Dalam diskursus ilmu ekonomi dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi Islam telah merebut perhatian para pemikir ekonomi di seluruh dunia. Berbagai konferensi, workshop, seminar, kajian ilmiah, baik yang bersifat regional maupun internasional, internal muslim maupun eksternal non muslim, telah diadakan untuk merumuskan bentuk serta arah ekonomi Islam di dunia kontemporer. Hal ini tidak terlepas dari situasi sosial-politik yang menstimulasinya. Pertama, meredupnya sistem ekonomi ala Karl Marx akibat ditinggalkan para pengikutnya setelah runtuhnya Uni Sovyet dan Eropa Timur karena terbukti tidak dapat menyelesaikan masalah masyarakat komunis. Kedua, “keberhasilan semu” sistem ekonomi kapitalis: kemakmuran di negara-negara Barat dan kehancuran di negara-negara miskin dan berkembang dengan indikatornya berupa tingkat pendapatan nasional, jumlah pengangguran, utang luar negeri, tingkat inflasi, dan lain-lain.
Setelah konferensi ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976 yang mencoba merumuskan bentuk perekonomian di negara-negara muslim lalu di follow-up dengan pendirian lembaga Riset Ekonomi Islam Internasional di King Abdul Aziz University, Jeddah, secara perlahan ekonomi Islam menemukan bargaining positionnya dan menjadi solusi alternatif dalam perhelatan ekonomi global. Ditandai dengan bermunculannya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terutama dalam sektor perbankan dan pasar modal. Lembaga keuangan internasional seperti Citibank, HSBC, Allianz dan lainnya, berlomba-lomba meluncurkan produk maupun unit usaha berbasis syariah.
Fenomena ini menimbulkan dua sudut pandang berbeda. Pada kutub positif, ekonomi menjadi sarana dakwah Islam yang efektif dalam artian dapat dirasakan langsung manfaatnya secara lahiriah. Sedangkan pada kutub negatif, ekonomi Islam dijadikan komoditas untuk memperkaya kaum kapitalis terutama untuk menarik dana-dana segar dari Timur Tengah. Hal inilah yang seharusnya menjadi pemikiran para ekonom muslim, jangan sampai terjadi pergeseran yang fundamental dalam pergerakan ekonomi Islam: sebagai sarana dakwah dan perjuangan menuju kesejahteraan umat menjadi komoditas dan sarana imperialisasi negara muslim.
Perbankan dalam Struktur Ekonomi Syariah
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam desain ekonomi Islam sekarang, sektor perbankan dan keuangan menjadi sangat dominan dan dianggap sebagai sisi yang paling rasional untuk dikembangkan. Padahal ekonomi Islam seperti yang disampaikan Umer Chapra dalam The Future of Economic meliputi seluruh aspek ekonomi. Hal ini terjadi karena sektor perbankan telah menjadi trend-setter ekonomi dunia karena paradigma umum yang menjadikan uang sebagai komoditas yang tak pernah terlepas dari bunga (interest). Uang dan bunga menjadi suatu kesatuan (dwi tunggal) yang saling menopang sebagai alat pemupuk kekayaan. Perbankan pun menjadi wadah paling strategis untuk mempraktikkan konsep ini. Ekonomi Islam yang merupakan “pemain baru” mau tak mau ikut dalam arena yang telah tersedia walaupun dengan pembatasan-pembatasan syariah (Tamanni, 2005). Maka wajarlah, kritik tajam terhadap perbankan syariah terus bermunculan seperti buku The Fallacy of Islamic Banking karya Umar Vadillo. Akibat yang terjadi adalah penyempitan serta pergeseran pemahaman terhadap ekonomi Islam itu sendiri dan mengidentifikasikannya sebagai perbankan syariah. Padahal, dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik yang memunculkan nama-nama seperti: Zaid bin Ali, Abu Hanifah, al-Auzai, Abu Yusuf, Abu Ubaid, al-Ghazali, sampai Ibnu Khaldun, analisis ekonomi mencakup seluruh aspeknya seperti teori makro-mikroekonomi, struktur keuangan publik, pengentasan kemiskinan dan perwujudan kemakmuran, mekanisme pasar dan harga, perdagangan, sampai masalah politik-ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah, salahkah jika pengembangan perbankan syariah menjadi langkah awal dalam mewujudkan konsep ekonomi Islam yang kaffah?
Kehadiran LKS dalam setting ekonomi modern adalah suatu keharusan. Sangat sulit dibayangkan jika desain ekonomi Islam menegasikan sektor perbankan dan pasar modal. Kita akui bahwa lembaga intermediasi semisal bank nyaris tidak ada dalam sejarah ekonomi Islam, yang populer adalah pembiayaan langsung atau pembayaran langsung. Namun permasalahan ekonomi modern jelas berbeda dengan masa lampau, sangat kompleks dan memerlukan dunia perbankan. Jangan sampai ”kenangan indah” masa lalu membuat kita terjebak dalam kejumudan, ingat al-ashlu fil muamalah al-ibaahah. Maka yang menjadi polemik bukanlah ada atau tiadanya bank syariah, tetapi posisinya dalam grand design ekonomi Islam.
Blue Print Ekonomi Syariah Global
Melihat berbagai persoalan di atas, sudah saatnya negara-negara muslim di seluruh dunia membuat cetak biru ekonomi Islam yang utuh dan menyeluruh dalam rangka mengubah pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan ekonomi Islam. Dengan begitu starting point, arah perjuangan, dan target-targetnya menjadi jelas. Cetak biru ini dapat mencontoh model-model ideal yang pernah ada sebagai bahan acuan. Namun sekali lagi, tidak terjebak pada -meminjam istilah Dawam Rahardjo- ”glorifikasi” atau nostalgia kejayaan masa lampau. Tidak mungkin kita mengadopsi secara utuh (totally adopted) sistem ekonomi di masa Umar bin Abdul Aziz atau di masa kegemilangan Islam yang lain. Namun setidaknya persentase kemiskinan yang mendekati nol dan penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat menjadi landasan berfikir yang ideal dan logis, tidak utopis.
Dalam penyusunan cetak biru ini, ada beberapa prasyarat (prequisite) yang harus dipenuhi demi kesempurnaannya. Pertama, adanya prioritasisasi pengembangan ekonomi Islam dalam skala global. Sektor apakah paling strategis untuk dikembangkan dan bagaimana caranya. Hal ini dapat ditempuh dengan terus mengadakan kajian ilmiah, seminar dan penelitian, yang tidak parsial dan dapat menjawab tantangan ekonomi kontemporer. Hal ini juga harus mempertimbangkan situasi dan kondisi ekonomi yang telah terbentuk agar tepat sasaran.
Kedua, menggagas kesamaan visi dan misi perjuangan. Menuangkannya dalam gradualisasi atau pentahapan-pentahapan dengan target yang terukur, baik khusus maupun umum. Seperti yang Rasulullah saw contohkan dalam pengharaman khamr, penghapusan sistem ribawi pun tidak bisa dilakukan secara radikal dan tergesa-gesa. Kesamaan pola pikir ini diharapkan dapat meminimalisir pertentangan internal yang mengganggu efektivitas gerak.
Ketiga, memiliki parameter dari sudut pandang yang jelas. Pada sisi ini, para mujtahid ekonomi harus mampu mengeksplorasi Alquran dan Sunnah serta korelasinya dengan realitas (al-waqi) yang ada di komunitas ekonomi. Maqasid as-Syariah harus digali lebih mendalam karena ia merupakan parameter akhir yang mengindikasikan bahwa Islam telah benar-benar diterapkan (totally aplicated).
Terakhir, Blue Print ini tidak boleh memarjinalkan aspek Islam yang lain di luar ekonomi. Karena di sinilah inti ekonomi Islam itu sendiri. Mengaitkan spiritualitas, universalitas, dan aktivitas ekonomi. Seperti yang disampaikan oleh Hasan Turabi dalam Fiqih Demokratis (2001), jangan sampai tersebar ”kemusyrikan ekonomi” di masyarakat Islam: penilaian atas kemakmuran umat menggunakan tolak ukur ekonomi semata, tidak dengan yang lain.
(Salah satu artikel dalam Buku Ekonomi Islam Substantif, penulis Muhammad Jarkasih)