Secara umum konsumsi di pahami sebagai penggunaan atas sesuatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan individu maupun rumah tangga. Kebutuhan ini tentu saja berbeda antara satu dengan yang lain nya, antara satu waktu dengan waktu yang lainnya, antara satu lingkung an dengan lin g kungan yang lainnya. Konsumsi dalam eko nomi Islam dipahami sebagai kumpulan perilaku yang meng gambarkan hubungan antara barang dan jasa, de ngan kebutuhan atau keinginan yang ber hu bungan dengan individu dalam sebuah mas ya rakat, yang ditentukan oleh kon disi dan skala prioritas dengan bersandar pada kai dah dan asas Islami, yang bertujuan menikmati dan meng gunakannya dalam ketaat an kepada Allah SWT.
Urgensi konsumsi
Konsumsi adalah fitrah manusia. Ia adalah sebuah kebutuhan darurat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia karena adalah bagian dari usaha manusia untuk te rus da pat mempertahankan hidupnya se ba gai kha lifah Allah didunia. Ia merupakan ben tuk ibadah kepada Allah SWT. Tentu saja jika hal itu diniatkan mendapatkan keridhaan-Nya.
Konsumsi yang dilakukan adalah untuk me ningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan kebaikan, bukan hanya kepada dirinya tetapi juga kepada masyarakat yang lain. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah (QS 2 : 172). Perintah untuk makan atau konsumsi pada ayat di atas digandengkan dengan perintah untuk bersyukur yang menjadi syarat untuk menjadikannya bernilai ibadah.
Konsumsi dianggap sebagai suatu perkara yang baik, selama tidak membahayakan diri maupun orang lain. Islam mendorong manusia untuk mengkonsumsi sesuatu yang baik lagi halal untuk mewujudkan tujuan dari pen ciptaan manusia itu sendiri, yaitu beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah-Nya di mu ka bumi. Artinya, manusia akan mendapatkan dua manfaat sekaligus yaitu manfaat sekarang (dunia) dan manfaat akan datang (akhirat)
Imam As-Syaibani dalam kitab Al-Kasb me nyatakan bahwa masalah kepuasan (al-Isyba’) memiliki empat bagian. Pertama, pada kadar untuk menghilangkan rasa lapar dan me nguat kan dalam ketakwaan, maka itu mendapatkan pahala dan tidak mendapat hukum an. Kedua, yang berlebih dari sekedar me nge nyangkan, ma ka itu adalah mubah (dibolehkan) dan tetap di beri pahala sekedarnya. Ketiga, pada kadar untuk menuruti hawa nafsu dan kelezatan dari sesuatu yang halal, maka itu sesuatu yang dimaafkan dan di minta untuk untuk bersyukur terhadap nikmat yang diberikan dengan mem perha tikan hak-hak orang yang kelaparan. Keempat, yang melampui dari sekedar rasa ke nyang, maka hal itu perkara yang diharamkan. Islam memandang konsumsi sebagai sebuah washilah (sarana) dan bukan tujuan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Barat, bahwa konsumsi adalah tujuan akhir dari hidup ma nusia. Bagi seorang muslim, perila ku konsumsi yang ia lakukan adalah untuk beribadah ke pa da Allah SWT, melaksanakan tugasnya sebagai kha lifah, sekaligus untuk mendapatkan ganjaran pahala yang dijanjikan.
Determinan perilaku konsumsi
Kita mengetahui bahwa faktor penentu peri laku konsumsi dalam ekonomi konvensional ada lah kemampuan daya beli yang dimiliki se tiap orang, selera, dan keinginannya. Pem ba tas an pola perilaku konsumsi adalah hal yang sangat penting dalam ekonomi setiap mas yarakat, karena kemapanan sistem ekonomi satu masyarakat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan sistem tersebut dalam menyediakan kebutuhan setiap individu yang ada. Na mun, bagi seorang Muslim, faktor yang sangat me nentukan dalam perilaku konsumsinya ada lah kecerdasan membuat satu pilihan antara manfaat konsumsi itu sendiri dengan balasan yang akan diterima di akhirat nanti. Hal ini ten tu saja dilandasi pemahaman bahwa kehidupan di dunia bukan akhir segalanya, tetapi hanya sebagai washilah untuk kehidupan yang kekal abadi di akhirat.
Dengan demikian, seorang Muslim dalam perila ku konsumsinya akan dipengaruhi oleh faktor aki dah, ibadah, akhlak, dan keseimbangan. Mak na ibadah tidak hanya dipahami se ba gai p elaksanaan kewajiban-kewajiban ibadah ritual semata. Namun melakukan amal ke baik an adalah ibadah. Profesional dalam pekerjaan adalah ibadah. Melakukan pembangunan dan perubahan dalam masyarakat adalah ibadah. Kegiatan produksi adalah ibadah. Memberi manfaat kepada yang lain adalah ibadah. Allah SWT berfirman: Allah-lah yang telah mencipta kan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, ke mudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan men jadi rezeki untukmu; dan Dia telah me nun dukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) ba gimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang (QS Ibrahim 32-33)
Allah SWT telah menghalalkan segala yang baik dimuka bumi. Ia mengatakan : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik? Kata kanlah: gSemuanya itu (di sediakan) bagi orangorang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (QS Al-A’raf: 32)
Islam mengajak kepada keseimbangan dalam segala hal termasuk dalam perilaku konsumsi. Allah SWT berfirman : gDan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepa damu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lah kamu melupakan bahagianmu dari (kenik matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakang (Al-Qashas : 77).
Seorang Muslim hendaknya menghindarkan diri dari segala bentuk kerusakan dan kebinasaan, selalu mengajak kepada kebaikan dan kebenaran, sikap sederhana, serta menerima apa yang ada. Oleh karena itu, beberapa perilaku yang mesti dihindari seorang muslim dalam konsumsi, antara lain adalah sikap boros dan hidup bermewah-mewahan, pelit dan ber lebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, serta tidak memiliki skala prioritas dalam konsumsi.
Hidup boros dan bermewah-mewahan bisa menjadi sebab dihilangkannya nikmat yang ada, karena hanya melahirkan kemaksiatan pada Allah. Bahkan, ia dapat menjadi penyebab hi langnya sumber daya ekonomi umat. Allah berfirman: makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-Afraf : 31).
Selanjutnya, ke-tawazunan dalam konsumsi sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan. Allah SWT berfirman : Dan orang-orang yang bila menafkahkan harta mereka, tidaklah me reka ceroboh dan tidak pula kikir, melainkan pertengahan di antara keduanya (QS Al-Furqon: 67). Kemudian pada ayat lain, Allah menyatakan : Dan janganlah kamu jadikan ta ngan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS Al-Isra: 29).
Jika dalam ekonomi konvensional seorang tidak melihat kecuali hanyalah kepentingan dirinya sendiri, maka dalam Islam, perilaku konsumsi harus tetap memperhatikan ke adaan orang lain dengan kebiasaan berbagi melalui sedekah, zakat, infaq, wakaf dan lain sebagai nya. Hubungan yang terjalin antara seorang mus lim dengan saudaranya adalah hubungan yang dilandasi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang terbalut dalam persaudaraan. Nabi SAW bersabda: tidaklah beriman seseorang di an tara kalian, sehingga ia men cintai saudara nya lebih dari dirinya sendiri. Hal ini pun sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Insan : 7-8, dimana Allah SWT menyatakan : Dan mereka membe ri kan ma kanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terimakasih (QS Al-Insan 7-8).
Salahuddin El-Ayyubi, Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB