Siapa yang tak kenal Jeffrey D Sachs? Dia Guru Besar ekonomi di universitas ternama Columbia University, New York, Direktur Erth Institute di universitas yang sama dan dia adalah penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB dalam bidang Millenium Development Goals yang belakangan ini di Indonesia disorot berat karena diduga banyak tujuan tersebut tidak dapat tercapai.
Apa dan mengapa Jeffrey Sach tertarik dan menganjurkan dunia belajar dan menerapkan Ekonomi Buddha yang diamatinya di salah satu negara Buddha, negara kecil di lereng Himalaya, yaitu Bhutan. Bhutan dengan penduduk sekitar 700 ribu orang dengan daerahnya seluas Prancis. Bhutan sebenarnya menurut sejarah merupakan negara yang tidak terpisahkan dari Tibet negara Buddha yang secara de facto dipimpin Dalai Lama yang saat ini berada di pengasingan. Namun, karena Tibet sekarang dalam cengkeraman RRC, maka walaupun Tibet masyarakatnya mayoritas beragama Buddha, tetapi kebijakan ekonominya adalah sama dengan sistem ekonomi RRC. Sama seperti negara lain, walaupun penduduknya mayoritas menganut agama tertentu, belum tentu sistem ekonomi dan politiknya menggunakan sistem yang diajarkan agama tersebut, termasuk penduduk mayoritas Islam di Indonesia, Arab Saudi, Turki, Pakistan, Bangladesh, Brunei, dan sebagainya. Sistem ekonominya adalah sistem ekonomi kapitalis yang berkiblat ke Amerika. Ada apa dengan ekonomi Buddha?
Berbeda dengan kapitalis yang mengejar GNP, gross national product (materi), Bhutan mengejar GNH, Gross National Happinies (spiritual). Memang, secara ilmiah belum ada rumus dalam menghitung GNH ini, tetapi kesalahan yang dikandung oleh indikator GNP sebenarnya sudah banyak dikoreksi oleh berbagai indikator pembangunan ekonomi yang sebagian sudah diakomodasi di MDG (Millineum Development Goals), seperti HDI (Human Development Indexs) yang tidak hanya mengukur keberhasilan ekonomi dari sudut indikator materi atau ekonomi. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak sama dengan banyaknya materi yang dikuasai sebagaimana dalam filosofi kapitalis. Sistem Ekonomi Bhutan yang bisa kita juluki sebagai refleksi dari sistem ekonomi Buddha memfokuskan pembangunan ekonomi rakyatnya dengan mencoba mengamankan spirit penduduknya di tengah serangan perubahan dunia yang amat cepat ditandai dengan kampanye "kotanisasi" (beda dengan urbanisasi), materialisasi, individualisasi, moneterisasi, yang bermuara pada hilangnya "diri" manusia sebagai manusia spiritual.
Jigme Thinley sang inspirator, Perdana Menteri Bhutan, menjelaskan dua hal pokok yang menjadi perhatiannya. Pertama, kerusakan lingkungan dan yang kedua ialah pengertian kebahagiaan. Dia menilai manusia itu adalah makhluk yang terbatas dan rentan. Dia sangat mengkhawatirkan bagaimana budaya impor seperti makanan fast food, TV, video, mobil, gaya/mode, kosmetik, gaya konsumtif, kerja lembur, dan gaya impor dari Barat bisa membawa kita ke suasana kebahagiaan spiritual? Jawabannya tidak, budaya Barat ternyata menghasilkan pada sifat agresivitas, kesendirian, rakus, kerja melulu, kerusakan lingkungan, konflik sosial, yang bermuara pada titik kelelahan yang memuakkan tanpa makna. Bahkan, hidup diakhiri dengan bunuh diri. PM Bhutan mengarahkan sistem ekonominya menciptakan masyarakat yang menikmati "sustainable happines" kebahagiaan yang terus-menerus ditandai dengan kualitas kesehatan manusia, lingkungan yang terpelihara, serta jiwa dan budaya asli yang mampu bertahan dari serangan budaya lain yang tidak sesuai dengan ideologi rakyat. Konsep inilah sebenarnya yang saat ini menjadi perhatian Barat apalagi setelah merasakan dampak negatif dan berbagai macam krisis yang menimpa ekonomi dunia yang sampai saat ini masih menghantui sistem ekonominya dan salah satu penyebab munculnya ide MDGs ini.
Apa kesamaan Ekonomi Buddha dengan Ekonomi Syariah? Dari aspek spiritual banyak sekali kesamaan antara ideologi Buddha dengan Islam dan bahkan juga dengan agama agama besar lainnya seperti Hindu, Yahudi, Katolik, dan Protestan. Bahkan, sering saya sampaikan bahwa sistem ekonomi kapitalis tidak terinspirasi dari agama mana pun. Sistem ekonomi kapitalis berasal dari pemikiran sekularisme, materialisme, dan rasionalisme yang tidak mengakui keberadaan Tuhan yang sudah pasti seharusnya ditentang semua agama. Pemikiran dan refleksi yang diajarkan ajaran Buddha adalah kedamaian, kesederhanaan, kebahagiaan, pasrah, bersyukur, menjaga kelestarian alam, menyatu (simbiosis) dengan alam, membantu yang lemah, meninggalkan kemewahan dunia, dan saling menolong. Kebahagiaan menurut Buddha tidak seperti diyakini kapitalis. Buddha menilai bahwa kebahagiaan tidak menempel pada barang, jasa, dan kekayaan lainnya. Kebahagiaan adalah refleksi dan kecintaan kepada yang lain. Buddha tidak memperhatikan diri (selfish), tetapi pihak lain (altruism). Semua sifat ini sangat sesuai dengan semua agama apalagi nilai-nilai yang diajarkan Islam, termasuk yang harus dikejar oleh sistem ekonomi dan lembaga-lembaga bisnis yang menamakan dirinya Islam (syariah).
Sistem ekonomi Islam yang secara historis sudah pernah membuktikan keberhasilannya pada abad 9-12 M saat ini muncul lagi dalam bentuk praktik, tetapi masih dalam bayang- bayang dan cengkeraman sistem kapitalis. Ia seolah hidup seperti benda yang di cantolkan pada pohon besar yang dibiarkan hidup (kepentingan politik) tanpa di support makanan dari batangnya (keputusan politik yang serius). Untungnya, dia tidak parasit. Bahkan, menjadi obat dan penyeimbang sistem kapitalis yang sudah menjelang tenggelam.
Mengapa sistem ini kendati pun sudah masuk dalam perhatian IMF dan beberapa negara kapitalis, seperti UK dan beberapa universitas, tidak masuk dalam perhatian serius Jeffrey Sach? Salah satu jawabannya adalah bahwa negara-negara yang mayoritas Islam belum menerapkan ini sebagai suatu sistem ekonomi negaranya yang dominan. Jika pun ada seperti Pakistan, Malaysia, baru pada taraf pendamping, sedangkan Iran dan Sudan serta negara lain yang ingin mencoba menjadi serangan terus- menerus dari sang kampiun kapitalis supaya tidak bisa bernapas melanjutkan penerapan sistem ini di negaranya. Ajaran Islam ini memang tidak bisa tumbuh begitu saja tanpa perjuangan dan seharusnya menjadi ladang bagi umatnya untuk menjadi lahan beribadah untuk mencari ridha Ilahi menuju kebahagiaan hakiki, kemenangan besar, fausul aziim. Sistem ini tidak akan bisa berperan luas jika umatnya hanya menunggu dan menunggu.
Oleh: Sofyan S Harahap (Guru Besar FE Universitas Trisaksti)
Republika Online