Bursa Syariah, Wacana ATS yang Belum Tersentuh

Pada dasarnya, ekonomi syariah adalah aliran ekonomi. Kalau mahzab Adam Smith, Keynes dan Marxisme bisa dipahami, maka sudah selayaknya kelompok masyarakat yang menginginkan perekonomian berbasis syariah pun dihargai. Akomodasi bursa terhadap batasan yang fleksibel yang mengairahkan pasar secara teregulasi dan transparan dapat saja tidak memenuhi kaidah ekonomi-syariah. Padahal mayoritas dari masyarakat Indonesia beragama Islam.


Salah satunya, dapat dilihat dalam diskusi ekonomi-syariah, yang mengedepankan salah satu faktor penghambat investor syariah masuk ke BEJ adalah adanya praktek short seliing/buying di bursa. Praktek tersebut merupakan salah satu "teknik perdagangan" yang tidak jarang dilakukan untuk melakukan rangkaian proses "memancing" di bursa.

Atas dasar pertimbangan fiqih praktek short tidak dapat dibenarkan dalam menjamin transaksi yang halal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang benar-benar telah memiliki dana dan barang, untuk menghindari timbulnya gharar (keragu-raguan) dan masyir (menimbulkan resiko berlebihan).

Pertimbangan tersebut akan bertentangan dengan prinsip legal di bursa yang memperkenankan transaksi marjin, sepanjang sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Bapepam no. V.D.6, yaitu  Pertama, posisi short selling/buying dapat dilakukan oleh nasabah yang memenuhi kriteria melalui broker yang memiliki ijin. Kedua, ketentuan transaksi dilakukan untuk saham yang diumumkan oleh bursa sebagai saham marjin.

Pada saat ini, berkembang wacana pasar modal syariah dengan jalan melalui pembelian reksa dana syariah atau penempatan langsung di bursa untuk saham-saham yang diumumkan dalam klasifikasi Jakarta Islamic Index (JII).

JII (tampaknya) didasarkan kepada sistem pencatatan yang tidak ribawi atau emiten yang berusaha sesuai dengan landasan ekonomi-syariah dan dari sistem perdagangan yang dikedepankan adalah likuiditas saham tersebut selama periode yang ditentukan. Di sinilah masalahnya, karena saham yang dikategorikan saham marjin pun dilandaskan kepada likuiditas transaksi, guna menjamin posisi kegagalan dapat diatasi dalam interval T+1 sampai T+4 oleh pemodal secara likuid di bursa.

Oleh karena itu terdapat irisan yang cukup krusial yang menghambat berkembangnya investasi syariah di BEJ, yaitu secara harfiah dan sistem, dapat saja reksa dana/investor syariah berhadapan dengan nasabah lainnya dengan posisi short secara legal. Padahal di masa depan akan dikenalkan mekanisme pinjam-meminjam efek yang diharapkan dapat meningkatkan likuiditas dengan jalan fasilitasi marjin secara terarah dan legal. Secara fiqih ekonomi-syariah proses ini pun tidak dapat dibenarkan.

Dua pertentangan legal jika tidak dikelola dengan baik dan terarah, maka hanya akan menghasilkan sebuah pereduksian potensi bangsa atau bahkan pemodal global, misalnya saja dana yang berasal dari Timur Tengah.

Menilik perkembangan di negara lain, misalnya Malaysia, yang secara cerdas mengadopsi sistem Alternative Trading System (ATS) yang berkembang pada dasawarsa terakhir di Amerika Serikat. ATS pada dasarnya diatur melalui regulasi SEC (Bapepamnya Amerika) sebagai dua bentuk penyelenggara transaksi efek, yaitu:
- Izin perusahaan efek untuk penyelenggara on-line trading sebagai jalur broker system di NASD (dikenal dengan sebutan ECN - Electronic Comunication Network)
- Izin bursa efek untuk penyelenggara transaksi perdagangan efek yang tercatat di bursa yang menjadi ordinasinya. (dikenal dengan sebutan Super ECN atau mendunia dengan istilah ATS itu sendiri).

ATS berkembang di Amerika pada saat teknologi remote trading terstimulasi oleh pengembangan on-line trading. Respon yang diberikan oleh NASD dan NYSE terhadap hal tersebut berbeda, sesuai dengan segmentasi model broker-dealer di masing-masing bursa tersebut. NASD dengan kesiapan dan target untuk menjadi bursa teknologi, memiliki kapasitas teknologi yang dapat merespon on-line trading dari broker system tetap dalam infrastrukturnya.

NYSE secara teknis mengalami kesulitan untuk merespon on-line trading dalam infrastrukturnya secara langsung, di samping alasan lainnya untuk tidak membuat bursa tersebut terlampau terbuka untuk nasabah retail yang cenderung spekulatif.

Oleh karena itu, munculah ATS, model ini adalah sebagaimana halnya bursa efek dapat menyelenggarakan penjumpaan transaksi antarpemodal. Bedanya adalah bursa ordinasi (NYSE) mempunyai instrumen kebijakan pencatatan dan kebijakan perdagangan sedangkan bursa sub-ordinasi (penyelenggara ATS, misalnya Instinet) hanya memiliki kebijakan dan sistem perdagangan.

Artinya saham-saham yang dicatatkan di NYSE dapat diperdagangkan dengan cara lain di ATS. ATS tersebut pada akhirnya dapat menjadi sarana bagi market spesialis untuk melakukan arbitrase antara biaya fungsi "stabilisasi" saham di NYSE dengan pengumpulan dana atau efek dari pemodal retail di ATS.

Secara struktural perdagangan ATS dapat juga menjadi dasar untuk proses pre-opening dan after hours trading di NYSE dengan mekanisme call market.

ATS yang berkembang sedemikian pesat di AS, tampaknya diadaptasi di Malaysia dengan "kosmetik" berbeda. KLSE dengan membentuk anak perusahaan, yang disebut dengan LFX (Labuan Financial Exchange) dengan konsep off-shore market di pulau labuan. LFX difokuskan untuk menjadi ATS saham-saham di KLSE yang ingin diperdagangkan secara syariah.

Bedanya dengan ATS di Amerika yang tidak diberikan kewenangan kebijakan pencatatan, maka di LFX memiliki kebijakan re-listing. Kebijakan re-listing ini adalah untuk rambu-rambu awal bahwa emiten yang ditransaksikan adalah emiten KLSE yang memiliki usaha sesuai kaidah ekonomi-syariah.

Perdagangan dan pengawasan di LFX sepenuhnya dikendalikan dalam basis syariah, misalnya saja pengawasan dilakukan bersama-sama antara LFX, otoritas pasar modal dan dewan syariah nasional Malaysia.

Walaupun LFX ini masih dalam proses pengembangan, penulis pada kesempatan 19th AFACT Meeting - Financial Working Group pernah berdiskusi dengan pejabat Bank Negra Malaysia (bank sentral), ditemukan benang merah bahwa program dual system banking dan capital market tersebut adalah bagian dari cetak biru Malaysia Dua Puluh Dua Puluh yang berfokus sebagai tempat global financial market berbasis syariah.

Pelajaran dari negeri jiran ini adalah ketidakmampuan untuk bersaing secara bebas dengan bursa yang lebih maju diatasi dengan jalan menciptakan pasar dengan model baru yang belum dijamah oleh negara lain.

Kecerdasan Malaysia, yang kalau tidak dicermati secara cerdas pula, hanya akan menjadikan investor-syariah Indonesia yang (mungkin) belum tersentuh pasar modal akan mengisi ruang di bursa Malaysia, dan sekali lagi artinya (setidaknya) pajak penghasilan atas transaksi bursa telah dinikmati oleh negara jiran. Belum lagi potensi pajak penghasilan dari global investor berbasis syariah.

Sebagai gambaran, kejelasan segmentasi yang dibuat oleh Malaysia mungkin mampu menyedot dana-dana timur tengah yang ditarik dari Amerika sebagai akibat kekesalan mereka dicurigai sebagai jaringan teroris (IBF Net Media Watch, 22 November 2001. Tampaknya melihat ancaman ini, NYSE dalam salah satu newsletter yang dikeluarkan oleh islamic.com diberitakan tengah merancang super ECN yang dapat dijadikan bursa syariah global, walaupun selama ini Dow Jones Islamic Index telah cukup kredibel dan dipercaya sebagai pasar yang efisien.

Kembali kepada bisnis, bisa saja pola ekonomi-syariah ini pun diminati oleh investor non-muslim yang tertarik dengan sistemnya. Dan hal ini sebenarnya bukan hal baru dan telah dirintis industri perbankan Indonesia dengan dual-banking system, antara bank konvensional dan bank syariah.

Bank syariah diatur oleh regulasi menjadi unit usaha yang terpisah dari bank konvensional. Artinya mungkin sudah saatnya otoritas pasar modal Indonesia untuk mendukung ataupun melakukan sinkronisasi dengan wacana yang telah berkembang di industri perbankan tanah air.

Segmentasi potensi
Wacana yang ingin dikedepankan adalah sudah saatnya pasar modal Indonesia melakukan segmentasi seluruh potensi pasar yang dimiliki secara terarah, integral dan efisien. Efisiensi korporasi sangatlah penting, karena saat ini Indonesia tidak membutuhkan banyak bursa, tapi yang dibutuhkan adalah satu bursa dengan banyak segmentasi pasar yang didukung oleh produk yang inovatif (saham dan turunannya).

Misalnya, kenapa tidak melihat Malaysia, meskipun KLSE belum melakukan demutualisasi, bursa tersebut mampu melakukan segmentasi dan pengembangan ATS.

Sekadar ide, BES yang saat ini tengah mengalami kesulitan sebaiknya diakuisisi (digabungkan) dengan BEJ. Akuisisi tersebut dapat memetakan ulang potensi yang dimiliki oleh BES untuk dijadikan anak perusahaan model ATS syariah.

Inti idealismenya adalah harga diri historis masing-masing bursa tetap dihargai, secara keuangan bursa Indonesia dapat efisien dan memiliki skema pendapatan yang saling dapat menutupi satu dan lainnya.

Tentunya hal ini akan berpulang kepada pemegang saham kedua bursa tersebut yang relatif hampir sama (yang akan menyelenggarakan RUPS dalam waktu dekat) dan juga otoritas pasar modal Indonesia yang tengah giat melakukan pemodelan ulang bisnis pasar modal dan undang-undangnya.

Oleh: Yanuar Rizky

Klik suka di bawah ini ya