Ada dua kutub pendekatan yang berbeda dalam mengembangkan industri keuangan syariah di dunia. Pertama, kutub pendekatan top-down yang dianut oleh Malaysia. Kedua, kutub pendekatan bottom-up yang dianut oleh Indonesia.
Pendekatan top-down telah membuktikan keberhasilannya dalam hal pangsa pasar perbankan syariah di Malaysia yang telah mencapai 20 persen dengan total aset 65,6 miliar dolar AS (setara dengan Rp 590 triliun). Prestasi ini dicapai Malaysia setelah 27 tahun sejak berdirinya bank syariah pertama di negeri Jiran tersebut.
Pendekatan bottom-up juga masih dipertanyakan keampuhannya karena pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia baru mencapai 2,7 persen dengan total aset Rp 75 triliun. Prestasi yang tampaknya kurang menggembirakan ini dicapai setelah 18 tahun sejak berdirinya bank syariah pertama di Indonesia.
Sepintas dengan data tersebut, tampaknya pendekatan top-down lebih efektif dibandingkan pendekatan bottom-up. Benarkah demikian? Benarkah Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain?
Total aset dan pangsa pasar yang besar di Malaysia, sesuai pendekatannya, sebagian besar ditopang oleh pemerintah. Dana pihak ketiga yang ada pada perbankan syariah di Malaysia didominasi oleh dana pemerintah (18 persen), korporasi (37 persen), dan lembaga keuangan (30 persen). Banyak di antara korporasi dan lembaga keuangan tersebut yang terafiliasi dengan pemerintah atau istilahnya government linked companies (GLC), sedangkan dana yang berasal dari individu hanya 15 persen, yaitu 14,5 miliar ringgit (setara Rp 43,5 triliun) per Januari 2010.
Di Indonesia, peran pemerintah dan BUMN dalam menopang penghimpunan dana bank syariah tidak signifikan. Sebagian besar dana pihak ketiga yang berjumlah Rp 53 miliar (Januari 2010) berasal dari individu dan perusahaan yang tidak terafiliasi dengan pemerintah. Bila kita bandingkan antara jumlah dana pihak yang tidak terafiliasi pemerintah di bank syariah Malaysia dan jumlah dana pihak yang tidak terafiliasi pemerintah di bank syariah Indonesia, ternyata Indonesia masih lebih baik. Dari sisi ini, Indonesia patut mendapat gelar the real market leader.
Itu sebabnya customer base bank syariah di Indonesia sangat luas, yakni mencapai lima juta nasabah. Begitu pula dengan customer base asuransi syariah yang mencapai 3,5 juta pemegang polis dan 500 ribu investor reksa dana syariah.
Dengan total 9 juta nasabah, Indonesia menjadi negara dengan customer base terbesar di dunia. Jumlah ini sama dengan dua kali lipat total penduduk Singapura dan sama dengan total penduduk Malaysia yang beragama Islam yang telah akil balig. Luasnya dukungan masyarakat terhadap keuangan syariah menunjukkan kekuatan pasar yang sesungguhnya. Dari sisi ini, Indonesia juga patut menyandang gelar the real market leader.
Pendekatan bottom-up menunjukkan keberhasilannya dengan luasnya jaringan yang mengakar jauh ke bawah, sampai pelosok-pelosok negeri yang luas geografisnya setara dengan bentangan dari pantai barat sampai pantai timur Amerika Serikat. Dengan 10 bank syariah, 23 unit usaha syariah, 145 kantor BPRS, dan ribuan BMT serta koperasi jasa keuangan syariah menjadikan Indonesia negara dengan jumlah lembaga keuangan syariah terbesar di dunia. Dari sisi ini, Indonesia kembali patut menyandang gelar the real market leader.
Dengan PDB Indonesia 510 miliar pada 2008, setara dengan dua kali lipat PDB Malaysia 221 miliar dolar AS, lebih besar dari PDB Arab Saudi 468 miliar dolar AS. Indonesia memiliki prospek yang sangat baik. Diperkirakan akhir 2010, PDB Indonesia meningkat menjadi 700 miliar dolar AS. Dengan customer base yang begitu luas dan jaringan layanan syariah yang mengakar jauh ke bawah, Indonesia akan mengokohkan diri sebagai the real market leader.
Banyaknya lembaga keuangan syariah tentunya memerlukan pengawasan syariah yang juga mapan. Saat ini, tercatat 532 ulama yang mengawasi 278 bank syariah, 42 asuransi syariah, dan 35 pengelola reksa dana syariah. Pertemuan tahunan Dewan Pengawas Syariah ini merupakan pertemuan terbesar di dunia. Mereka berada di bawah naungan Dewan Syariah Nasional MUI yang sangat produktif menerbitkan fatwa. Saat ini, ada 77 fatwa DSN sejak 2000 atau rata-rata tujuh fatwa per tahunnya. Bandingkan dengan AAOIFI yang berpusat di Bahrain yang mengeluarkan 44 fatwa sejak 2002 atau rata-rata 4,5 fatwa per tahunnya. Dari sisi ini, Indonesia patut menyandang gelar the real market leader.
Indonesia bukan saja memiliki anggota Dewan Pengawas Syariah terbanyak di dunia, melainkan juga memiliki bankir syariah terbanyak di dunia, yaitu delapan belas ribu bankir syariah. Dari sisi ini, Indonesia patut menyandang gelar the real market leader.
Tahun ini, tepat sepuluh tahun berdirinya Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), umur yang sama dengan periode awal penyebaran Islam di Makkah. Selama tiga tahun pertama, hanya 40 orang yang masuk Islam. Pada tahun keenam, sebagian sahabat terpaksa hijrah ke Habsyi. Tiga tahun berikutnya, umat Islam di Makkah sangat menderita akibat boikot ekonomi masyarakat Makkah. Baru saja boikot berakhir, Khadijah dan Abu Thalib meninggal dunia. Allah kemudian menghibur Rasulullah SAW dengan Isra' Mi'raj. Dan, setelah sepuluh tahun di Makkah, turunlah perintah hijrah ke Madinah.
Selama tiga tahun pertama setelah berdirinya MES, bank syariah masih sangat sulit berkembang di Indonesia. Tujuh tahun berikutnya, perbankan syariah sangat menderita akibat perlakuan pajak pertambahan nilai atas transaksi murabahah dan gonjang-ganjing wacana dipindahkannya otoritas fatwa dari MUI ke Bank Indonesia dalam penyusunan UU Perbankan Syariah. Allah kemudian menghibur perbankan syariah dengan tetapnya otoritas fatwa pada MUI dan dicabutnya perlakuan pajak pertambahan nilai atas seluruh transaksi pembiayaan syariah.
Setelah sepuluh tahun berorientasi pada penguatan sistem dan pasar domestik, kini saatnya Indonesia membuka diri untuk memberi kesempatan kepada negara-negara lain mengambil pelajaran dari perjalanan panjang pendekatan bottom-up. Pendekatan yang ternyata membawa Indonesia menjadi the real market leader di dunia tanpa harus sibuk mengaku diri menjadi pusat keuangan syariah dunia.
Oleh Adiwarwan Karim, Reepublika Online