Salah satu kekhawatiran yang muncul dengan UU Pengelolaan Zakat yang baru ini adalah akan terberangusnya kedermawanan sosial, yang selama ini telah menjadi tradisi yang mendarah daging di tengah-tengah masyarakat kita. Sebagian kalangan berpendapat bahwa pasal 38 UU yang melarang penghimpunan zakat tanpa izin pejabat berwenang, serta ancaman pidana pada pasal 41 apabila pasal 38 ini dilanggar, telah membatasi kedermawanan sosial masyarakat. Karena itu, mereka menganggap bahwa UU tersebut dianggap tidak sejalan dengan semangat untuk saling berbagi di tengah kehidupan masyarakat, dan bahkan menjadi ancaman bagi sharing mechanism yang telah ada sebelumnya.
Sekilas memang argumentasi ini sepertinya tepat. Namun jika dikaji lebih dalam, maka argumentasi tersebut memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang perlu untuk diperbaiki. Menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu dilihat secara jernih, sebelum mengambil kesimpulan telah terjadi pemberangusan kedermawanan sosial. Pertama, dalam UU yang baru ditegaskan bahwa larangan yang dimaksud adalah larangan menghimpun zakat tanpa izin dari pihak yang berwenang. Adapun infak dan sedekah, maka setiap orang atau lembaga, diberikan kesempatan untuk mengorganisir penghimpunan maupun penyalurannya. Pertanyaannya, mengapa zakat harus diatur secara tegas dan eksplisit untuk dikelola oleh BAZNAS dan LAZ, sementara infak dan shadaqah tidak mesti via lembaga amil, bahkan bisa dilakukan secara perorangan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat konsep zakat dari perspektif syariah. Dalam Islam, zakat adalah ibadah mahdlah yang bersifat qadhaiyyah. Artinya, jika kewajiban zakat ini tidak ditunaikan, maka akan ada pihak lain yang terzalimi, yaitu para mustahik. Hal ini dikarenakan oleh konsep harta dalam Islam, yang apabila jumlahnya melebihi kadar tertentu (yang disebut nishab), maka ada kewajiban yang harus ditunaikan, minimal 2,5 persen.
Dengan nature seperti itu, maka keterlibatan negara (kekuasaan) menjadi sangat urgen, karena ia dapat “memaksa” seseorang yang termasuk kategori muzakki untuk membayar zakatnya. Berbeda dengan shalat yang termasuk ke dalam ibadah mahdlah yang bersifat dayyaniyyah. Artinya, jika shalat ini tidak dikerjakan, maka tidak ada pihak lain yang dirugikan secara langsung. Sehingga, keterlibatan negara untuk membuat UU shalat misalnya, tidak diperlukan.
Kemudian dalam QS 9 : 60 dan QS 9 : 103, secara tegas disebutkan peran amil zakat sebagai lembaga intermediasi muzakki dengan mustahik. Hikmahnya, ketika zakat dapat dihimpun dan dikelola dengan baik melalui kelembagaan amil yang kuat dan amanah, maka tujuan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan akan dapat dicapai. Banyak fakta empiris dan fakta sejarah yang telah membuktikan hal ini.
Zakat dan kebakhilan
Hal yang kedua, dalam Islam, zakat adalah batas pemisah apakah seseorang disebut bakhil dan zalim atau tidak. Ketika seseorang tidak membayar zakat, maka ia sesungguhnya termasuk ke dalam kelompok orang yang bakhil dan zalim. Dengan menunaikan ibadah zakat, maka status kebakhilan dan kezaliman orang tersebut akan tercerabut. Namun, orang tersebut belum disebut sebagai dermawan. Pertanyaannya, mengapa ia belum disebut dermawan?
Alasannya sederhana. Yaitu, zakat yang ia bayarkan sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik pihak lain, yaitu para mustahik. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam QS Adz-Dzariyat : 19 dan QS Al-Ma’arij : 24-25. Kedermawanan yang sesungguhnya justru terlihat ketika ia menunaikan infak, sedekah dan wakaf. Karena itu, jika ingin melihat kedermawanan seseorang, maka lihatlah dari ibadah sunnah yang ia lakukan, yaitu infak, sedekah dan wakaf.
Analoginya, ibarat seorang mahasiswa yang mengikuti sebuah matakuliah. Zakat yang ia tunaikan baru mengantarkannya mendapat nilai C. Jika ingin mendapat nilai A, maka ia harus meningkatkan kualitas dirinya, dengan membayar infak, sedekah dan wakaf. Islam pun telah secara tegas mengatur masalah ini, termasuk dari sisi pengelolaan dan penyalurannya. Jika zakat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW beserta para sahabat, harus dibayarkan melalui amil, maka infak dan sedekah boleh dibayarkan langsung. Bahkan Al-Quran telah membuat skala prioritas penyaluran infak dan sedekah ini, yaitu keluarga dan kerabat terdekat, serta lingkungan sekitar terdekat.
Dengan demikian, dari sisi content, maka UU yang baru ini tidak memiliki satu klausul pun yang memberangus kedermawanan sosial. Kalaupun ada pihak yang selama ini telah menjalankan fungsi keamilan secara tradisional dan turun temurun namun belum dilegalkan, maka agar terkoordinasi dengan baik, penulis menyarankan agar mereka segera mendaftarkan diri untuk dikukuhkan secara resmi, atau bergabung dengan BAZNAS maupun LAZ yang telah terakreditasi, sebagai unit pelayanan zakat khusus.
Dr Irfan Syauqi Beik, Koordinator Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB