Harga Pasar Menurut Ibnu Taimiyyah

Ssmua literature tentang ekonomi yang tersebar di berbagai perpustakaan menganggap bahwa ide hukum pasar supply dan demand  adalah hasil perkembangan dari sejarah pemikiran ekonomi. Sayangnya, Sangat minim literature yang mengungkapkan bahwa teori mekanisme pasar sudah dikenal sebelum pertengahan abad 18. Bahkan Schumpeter dengan thesisnya yang sangat terkenal “Great Gap atau Blank Centuries” betul-betul berusaha menafikan keberadaan dan kontribusi ilmuan Arab Islam (Arab-Muslim Scholars) dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu ekonomi. Banyak ilmuan Muslim yang sudah mengemukakan berbagai pemikiran ekonomi sebelum berkembang menjadi theori ekonomi modern saat ini namun tak ditemukan dalam literature sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis oleh ilmuan-ilmuan Barat.


Salah satu ilmuan Muslim yang pemikirannya berusaha dinafikan oleh Schumpeter dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu ekonomi adalah Ibnu Taimiyyah. Dia adalah salah satu ilmuan Muslim yang secara mendetail membahas tentang mekanisme harga pasar dan jenis-jenis pasar. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyyah khususnya tentang konsep harga pasar yang adil.


Ibnu Taimiyyah yang nama lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di Harran pada tanggal 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H). Dia banyak menghabiskan umurnya di Mesir dan Syria di mana kedua kota itu menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyyah sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik dimana dia menetap.


Karena kedalaman keyakinan dan pengetahuannya tentang Islam, Ibnu Taimiyyah disejajarkan dengan Ilmuan Muslim lainnya seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Hazam, Al-Ghazali, Ibn Rusd, dll yang telah melahirkan berbagai karya tulisan dalam lintas berbagai disiplin ilmu. Meskipun peradaban Islam pada saat itu sudah bersentuhan dengan pemikiran ilmuan Yunanni, Ibnu Taimiyyah tetap berusaha menjaga kejernihan ajara Islam dan mencocokkan segala sesuatunya pada shariah Islam. Dia terkenal sebagai reformis radikal yang selalu mengkritik kondisi sosial, politik dan stagnasi perkembangan ajaran Islam yang terjadi disekelilingnya. Jiwa reformis inilah yang membuatnya dipenjara beberapa kali, bahkan ia meninggal dalam keadaan dipenjara di Damaskus tahun 1328 diumur 65 tahun. Tokoh reformis Muslim yang sangat terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang hidup di abad 18 adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1792).


Ibnu Taimiyyah menulis lebih dari 15 buku dengan tema pembahasan yang bervariasi. Pemikiran ekonominya kebanyakan dapat ditelusuri dikedua bukunya yaitu: Al-Hisbah fi’l-Islam dan al-Siyasah al-Shariah fi Islah al-Rai wal’l-Raiyah. Ibnu Taimiyyah menggabungkan aspek philosofi, agama, etika, sosiologi dan ekonomi dalam berbagai pemikirannya, sama seperti ilmuan Muslim lainnya yang lebih cenderung menggunakan pendekatan holistik (holistic intellectual approach) dalam berbagai kajian keilmuannya. Pendekatan ini tentunya berbeda dengan saat ini yang lebih cenderung fokus dan teoritis karena ekonomi telah berkembang jauh menjadi sebuah Ilmu ekonomi yang matang dan solid.


Ilmu ekonomi asal muasalnya berasal dari ide, gagasan dan pemikiran yang kemudian dieksperimentasi dan dikembangkan menjadi teori dan model. Pada tataran ide, gagasan dan pemikiranlah kontribusi para Ilmuan Arab Muslim khususnya Ibnu Taimiyyah dalam proses metamorposis pemikiran ekonomi menjadi ilmu ekonomi. Adam Smith yang disebut oleh kalangan Ilmuan Barat sebagai “the father of economic science” hanya mengemukakan konsep dasar ekonomi dalam bentuk pemikiran seperti dalam bukunya The Wealth of Nation yang melahirkan istilah “invisible hand” yang kemudian dikembangkan ilmuan-ilmuan ekonomi berikutnya menjadi konsep pasar bebas dan hukum pasar supply-demand. Sedangkan ide tentang pasar supply dan demand sudah dikemukakan oleh ilmuan Muslim jauh sebelum Adam Smith dilahirkan. Bedanya cuma satu, Adam Smith diakui sebagai “bapak ilmu ekonomi” oleh para ilmuan ekonomi Barat tapi ilmuan Muslim semacam Ibnu Taimiyyah tidak dianggap pernah memiliki pemikiran ekonomi.


Salah satu contoh sederhana misalnya konsep tentang harga, Ibnu Taimiyyah sering kali menggunakan dua istilah saat membahas tentang harga yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Harga yang adil menurut dia adalah harga yang setara. Ia mengatakan


“kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah makna keadilah (nafs al-‘adl)” (Ghazanfar dan Islahi, 1990).


Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan lebih lanjut tentang harga yang setara (price of equivalent) sebagaimana yang dikutip oleh Ghazanfar sebagai:


“harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangannnya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara bagi barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.” (terjemahan)


Harga yang setara menurut Ibnu Taimiyyah adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah telah mengemukakan istilah yang sama (baca: harga keseimbangan) pada abad ke 11 seperti yang dikemukakan oleh St Thomas pada abad ke 13.


Istilah tentang harga yang adil (fair price) telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah secara detail dalam pembahasannya tentang hukum fiqhi. Dan melalui hukum evolusi metamorposis, nampaknya istilah “adil” yang merefleksikan tentang spirit etika agama Islam pada awalnya, bertransformasi menjadi “natural” pada zaman Physiocrats, menjadi “normal” pada zaman Classical dan terkahir menjadi istilah “Equilibrium” ditangan Marshall dan Ilmuan ekonomi Barat lainnya (Ghazanfar, 2005). Dapat disimpulkan bahwa istilah tentang harga keseimbangan (equilibrium) yang sering dipelajari dalam ilmu ekonomi adalah sebenarnya hasil metamorposis dari istilah Ibnu Taimiyyah tentang “thaman al-mithl” atau harga adil dalam pembahasannya tentang hukum fiqhi.


Ibnu Taimiyyah sangat memahami tentang ekonomi pasar bebas dan bagaimana harga ditentukan melalui kekuatan permintaan dan penawaran. Dia mengatakan (Ibn Taimiyyah 1983-9, vol. 8, p.583):


“Naik turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati manusia.”


Dari ungkapan ini jelas sekali menunjukkan bahwa kenaikan harga bisa disebabkan oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak penjual yang kita kenal sebagai penimbunan atau perilaku manipulasi pasar. Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa harga bisa naik turun akibat kekuatan pasar yaitu supply dan demand. Harga yang terbentuk melalui hukum supply dan demand tanpa ada unsur ketidakadilan didalamnya maka itu disebabkan karena kehendak Allah.


“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply) atau karena peningktan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand), kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah SWT.” (Ibnu Taymiyah, 1983)


Menurut Samuelson harga keseimbangan adalah “A market equilibrium comes at that price and quantity where the force of supply and demand are in balance”. Ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah, perbedaannya hanya terletak pada harga equilibrium itu terjadi bukan hanya karena hukum supply dan demand tapi karena kehendak Allah. Konon katanya, Adam Smith mengalami kesulitan untuk menafsirkan tentang konsep supply dan demand dalam worldview kehendak Allah sehingga ia menciptakan istilah sendiri menjadi “invisible hand”.


Ibnu Taimiyyah menganalisis bahwa kenaikan harga bisa karena penurunan supply barang atau peningkatan jumlah penduduk (jumlah pembeli) –terjadi karena kehendak Allah- atau disebut harga pasar yang adil. Dan kenaikan harga juga bisa disebabkan oleh perilaku zalim penjual berupa penimbunan dan manipulasi pasar. Pendapat ini senada dengan pendapat para ahli ekonomi modern yang mengatakan bahwa pergeseran kurva permintaan terjadi bisa dikarenakan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, pendapatan, selera, dll.


Ibnu Taimiyyah juga mengidentifikasi beberapa faktor yang bisa membuat pergeseran pada kurva permintaan dan penawaran yang akhirnya berdampak pada harga pasar, seperti: tingkat permintaan, kelangkaan dan keberlimpahan barang, cara pembayaran dan potongan harga. Misalnya dia mengatakan:


“if the need is great and strong, the price will increase to extant greater than if the need is small and week........ The price of what is availbale is lower than the price of what is not (physically) available. The same applies to the buyer who is sometimes able to pay at once as he has money, but sometimes he does not have (cash) and wants to borrow (in order to pay) or sell the commodity (to make payment).” (Terjemahan Inggris, Ibnu Taimiyyah, 1983)


Meskipun Ibnu Taimiyyah mengemukakan tentang konsep kekuatan pasar bukan berarti dia setuju dengan konsep “invisible hand” yang dikembangkan oleh Adam Smith pada abad 18 yang kemudian menjadi dasar keberadaan sistem pasar bebas. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa negara harus berperan penting dalam pemenuhan kepentingan publik. Negara harus intervensi jika harga yang berlaku di pasar akibat kezaliman supplier (penimbunan dan manipulasi pasar). Bahkan dia memperkenalkan institusi Hisbah yang bertujuan untuk memastikan semua pelaku ekonomi memenuhi semua kewajibannnya terhadap pihak lain dan bertindak berdasarkan norma dan aturan yang berlaku.


Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah yang hidup di abad 11 sudah terlebih dahulu mengemukakan konsep harga pasar dalam perspektif hukum fiqhi Islam. Dia mengemukakan pemikiran ekonomi ini saat ekonomi belum berkembang menjadi ilmu ekonomi dan ekonomi pada zaman itu belum terpisah sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ini bukan berarti kontribusinya harus dinafikan dalam literature sejarah pemikiran ekonomi seperti yang dilakukan oleh Schumpeter dalam History of Economic Analysis. Ibnu Taimiyyah berhak untuk diakui sebagai salah satu pionir munculnya pemikiran ekonomi modern.


Oleh: Ali Rama, Master Student in Economics, International Islamic University Malaysia (IIUM).


Sumber: Majalah Hidayatullah

Klik suka di bawah ini ya