasional. Untuk mendorong pencapaian market share lebih besar dari lima persen, diperlukan berbagai terobosan khusus. Misalnya, penambahan aset baru berupa perluasan/pendirian UUS dan BUS baru, konversi aset perbankan konvensional ke UUS ataupun BUS, kampanye penggunaan transaksi keuangan syariah serta keuntungannya secara progresif sampai ke semua level masyarakat, sebagian dana BUMN dan pemerintah ditempatkan di bank syariah dan lainnya.


Faktor lain yang akan mendukung geliat pertumbuhan industri perbankan syariah adalah faktor regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mengatur tentang pajak transaksi perbankan syariah.


Ada beberapa isu penting yang harus direspons secara cepat oleh para pelaku ekonomi syariah seiring dengan pertumbuhan industri ini. Pertama, kebutuhan sumber daya manusia yang memadai. Dengan target pertumbuhan moderat, perbankan syariah membutuhkan tambahan 10 ribu pegawai baru pada 2011. Kedua, sinergi antarpelaku ekonomi syariah, misalnya dalam hal pemanfaatan fasilitas jaringan ATM secara bersama.


Ketiga, peningkatan inovasi produk perbankan syariah untuk mengakomodasi berbagai kecenderungan segmen pasar dengan tetap mengedepankan prinsip syariah-compliant. Keempat, edukasi masyarakat secara merata ke semua level dengan pendekatan yang lebih menarik. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami tentang perbankan syariah.


Dan, terakhir adalah kesiapan untuk memasuki pasar integrasi ASEAN pada 2015. Perlu peningkatan daya saing perbankan syariah nasional untuk berkompetisi dengan pemain-pemain dari luar, mengingat potensi pasar Indonesia yang masih sangat menjanjikan. Wallahu'Alam.


Oleh: Ali Rama, Peneliti ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development)
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya