Pengesahan UU Pengelolaan Zakat yang dilakukan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 27 Oktober 2011 lalu telah menimbulkan debat pub lik yang sangat intensif, yang bermuara pada sejumlah isu krusial yang terdapat pada UU yang baru. Menurut Yusuf Wibisono, isuisu tersebut antara lain sentralisasi pengelolaan zakat via BAZNAS, marjinalisasi peran LAZ (Lembaga Amil Zakat) bentukan masyarakat dan kekhawatiran akan “diberangusnya” LAZ melalui aturan persyaratan sebagai ormas, serta ketidakadilan alokasi dana APBN yang hanya diberikan pada BAZNAS.
Bagi penulis, munculnya kekhawatiran tersebut merupakan hal yang wajar. Namun demikian, ada perspektif lain yang harus kita pahami sehingga kekhawatiran tersebut bisa diminimalisir. Pertama, harus diakui bahwa kekhawatiran akan terjadinya marjinalisasi kekuatan masyarakat sipil, antara lain dipicu oleh Pasal 17 UU yang baru, dimana fungsi LAZ hanya untuk membantu BAZNAS. Kata “membantu” diartikan seolah-olah ada hubung an struktural vertikal antara LAZ dengan BAZNAS. Padahal jika kita telaah lebih dalam, pasal 17 tersebut tidak menegaskannya secara eksplisit, karena hubungan tersebut hanya ada pada BAZNAS pusat hingga daerah. Fungsi LAZ pun tetap sama, yaitu menghimpun dan menyalurkan zakat, serta membuat laporan pertanggungjawaban.
Perbedaannya dengan UU lama, dalam UU baru ini ditegaskan kewajiban LAZ untuk melaporkan kegiatan penghimpunan dan pendaya gunaan zakat yang telah dilakukannya kepada BAZNAS (Pasal 19), dan bukan ke wajiban untuk menyetorkan zakat kepada BAZNAS. Hal ini dimaksudkan agar konsolida si dan sinergi antar organisasi pengelola za kat dapat “diformalkan” melalui undang-undang, karena salah satu masalah pengelolaan zakat saat ini adalah masih belum optimalnya sinergi OPZ sehingga terkesan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri.
Kalaupun masih ada kekhawatiran akan mun culnya “penyalahgunaan” dengan adanya pasal 17 dan 19 ini, maka itu bisa diatasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur dan menjelaskan secara detil mengenai mekanisme teknisnya. Termasuk pemberlakuan aturan tentang ormas bagi LAZ yang belum diku kuhkan secara resmi. PP pun harus menjamin LAZ yang telah terakreditasi untuk mendapat perlakuan yang adil dan tepat.
Negara vs masyarakat sipil
Perspektif kedua, dalam pengelolaan zakat di tanah air muncul dikotomi istilah antara “negara vs masyarakat sipil”, sebagaimana yang diusung oleh sebagian pengamat. Seolaholah keduanya adalah entitas yang saling berhadapan dan saling melemahkan. UU ini pun dipandang sebagai “supremasi” kemenangan ne gara atas masyarakat sipil. Menurut penulis, ar gumentasi ini sangat tidak tepat. Oleh karena itu, kita harus melihat zakat ini dari kacamata syariah, jangan sampai nilai-nilai syariah zakat justru tercerabut. Secara syariah, konsep pelaksanaan zakat selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Makna khuz dalam QS 9 : 103 menunjukkan adanya back up kekuasaan dalam pengelolaan zakat. Demikian pula dalam sejarah Islam sejak zaman Rasul SAW.
Namun demikian, dalam konteks Indonesia, keberadaan lembaga zakat bentukan masyarakat juga memiliki andil yang sangat besar dalam mendorong lahirnya institusi zakat yang amanah, kredibel dan profesional. Karena itu menurut penulis, agar selaras dengan konsep syariah, maka keberadaan LAZ ketika sudah dikukuhkan secara resmi, harus dianggap sebagai “bagian dari kekuasaan”. Alasannya sederhana, karena keberadaan dan operasionalisasi LAZ dijamin dan diakui legalitasnya oleh UU, sehingga valid jika kita mengatakan LAZ sebagai bagian dari kekuasaan. Dengan demikian, dikotomi ini dapat kita hilangkan.
Selanjutnya, yang sering menjadi faktor penghambat sinergi BAZ dan LAZ adalah “paradigma kompetisi” ala ekonomi konvensional. BAZ dan LAZ dianggap sebagai kompetitor yang akan saling “memakan” satu sama lain. Akibatnya, masing-masing lembaga akan menganggap institusi lainnya sebagai pesaing. Terkadang di lapangan, kita melihat adanya persaingan yang kurang “berakhlak”. Ini adalah perspektif yang sangat tidak Islami. Seharusnya, antara satu dengan yang lain mengembangkan konsep ta’awwun dan fastabiqul khairat. Sehingga kalaupun muncul semangat berkompetisi, yang muncul adalah kompetisi yang akan mengokohkan bangunan zakat ke depannya, bukan kompetisi yang self-destructive.
Adapun tudingan bahwa strukturalisasi BAZNAS hingga ke tingkat kota/kabupaten akan mendorong inefisiensi pengelolaan zakat, menurut penulis hal tersebut juga kurang tepat. Justru yang diperlukan adalah peningkatan layanan masyarakat, baik masyarakat muzakki maupun mustahik, yang antara lain membutuhkan ketersediaan jaringan kantor dan SDM yang mampu menjangkau setiap pelosok negeri ini.
Dana APBN
Perspektif ketiga, terkait dengan pemberian dana APBN yang hanya untuk BAZNAS, dan bu kan LAZ. Sebagian kalangan menganggap ini se bagai bentuk “ketidakadilan” dan ketidaksetaraan level of playing field. Sesung guh nya, ji ka melihat substansi amanat UU terha dap BAZNAS, maka suntikan dana APBN menjadi sebuah keniscayaan. Jika melihat dan membandingkan tugas BAZNAS dan LAZ, maka BAZNAS tidak hanya menghimpun dan menyalurkan zakat yang diperoleh dirinya sendiri laiknya LAZ, namun juga harus me lakukan standarisasi pengelolaan zakat secara nasional, yang berlaku bagi seluruh organisasi pengelola zakat.
Standarisasi tersebut mencakup pengembangan kelembagaan internal dan eksternal, sertifikasi dan perizinan kelembagaan, pengembangan SDM dan keamilan, pengembangan sistem penghimpunan dan penyaluran, standarisasi sistem pengawasan, teknologi informasi, keuangan dan pelaporan, hubungan luar negeri, serta sebagai pusat koordinasi dan database zakat nasional. Belum lagi ditambah de ngan fungsi pengawasan internal dan operasional internal BAZNAS. Semua ini tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan hak amil. Karena itu, hal yang sangat wajar jika BAZNAS mendapat dana APBN mengingat tugas dan fungsinya yang jauh lebih berat dari LAZ.
Yang harus diawasi adalah keseriusan pemerintah dalam kaitannya dengan anggaran ini. Jika anggaran BAZNAS “dititipkan” mela lui Kementerian Agama, maka itu berarti pemerintah tidak serius mendorong pengembangan zakat nasional. Hal ini dikarenakan oleh sangat kecilnya dana yang nantinya akan diterima BAZNAS, berbanding terbalik dengan beratnya tugas yang diemban. Jika BAZNAS mendapat mata anggaran tersendiri dalam APBN, maka itu adalah sinyal keseriusan pemerintah dalam membangun sistem zakat nasional yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Tantangan ke depan
Bagaimanapun juga, UU Pengelolaan Zakat yang baru ini menyisakan sejumlah tantangan be sar. Pertama, dari sisi regulasi, yaitu penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang aspiratif dan efektif. Jangan sampai PP dan PMA ini ber larutlarut penyelesaiannya, sehingga membuat UU yang baru ini menjadi kontraproduktif. Yang perlu mendapat perhatian dalam pe nyu sunan PP ini antara lain mekanisme pemilihan para komisioner BAZNAS pusat dan daerah, penyusunan tata keorganisasian dan kesekretariatan BAZNAS, dan mekanisme hubungan BAZNAS Pusat dengan daerah serta dengan LAZ.
Kedua, dari sisi SDM. Dengan UU yang ada, maka kebutuhan SDM untuk BAZNAS menjadi sangat besar. Tentu perlu diatur mekanisme rekrutmen dan status kepegawaian BAZNAS ini dengan baik. Ketiga, masa transisi lima tahun ke depan adalah masa yang sangat genting dan strategis bagi penataan kelembagaan zakat ke depan. Karena itu, penulis berharap agar 11 anggota BAZNAS yang akan mengemban amanah lima tahun pertama ini, hendaknya diisi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan profesionalitas yang tidak terbantahkan. Jangan sampai BAZNAS diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki track record yang baik dalam kegiatan perzakatan.
Keempat, sosialisasi dan edukasi publik tentang zakat harus terus ditingkatkan. Masih besarnya gap antara potensi dan aktualisasi zakat menunjukkan bahwa publik masih belum sepenuhnya memahami urgensi pengelolaan zakat melalui institusi amil.
Dr Irfan Syauqi Beik, Koordinator Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB