Ekonomi, dipandang sebagai disiplin sosial maupun sains, tak pernah berhenti berevolusi. Di sisi sosial, fenomena globalisasi membuat relasi-relasi antar entitas ekonomi semakin tak terbatas. Masalah sosial kontemporer pun kerap berujung pangkal pada ekonomi. Sebaliknya pada sisi sains, modernisasi telah menelurkan tesis-tesis baru menggantikan tesis usang yang karatan. Nilai-nilai kualitatif semakin terkuantitatifkan. Alat-alat analisis baru mutlak dibutuhkan, mengikuti rumitnya problem-problem ekonomi kontemporer.
Di sudut lain, nilai dan norma, variabel yang sempat termarjinalkan dari aktivitas ekonomi, diangkat kembali. Ekonom Barat melihat kembali hipotesis Aquinas (1225-1274) atau Max Weber (1905) dengan semangat relijius-kristen (Achsien, 2000). Umat Islam, setelah didikte oleh Barat pasca runtuhnya Khilafah, mencoba merumuskan kembali konsep ekonominya melalui wacana dan aplikasi sistem ekonomi Islam. Intinya para ekonom kembali mempertimbangkan etika-moral. Walaupun begitu, terdapat perbedaan mendasar antara kedua pihak di atas dalam memandang permasalahan ekonomi itu sendiri.
Ekonomi dalam pandangan Barat memiliki dua permasalahan besar, kemiskinan dan pengangguran (Mankiw, 2003). Oleh karena itu, wilayah kerja ekonomi –meminjam istilah Stuart Mill- haruslah ex professo (sesuai dengan profesinya). Ketika dua hal tersebut menjadi nihil, ekonomi telah berjalan semestinya. Berbeda dengan Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Anas Zarqa (1959), ekonomi (dimensi muamalah) hanyalah subordinasi dari syariah yang merupakan inti dari ajaran Islam, di samping akidah dan akhlak. Maka, ekonomi bukanlah segala-galanya. Ekonomi hanya sempurna jika dan hanya jika akidah, syariah dan akhlak telah tersintesis sempurna. Tak menyimpang dari Alquran dan Sunnah. Minimnya pengangguran dan kemiskinan tak menjadi sebuah nilai positif, jika berlandaskan pada norma materialistik semata.
Di sinilah kita melihat adanya sebuah “gap of paradigm” yang terentang begitu jauh antara keduanya. Sehingga mengapa ‘membangun paradigma’ menjadi amat penting dan sering diangkat dalam diskusi belakangan ini.
Ekonomi Islam Saat Ini
Harus diakui bahwa kebangkitan ekonomi Islam terjadi di saat sistem kapitalisme berada pada tahap kematangannya (maturity). Implikasinya adalah, paradigma, world view dan asumsi kapitalistik sangat rawan dan mungkin terbawa dalam membangun pemahaman ekonomi Islam. Penulis memandang, masalah ini sama bahkan lebih berbahaya dibanding dengan masalah ekonomi yang bersifat aplikatif, seperti akad dan kebijakan ekonomi. Sesuatu yang bersifat praktikal bisa ‘sama’ secara esensi tapi berbeda dalam hal ‘hakikat’. Apakah seseorang telah dianggap sebagai Islamic economic man jika ia bermuamalah dengan akad berbasis syariah namun bermotif material semata? Lalu dalam kerangka asumsi, “akad-akad syariah selalu menguntungkan (profitable)”, sering dipersepsikan dari sisi materi semata.
Profitable dinilai dengan satuan uang. Padahal ‘menguntungkan’ dalam konteks tersebut seharusnya berarti berkeadilan. Meski secara materil rugi, tetap dianggap untung karena niat dan proses telah memenuhi aspek syariah. Karena itulah mengapa penerapan profit-loss sharing berjalan di tempat. Jelas saja, institusi keuangan Islam menghadapi hal dilematis, di sisi aktiva harus melempar dana dengan dampak profit-loss dan di sisi pasiva ‘harus selalu’ berprofit. Karena masyarakat sebagai surplus unit ‘tak bersedia’ menanggung beban kerugian.
Fenomena lain yang cukup mengkhawatirkan adalah metode sosialisasi ekonomi Islam itu sendiri. Secara garis besar, sosialisasi ekonomi Islam kepada komunitas awam lebih banyak menggunakan sarana seminar, pelatihan, dan diskusi panel. Padahal pemahaman yang holistik mengenai suatu hal tidak dapat dibangun secara instan. Apalagi, materi yang disampaikan tidak dimulai dengan pembentukan paradigma dan world view Islam, melalui materi asas-tauhid, tapi langsung ‘loncat’ kepada praktikal-akad. Walau ada, porsinya amatlah sedikit.
Fakta-fakta ini dikhawatirkan terus mengendap dan menyebabkan ekses negatif yang berkepanjangan terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Jangan sampai terjadi “salah penilaian” terhadap ekonomi Islam. Melihat fakta bahwa ada sebagian komunitas awam yang skeptis terhadap konsep perbankan Islam, harus dicermati secara seksama bahwa jangan-jangan hal itu bisa jadi sebagai pertanda “arus balik ekonomi syariah”, kemajuan di sisi materi dan kemunduran disisi esensi.
Membangun Paradigma dengan Dakwah
Sebagai solusi permasalahan di atas, komunitas yang bergerak dalam ekonomi Islam haruslah membuat model-model yang lebih efektif dan tepat dalam mengkomunikasikan ekonomi syariah. Model-model inovatif yang mampu mengakselerasikan ekonomi Islam secara total.
Di sinilah kita memerlukan metode dakwah ekonomi Islam tepat. Setidaknya ada hal yang menjadi syaratnya: pertama, tidak parsial namun holistik. Artinya, pengenalan ekonomi Islam tidak berkutat pada sisi “ekonomi” semata, namun mencakup seluruh aspek Islam sehingga menghasilkan pemahaman yang benar. Kedua, tidak temporer namun berkelanjutan. Sebagai contoh, para peserta seminar atau pelatihan dapat terus di follow-up dengan membentuk kelompok-kelompok yang nantinya dapat membahas materi ke-Islaman maupun ekonomi yang lebih mendalam. Tolak ukur suksesnya sebuah pelatihan atau seminar ekonomi Islam jangan lagi dilihat dari banyaknya peserta, apalagi besarnya ‘margin’ sebagai sisa anggaran atau keuntungan. Tapi sejauh mana peserta mampu memahami ekonomi Islam secara komprehensif. Ketiga, tidak eksklusif namun inklusif. Ekonomi Islam tidak hanya beredar di kalangan akademis dan praktisi saja, tapi juga harus menyentuh kalangan grass root yang merupakan pelaku ekonomi mayoritas. Di sinilah organisasi semisal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) hingga FoSSEI (Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam) diharapkan mampu melebarkan sayapnya dalam pembinaan masyarakat.
(Artikel dalam Ekonomi Islam Substantif, Penulis: Muhammad Jarkasih)