Pemikiran tentang Lembaga Keuangan Syariah di Beberapa Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim
Oleh karena perbankan syariah di Indonesia masih baru dibandingkan dengan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, acuan dasar dalam pemikiran tentang itu masih banyak yang diambil dari negara lain, terutama dari kawasan Timur Tengah, Asia Selatan (khususnya Pakistan), dan Asia Tenggara (khususnya Malaysia).
Memang saat ini keuangan syariah menjadi primadona baru dalam perekonomian dunia. Namun, banyak pula yang menyatakan bahwa kemunculan sistem keuangan syariah merupakan sebuah proses pengujian langsung atas diterapkannya nilai luhur Islam ke dalam dunia perekonomian modern. Meskipun mengalami peningkatan dari sisi popularitas, jangkauan, dan keragaman, sistem keuangan syariah sejauh ini belum menunjukkan peningkatan yang pesat secara global. Tetap saja perkembangan sistem keuangan syariah masih berpeluang besar karena saat ini produk dari keuangan syariah di seluruh dunia masih sekitar $750 juta, jumlah yang masih terus meningkat dengan cepat dibandingkan dengan keuangan konvensional.
Banyak negara kini—sebut saja Bahrain, Malaysia, dan Pakistan, bahkan Inggris—telah menempatkan diri secara agresif untuk meraih keuntungan dari sistem keuangan syariah. Mereka turut membentuk pasar baru. Peminatnya tidak lagi hanya lembaga perbankan Islam, tetapi sudah merambah hingga lembaga perbankan, hukum, dan akuntan di Barat yang ikut membuka “cabang syariah” untuk mengisi pasar yang terus tumbuh ini. Untuk mendukung pertumbuhan jasa perbankan syariah, dibentuklah lembaga sejenis DSN di tiap negara dalam lingkup lokal atau nasional agar keuangan syariah ini semakin tertata dan sistematis. Pelatihan dan program sertifikasi pun terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tingginya sumber daya manusia yang berkualitas di industri baru ini. Meski demikian, sistem keuangan syariah masih terus kekurangan bakat muda dan sumber daya manusia yang andal.
Perkembangan Pemikiran tentang Keuangan Syariah
Selama era modern pascakolonial, berkembangnya gagasan dari Barat, termasuk ilmu ekonomi, mulai memengaruhi dunia Islam sehingga banyak penulis muslim yang menghasilkan disiplin ilmu ekonomi syariah. Alasannya, Islam bukan sekadar rumus spiritual, tetapi suatu sistem hidup yang utuh dalam segala zaman. Hal itu kemudian diikuti dengan munculnya pemikiran bahwa Islam pun memiliki sistem ekonomi sendiri yang unik, berbeda, dan lebih lengkap dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya. Dasarnya, sebagian besar kaum musim yakin bahwa syariah Islam adalah aturan yang sempurna karena datang dari Allah SWT langsung. Akan tetapi, fakta yang ada menunjukkan bahwa syariah tidak secara tegas mengatur atau memiliki kajian sistematis tentang masalah ekonomi, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi akan barang dan jasa. Jadi, keunikan, perbedaan, dan kelengkapan syariah Islam tidak secara tegas menyebutkan definisi dan lingkup yang metodologis. Oleh karena itu, perlu sumbangsih pemikiran dari para ulama, pemikir, bankir, dan kaum muslim pada umumnya dalam merancang metodologi yang tepat bagi perkembangan ekonomi Islam.
Pemikiran Ekonomi Islam di Timur Tengah
Pada era modern ini, kebijakan ekonomi yang berkembang di dunia Islam sangat beragam. Di Iran, pada 1979, kebijakan ekonomi sesudah kemenangan Revolusi Iran bergerak statis. Sebagian besar sektor publik dan pemerintah masih dalam eforia revolusi yang mendorong untuk menjauhkan kepemilikan pribadi meskipun lambat laun hal itu semakin berkurang seiring berjalannya waktu.[1]
Di Sudan, kebijakan ekonomi yang dibuat partai National Islamic Front yang menguasai negeri itu pada 1990-an justru kebalikan dari Iran, yaitu cenderung pada liberalisme ekonomi dan menerima “kekuatan pasar dalam merumuskan kebijakan ekonomi negara”. Di Aljazair, Yordania, Mesir, dan Pakistan, pengaruh dari gerakan kebangkitan Islam cenderung mengarahkan kebijakan ekonomi mereka pada kebijakan yang bersifat populis atau berpihak pada rakyat (cenderung enggan memberlakukan kebijakan ekonomi yang ketat dan enggan mengurangi subsidi).[2]
Namun, di belahan lain dunia Islam, istilah ekonomi Islam (syariah) terus hidup, bergeser bentuknya berupa tujuan yang lebih ambisius, yaitu membentuk perbankan yang tanpa riba. Beberapa bankir dan pemuka agama Islam menyarankan bentuk penggabungan hukum Islam dengan etika berinvestasi dari konsep modern dalam hal pemakaian uang. Dalam perbankan, hal itu sudah dilakukan dalam transaksi kredit (dengan tingkat pengembalian yang tetap) yang nilainya hampir setara dengan tingkat sukubunga. Hal itu mendapat kritik dari penulis dan pemikir Barat yang menyatakan bahwa hal itu sama saja dengan memasang label Islam pada sistem perbankan konvensional.
Ada bentuk praktik ekonomi lain, khususnya keuangan, yang berkembang di dunia Islam, yaitu mikrokredit dan pembiayaan mikro (microfinance). Keduanya pertama kali bergerak di Anak Benua India melalui AKDN pada 1860, lalu diikuti Grameen Bank di Bangladesh yang dijalankan Muhammad Yunus (peraih Nobel 2006 bidang ekonomi). Namun, praktik itu masih memakai sistem bunga meskipun sangat kecil.
Iran
Pada 1960-an dan 1970-an, pemikir Islam dari kalangan syiah sudah mengembangkan dasar pemikiran ekonomi syariah disertai jawaban atas masalah yang muncul dalam sistem ekonomi kontemporer. Beberapa hasil karya mereka yang berpengaruh adalah Eslam va Malekiyyat,[3] Iqtishaduna,[4] Eqtesad-e Towhidi,[5] dan Some Interpretations of Property Rights, Capital and Labor from Islamic Perspective.[6]
Secara khusus, Al Sadr digambarkan sebagai sosok muslim yang mengembangkan sendiri catatan tentang ekonomi Islam. Dalam tulisan-tulisannya, Sadr dan penulis muslim syiah lainnya hendak mengarahkan Islam sebagai agama yang peduli pada masalah keadilan sosial, pemerataan kekayaan/kesejahteraan, jawaban bagi kelas masyarakat bawah dengan doktrin disepakati para ulama seraya menolak teori ekonomi kapitalisme dan marxisme yaang dianggap tidak Islami. Bentuk ekonomi syariah yang mendapat pengaruh dari Revolusi Iran menyerukan kepemilikan bersama atas tanah dan perusahaan atau industri yang menyangkut harkat hidup orang banyak, sedangkan kegiatan ekonomi yang bersifat pribadi masih dibolehkan dalam batas-batas tertentu. Gagasan itu membantu terbentuknya sektor publik yang luas dan kebijakan subsidi dalam pemerintahan di bawah sistem Revolusi Iran.[7]
Namun, pada 1980-an dan 1990-an Iran gagal mencapai target pendapatan per kapita pada tingkat yang sama dengan rezim yang mereka gulingkan bersamaan dengan negara-negara mayoritas muslim tetapi berhaluan komunis atau sosialis mulai beralih dari sosialisme. Minat mereka pun bergeser dari sistem kepemilikan dan UU buatan negara. Di Iran, ada laporan yang menyebutkan bahwa catatan tentang ekonomi Islam tidak dapat ditemukan dalam semua dokumen resmi dan media. Ekonomi Islam menghilang dari wacana politik Iran sekitar 25 tahun lalu.[8]
Contoh karya tulis dari kalangan ulama Iran yang berisi tentang pendekatan ekonomi dalam Islam adalah karya Khomeini Tawzih Al Masa`il. Meski di dalamnya tidak ditemukan istilah ekonomi, buku itu berisi bab yang membahas jual beli setelah bab tentang haji. Catatan dari Olivier Roy tentang karya itu, jika dikaitkan dengan prinsip ekonomi saat ini, akan muncul pertimbangan moral dalam setiap pribadi tentang penekanan bahwa “meminjamkan dalam bentuk qardh hasanah termasuk perbuatan baik yang secara khusus ditekankan dalam Alquran dan Hadits.”[9] Maksudnya, prinsip ekonomi Islam menurut buku itu lebih menekankan pada qardh hasanah.
Turki
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam di Turki tidak begitu kelihatan. Namun, Turki termasuk di antara negara berpenduduk mayoritas Islam yang mengawali praktik ekonomi Islam dengan mendirikan sistem perbankan Islam. Peran serta bank Turki dalam pengembangan ekonomi Islam dimulai dengan dibentuknya Albaraka Türk (sebelumnya adalah Special Finance House) pada 1985 yang menjadikan pangsa pasar muslim Turki secara keseluruhan. Oleh karena itu, target yang mereka buat bukan untuk meraih ceruk pasar (niche) yang kecil. Hal itu sangat berpengaruh pada pengembangan pasar mereka dan produk perbankannya.
Peran serta lembaga keuangan Islam Turki terus berkembang dan telah meraih 3,5% aset kotor dari total aset industri perbankan negara itu. Perkembangannya bahkan mengalahkan perbankan konvensional selama delapan tahun berturut-turut. Akan tetapi, perkembangan itu bukan tanpa cela sama sekali. Kebangkrutan Ihlas Finance House pada 2001 karena kasus pemalsuan mengakibatkan kerugian hingga 40% dana cadangan yang dikuasainya, lalu diikuti dengan kerugian hingga 35% dana cadangan yang dialami Special Finance House.
Namun, karena perbankan Islam di Turki sangat dekat dengan ekonomi riil, Special Finance Houses tidak terpengaruh dengan krisis keuangan yang melanda Turki pada 2001 dan mereka dengan cepat memulihkan sistemnya kembali. Kini dana cadangan mereka menjadi dana jaminan bank untuk menghindari kemungkinan terjadinya rush (penarikan dana besar-besaran) dan ia telah mendapat status bank resmi.
Hal lain yang perlu diperhatikan, tidak ada bantuan khusus dari pemerintah kepada mereka dan tidak ada pula jaminan dari pemerintah berupa sukuk meskipun hal itu sedang dalam proses pembuatan hingga menjadi rumor selama beberapa waktu. Pembicaraan tentang sertifikat ijarah (sewa-menyewa dengan syarat tertentu) tidak berjalan dengan cepar karena pasifnya pasar keuangan setempat, rendahnya dukungan dana dunia yang konvensional, dan karena faktor politik juga.
Oleh karena tidak memiliki lembaga keuangan syariah, pemodal asing hanya bisa memasuki pasar Turki dengan merangkul perbankan lokal atau mulai berusaha sendiri dari awal. Dengan strategi desentralisasi, misalnya dengan pemberian insentif pajak dan swastanisasi, konglomerat besar pun mulai masuk ke Turki.
Asia Selatan
Pakistan[10]
Pada 14 Ramadhan 1420 H, Shariah Appellate Bench (Bagian Urusan Syariah) dari Pengadilan Tinggi Pakistan mengeluarkan putusan yang melarang sistem bunga di dalam semua bentuknya dan apa pun istilahnya. Itu adalah momen paling luar biasa dalam sejarah bangsa Pakistan seperti momen ketika negara Pakistan didirikan. Jadi, setelah 55 tahun sejak negara itu berdiri pada 27 Ramadhan 1365, Pakistan menjadi negara muslim pertama yang secara resmi menyatakan sistem bunga dalam perbankan modern haram menurut Alquran.
Pengadilan pun menjelaskan secara rinci langkah demi langkah yang perlu dilakukan untuk menghapus sistem bunga dari Pakistan. Dampak dari keputusan itu, beberapa UU dibekukan sejak 31 Maret 2000, sebagian lagi sejak 31 Juli 2000, lalu semua UU yang sebelumnya membolehkan sistem bunga sejak 30 Juni 2001.
Pengadilan Syariah Federal Pakistan pada 1991 memutuskan bahwa aturan hukum yang membolehkan sistem bunga dianggap bertentangan dengan Islam. Pemerintahan Federal Pakistan dan beberapa bank serta lembaga keuangan lalu mengajukan 67 usulan banding atas putusan itu. Mereka memiliki alasan, pertama, pengadilan telah menetapkan sejumlah aturan hukum mengenai penolakan negara atas fatwa Islam haram bagi penerima dan pemberi bunga karena menurut temuan Pengadilan Syariah Federal dianggap tidak sama dengan definisi riba yang dilarang Alquran.
Kedua, isu dasarnya sama. Mereka semua merasa dirugikan dengan putusan itu. Ketiga, mereka beralasan bahwa bunga dalam transaksi bisnis baru ada dalam bisnis modern dan sejarahnya dimulai tidak lebih dari 400 tahun lalu. Oleh karena itu, sistem bunga tidak seperti riba yang dimaksud Alquran sehingga pelarangan riba tidak berarti pada pelarangan sistem bunga. Keempat, pandangan itu didukung dengan lima argumen yang berbeda tentang pelarangan sistem bunga. Kelima, ayat Alquran yang melarang riba turun pada saat akhir masa hidup Nabi Muhammad SAW sehingga beliau tidak sempat memberikan penafsiran yang sebenarnya tentang ayat itu. Jadi, tidak ada definisi yang jelas mengenai riba dapat ditemukan di dalam Alquran dan Hadits. Oleh karena bersifat ambigu, ayat itu termasuk ayat mutasyabihat dan tafsiran paling tepat tentangnya tidak akan pernah ada. Jadi, pelarangan riba seharusnya terbatas pada transaksi yang jelas-jelas dilarang dalam Hadits dan prinsip pelarangan riba tidak dapat diperluas pada sistem perbankan modern yang belum ada saat ayat itu disampaikan.
Keenam, istilah riba hanya mengacu pada pinjaman yang tingkat bunganya tinggi dengan maksud eksploitasi atau memeras. Adapun dalam perbankan modern, bunga tidak dapat disamakan dengan riba karena tingkat bunganya tidak tinggi dan tidak bersifat eksplotatif/memeras. Ketujuh, ada perbedaan antara pinjaman yang dipakai untuk konsumsi dan untuk usaha. Menurut mereka, riba yang dipakai dalam Alquran terbatas pada tagihan yang semakin tinggi atas pinjaman untuk konsumsi yang biasa dilakukan orang miskin sekadar bertahan hidup. Seharusnya orang miskin dibantu atas dasar kemanusiaan, tetapi kenyataannya penderitaan mereka dieksploitasi dengan cara membebani mereka dengan bunga yang sangat tinggi. Alquran menyebutkan bahwa perbuatan itu sama saja dengan memerangi kemanusiaan secara umum dan menyatakan perang terhadap siapa saja yang terlibat dalam transaksinya. Jadi, riba tidak sama dengan pinjaman dari bank yang diberikan kepada pengusaha karena para pengusaha adalah orang kaya dan umumnya mereka meminjam uang untuk digunakan menghasilkan keuntungan lagi. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai zhulm yang menjadi prinsip dasar riba.
Kedelapan, Alquran mengharamkan riba masa jahiliyah saja yang menurut sejumlah hadits adalah transaksi tertentu tanpa tambahan nilai tambah dan dilakukan atas dasar kesepakatan peminjaman. Namun, jika pengutang tidak dapat melunasinya pada saat jatuh tempo, pemberi pinjaman agar memberi tambahan waktu disertai dengan nilai tambah saat pengembalian. Menurut teori itu, jika penentuan nilai tambah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama, itu tidak termasuk riba menurut Alquran, tetapi masuk dalam kategori riba menurut hadits (riba al fadhl). Pelarangannya menjadi lebih ringan sehingga lebih tepat dianggap sebagai makruh, bukan haram. Pelarangan itu menjadi longgar karena ada kebutuhan dasar dan tidak berlaku bagi nonmuslim. Oleh karena hanya berlaku bagi muslim, ketentuan itu seharusnya masuk dalam Muslim Personal Law yang kedudukannya berada di luar kewenangan Pengadilan Syariah Federal seperti yang disebutkan dalam Pasal 203 (B) UU Pakistan.
Kesembilan, meskipun transaksi perbankan modern dianggap riba, sistem itu telah menjadi tulang punggung perekonomian di seluruh dunia sehingga tidak ada satu negara pun yang dapat hidup tanpa terlibat dalam transaksi serupa. Jika melepaskan diri dari semua transaksi itu, boleh jadi itu adalah tindakan bunuh diri atau membawa pada kematian. Oleh karena Islam adalah agama yang luwes dan memahami adanya prinsip darurat, Islam bahkan membolehkan memakan babi dalam keadaan ekstrem jika tidak ada makanan lain dan tanpa memakan babi dapat membunuh jiwa. Jadi, prinsip yang sama dapat diterapkan pada perbankan modern sehingga aturan hukum yang sebelumnya membolehkan riba tidak dapat dianggap bertentangan dengan Islam.
Kesepuluh, terakhir, apakah memang benar riba dalam perbankan Islam itu haram? Jika iya, apakah riba dapat menjadi solusi pada saat darurat? Selain itu, mungkinkah sistem keuangan modern dibentuk tanpa adanya bunga? Mungkinkah sistem keuangan syariah menjadi sistem yang layak menggantikan sistem yang ada dalam membangun dunia usaha dan keuangan dunia? Dalam hal itu, para ahli di bidang hukum Islam dari para ulama, ekonom, bankir, akuntan, dan perwakilan pengusaha dan saudagar dituntut agar bersama-sama mencari penyelesaian masalah sistem bunga itu.
Pada akhirnya, keputusan pengadilan itu merupakan disposisi dari usulan banding tadi dan putusan itu dianggap sebagai putusan final dari pengadilan tertinggi di Pakistan. Putusan itu seluruhnya terdiri atas sekitar 1100 halaman. Sebuah putusan yang paling panjang dalam sejarah putusan pengadilan di Pakistan.
Asia Tenggara
Malaysia[11]
Pemikiran tentang lembaga keuangan syariah di Malaysia menyebar dengan pesat. Adapun perbankan Islam pertama kali dikenal dalam sistem perbankan Malaysia pada 1983. Puncak dari hasil pemikiran itu adalah diterbitkannya Islamic Bank Act (UU No 276 tentang Perbankan Islam) Tahun 1983 yang berlaku efektif 10 Maret 1983 dan diterapkan di seluruh Malaysia. UU itu menjadi unik karena berfungsi untuk memayungi perbankan Islam. Keunikannya barangkali karena UU itu menjadi UU pertama bernuansa Islam yang disahkan parlemen Malaysia padahal tidak ada UU selain perbankan yang bernuansa Islam yang pernah disahkan sebelumnya. Keunikan lainnya, sebelum UU itu disahkan, sempat terjadi perdebatan panjang yang terjadi di pengadilan umum, bukan pengadilan syariah. Perdebatan di pengadilan umum itu memberi jalan terbuka bagi sistem perbankan syariah, padahal banyak yang menduga bahwa tidak mungkin pengadilan umum memenangkan UU yang bernuansa syariah.
Dimulai dengan Bank Islam Malaysia pada 1983, Malaysia kini memiliki UU Syariah yang terpisah dari peraturan perbankan konvensional meskipun keduanya tetap dapat dipakai bank konvensional. Agar terbentuk lembaga keuangan Islam yang efisien, progresif, dan menyeluruh, Bank Negara Malaysia pun menangkap kebutuhan akan upaya menarik pemodal luar negeri yang lebih banyak lagi dengan mengembangkan beragam perangkat dan menyediakan sarana bagi sistem keuangan syariah yang lengkap.
Perbankan Malaysia kini menawarkan lebih dari seratus produk dan jasa pembiayaan Islam yang sesuai dengan prinsip Islam. Di antaranya ada mudharabah, musyarakah, muraba’ah, bai’ bitsaman ajil, ijarah, qardh, istisna`, dan ijarah tsumma bai’ selain pasar uang antarbank. Mungkin karena adanya desakan dari Dubai International Financial Center, Malaysia akhir-akhir ini mengeluarkan sukuk (surat utang negara berdasarkan pada prinsip Islam) dalam mata uang asing dan bersaing dengan Singapura untuk menjadi pusat pembiayaan syariah terkemuka di wilayah Asia. Hong Kong pun kabarnya tidak ingin ketinggalan untuk ikut bersaing. Saat ini, hanya ada satu bank yang mendapat lisensi dari Islamic Bankin Act (IBA, UU Perbankan Islam), yaitu Bank Islam Malaysia Berhad (Bank Islam). Diharapkan bank-bank lain akan segera menyusul untuk mendapat lisensi IBA.
IBA menjelaskan, bank Islam sebagai perusahaan yang menjalankan usaha perbankan Islam dan memegang lisensi resmi. Maksud usaha perbankan Islam adalah semua jenis usaha perbankan yang bertujuan dan bergerak dengan tidak memakai unsur-unsur yang dilarang syariah. Adapun istilah usaha perbankan tidak dijelaskan dan IBA tidak memberi keterangan tentang cara atau batas penerapannya dalam konteks perbankan Islam.
Penjelasan tentang usaha perbankan Islam di dalam IBA terlihat sederhana, padahal sebetulnya tidak demikian. Bagaimana penjelasan untuk “unsur-unsur yang dilarang syariah”? Bagaimana dengan pajak yang menjadi bagi dalam transaksi perbankan juga? Meskipun sudah memiliki IBA, ternyata masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam sistem perbankan Islam di Malaysia. Puncaknya adalah munculnya kasus antara Bank Islam versus Dato’ Nik Mahmud bin Daud mengenai transaksi Al Bai’ Bitsam Ajil (membeli sesuatu dengan membayar secara mencicil sesuai dengan jatuh temponya).2
Kasus itu mengemuka karena tidak ada penjelasan secara hukum yang dapat dipakai untuk melindungi sahnya transaksi dalam sistem perbankan syariah. Oleh karena itu, masih banyak pemikiran yang dapat dikembangkan untuk membangun sistem perbankan syariah yang lebih baik di Malaysia.
Secara umum, perbankan Islam telah berakar kuat dalam sistem perbankan Malaysia meskipun belum mencapai potensi utuhnya. Pembenahan sedang dilakukan dalam perbankan Islam dengan dukungan dari pemerintah serta pendorong dan petunjuk bagi Bank Negara Malaysia untuk memastikan perbankan Islam menjadi sistem perbankan pilihan utama. Kini perbankan syariah sudah diterima dengan baik di Malaysia dibandingkan dengan sembilan belas tahun yang lalu.
Setidaknya, itulah sekilas gambaran secara umum perkembangan pemikiran tentang ekonomi syariah di dunia, khususnya di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Semoga saja pengalaman-pengalaman yang sudah terjadi dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslim semua—para ulama, pemikir, penulis, bankir, hingga kaum muslim semua—untuk lebih cepat tanggap dalam mengantisipasi perubahan kecenderungan dunia terhadap penerapan sistem keuangan syariah, termasuk dalam pembentukan lembaga keuangan syariah.
[6] Penafsiran tentang Hak Kepemilikan, Modal, dan Tenaga Kerja dalam Sudut Pandang Islam, Habibullah Peyman, 1979.
[10] The Text of the Historic Judgment on Interest Given by the Supreme Court of Pakistan (from site).
[11] Perkembangan pemikiran perbankan Islam di Malaysia disadur dari beberapa bahan, di antaranya adalah makalah Mohamed Ismail bin Mohamed Shariff, “The Development Of Islamic Banking Juridical And Practical Issues - Is The Law Equipped?”