Industri halal saat ini telah menjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia Islam, dan saat ini jumlah negara yang telah memberlakukan ketentuan labelisasi halal, terutama pada produk pangan dan kosmetika, semakin meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan, isu halal ini tidak lagi didominasi oleh negara-negara berpenduduk Islam, namun telah merasuki sejumlah negara yang notabene penduduk muslimnya sangat minoritas.
Sebagai contoh adalah Singapura dan Belanda. Di Singapura, menemukan restoran yang menjual makanan halal sangat mudah. Hal itu dikarenakan oleh penandaan dan labelisasi yang terlihat sangat jelas. Yang menarik, The Singapore Restaurant Association (SRA) telah mengeluarkan dana sebesar 7 juta dolar AS, atau sekitar Rp 65 milyar, untuk menjadikan negeri Singa tersebut sebagai halal hub, dengan fokus utama pada industri makanan China (chinese food) halal. Sementara di Belanda, sebagaimana dinyatakan oleh pakar halal IPB Joko Hermanianto, terdapat ‘polisi halal’ yang tugasnya antara lain melakukan inspeksi terhadap tempat makan yang menjual makanan halal, untuk memastikan bahwa makanan mereka tersebut tidak terkontaminasi unsur non halal.
Konsep Halal
Dalam ajaran Islam, konsep halal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Ia menjadi prasyarat untuk menciptakan kehidupan yang berkah dan diridhoi oleh Allah. Karena itu, halal ini bukan isu kecil dan sederhana, melainkan isu yang sangat besar, dimana setiap muslim diharapkan memiliki kesadaran yang masif untuk hanya mengkonsumsi sesuatu yang halal. Jika ada konsumsi barang haram masuk ke dalam tubuh seorang muslim, maka sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Imam At-Thabrani, doa orang tersebut tidak akan dikabulkan selama 40 hari.
Tentu kalau kita telaah lebih dalam, makna halal ini bisa menjadi sangat luas, karena dapat dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari sesuatu yang bersifat fisik, seperti makanan dan kosmetika, hingga sesuatu yang bersifat non fisik, seperti perilaku dan moralitas. Karena itu, makna halal dalam artikel ini perlu dibatasi, yaitu hanya pada produk pangan dan kosmetika. Dengan kata lain, halal yang dimaksud adalah halal li dzaatihi atau halal pada zat fisiknya. Pembatasan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan persepsi tentang implementasi negara halal.
Pertanyaan yang juga sangat penting adalah, apakah implementasi konsep halal ini berarti bahwa semua produk haram menjadi dilarang? Tentu idealnya adalah seperti itu. Namun demikian, hal tersebut sangat sulit dilakukan, apalagi jika melihat keragaman dan heterogenitas masyarakat Indonesia. Karena itu, kita perlu secara bijak menyikapi situasi yang ada. Bagi penulis, implementasi konsep negara halal ini bukan untuk memberangus produk-produk haram, seperti makanan dan kosmetika yang mengandung unsur babi (kecuali apabila hukum positif telah melarangnya), namun untuk memberikan kejelasan kepada konsumen, mana produk yang haram dan yang halal. Mana restoran yang menjual makanan haram dan yang menjual makanan halal, atau restoran yang menjual keduanya. Kejelasan ini menjadi sangat penting, sehingga konsumen bisa memiliki keyakinan pada saat memutuskan untuk melakukan konsumsi atau pembelian suatu produk.
Pilar Negara Halal
Untuk merealisasikan negara halal ini, ada empat pilar yang harus ditegakkan. Yaitu, kebijakan dan rencana strategis, proses/implementasi serta penandaan dan informasi, pengendalian dan kontrol, dan edukasi publik. Pada pilar pertama, negara harus memiliki aturan dan regulasi yang jelas. Perangkat perundang-undangan yang ada masih belum mengakomodir penerapan konsep halal ini secara kuat. Karena itu, perumusan UU terkait pangan dan kosmetika halal menjadi sebuah keniscayaan.
Kedua, pelaksanaan pilar ini tercermin antara lain pada proses sertifikasi halal, yang saat ini telah dilakukan oleh LP POM MUI, secara bertahap. Diperlukan pembinaan dan pendampingan untuk pembuatan sistem jaminan halal sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat halal, disamping pendampingan proses sertifikasi itu sendiri. Kemudian penandaan terhadap restoran dan tempat makan, maupun kosmetika, dilakukan oleh pemerintah dengan membuat tiga kriteria tanda, yaitu halal, haram, dan meragukan.
Ketiga, pengendalian dibutuhkan sebagai kontrol dan jaminan untuk meluruskan terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan. Keempat, edukasi publik merupakan langkah strategis untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada publik tentang urgensi halal. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik
Ketua Program Studi Ekonomi Syariah FEM IPB
Sebagai contoh adalah Singapura dan Belanda. Di Singapura, menemukan restoran yang menjual makanan halal sangat mudah. Hal itu dikarenakan oleh penandaan dan labelisasi yang terlihat sangat jelas. Yang menarik, The Singapore Restaurant Association (SRA) telah mengeluarkan dana sebesar 7 juta dolar AS, atau sekitar Rp 65 milyar, untuk menjadikan negeri Singa tersebut sebagai halal hub, dengan fokus utama pada industri makanan China (chinese food) halal. Sementara di Belanda, sebagaimana dinyatakan oleh pakar halal IPB Joko Hermanianto, terdapat ‘polisi halal’ yang tugasnya antara lain melakukan inspeksi terhadap tempat makan yang menjual makanan halal, untuk memastikan bahwa makanan mereka tersebut tidak terkontaminasi unsur non halal.
Konsep Halal
Dalam ajaran Islam, konsep halal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Ia menjadi prasyarat untuk menciptakan kehidupan yang berkah dan diridhoi oleh Allah. Karena itu, halal ini bukan isu kecil dan sederhana, melainkan isu yang sangat besar, dimana setiap muslim diharapkan memiliki kesadaran yang masif untuk hanya mengkonsumsi sesuatu yang halal. Jika ada konsumsi barang haram masuk ke dalam tubuh seorang muslim, maka sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Imam At-Thabrani, doa orang tersebut tidak akan dikabulkan selama 40 hari.
Tentu kalau kita telaah lebih dalam, makna halal ini bisa menjadi sangat luas, karena dapat dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari sesuatu yang bersifat fisik, seperti makanan dan kosmetika, hingga sesuatu yang bersifat non fisik, seperti perilaku dan moralitas. Karena itu, makna halal dalam artikel ini perlu dibatasi, yaitu hanya pada produk pangan dan kosmetika. Dengan kata lain, halal yang dimaksud adalah halal li dzaatihi atau halal pada zat fisiknya. Pembatasan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan persepsi tentang implementasi negara halal.
Pertanyaan yang juga sangat penting adalah, apakah implementasi konsep halal ini berarti bahwa semua produk haram menjadi dilarang? Tentu idealnya adalah seperti itu. Namun demikian, hal tersebut sangat sulit dilakukan, apalagi jika melihat keragaman dan heterogenitas masyarakat Indonesia. Karena itu, kita perlu secara bijak menyikapi situasi yang ada. Bagi penulis, implementasi konsep negara halal ini bukan untuk memberangus produk-produk haram, seperti makanan dan kosmetika yang mengandung unsur babi (kecuali apabila hukum positif telah melarangnya), namun untuk memberikan kejelasan kepada konsumen, mana produk yang haram dan yang halal. Mana restoran yang menjual makanan haram dan yang menjual makanan halal, atau restoran yang menjual keduanya. Kejelasan ini menjadi sangat penting, sehingga konsumen bisa memiliki keyakinan pada saat memutuskan untuk melakukan konsumsi atau pembelian suatu produk.
Pilar Negara Halal
Untuk merealisasikan negara halal ini, ada empat pilar yang harus ditegakkan. Yaitu, kebijakan dan rencana strategis, proses/implementasi serta penandaan dan informasi, pengendalian dan kontrol, dan edukasi publik. Pada pilar pertama, negara harus memiliki aturan dan regulasi yang jelas. Perangkat perundang-undangan yang ada masih belum mengakomodir penerapan konsep halal ini secara kuat. Karena itu, perumusan UU terkait pangan dan kosmetika halal menjadi sebuah keniscayaan.
Kedua, pelaksanaan pilar ini tercermin antara lain pada proses sertifikasi halal, yang saat ini telah dilakukan oleh LP POM MUI, secara bertahap. Diperlukan pembinaan dan pendampingan untuk pembuatan sistem jaminan halal sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat halal, disamping pendampingan proses sertifikasi itu sendiri. Kemudian penandaan terhadap restoran dan tempat makan, maupun kosmetika, dilakukan oleh pemerintah dengan membuat tiga kriteria tanda, yaitu halal, haram, dan meragukan.
Ketiga, pengendalian dibutuhkan sebagai kontrol dan jaminan untuk meluruskan terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan. Keempat, edukasi publik merupakan langkah strategis untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada publik tentang urgensi halal. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik
Ketua Program Studi Ekonomi Syariah FEM IPB