Zakat adalah ibadah maali-yah ijtimaiyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai malum minad-diin bidli-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dai keislaman seseorang. Di dalam Al-Quran, terdapat dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
Zakat secara empirik terbukti telah berhasil dalam menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini akan terus dapat direalisasikan jika pengumpulan dan pendayagunaan zakat dikelola oleh amil zakat yang amanah, profesional, dan bertanggung jawab dengan menggunakan manajemen modern yang terbuka. Berdasarkan penelitian Baznas dan FEM IPB (2011), potensi zakat di Indonesia mencapai angka tidak kurang dari Rp 217 triliun, atau sekitar 3,40 persen dari PDB.
Potensi tersebut terdiri atas potensi zakat rumah tangga, potensi zakat industri swasta dan BUMN, potensi zakat tabungan, dan lain-lain. Detilnya akan segera diterbitkan oleh Baznas dalam waktu dekat. Dengan aktualisasi potensi yang baru mencapai angka Rp 1,5 triliun saja pada tahun 2010, perlu dilakukan sejumlah langkah strategis.
Delapan langkah
Pertama, optimalisasi sosialisasi dan edukasi zakat. Perlu disadari bahwa zakat membutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam. Harus diakui bahwa pada satu sisi, kesadaran masyarakat untuk berzakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun pada sisi yang lain, antara potensi dana zakat dengan realisasi pengumpulannya terdapat gap yang sangat besar. Untuk itu, sdsialisasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi.
Koordinasi dan kerja sama dengan simpul-simpul masyarakat, baik itu para ulama, ormas-ormas Islam, cendekiawan, maupun masyarakat awam, harus lebih diperkuat. Berbagai sarana dan media komunikasi, mulai dari khutbah Jumat, pengajian rutin, majelis taklim, hingga media massa, harus dapat dimanfaatkan secara optimal dalam sosialisasi zakat ini. Diharapkan kesadaran masyarakat akan semakin tumbuh dan berkembang.
Kedua, membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional. Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antarsesama komponen masyarakat. Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik, akan menggiring masyarakat yang terkategorikan sebagaimuzakki untuk mau menyalurkan dana za-katnya melalui amil. Sebaliknya, buruknya pencitraan hanya akan mengakibatkan rendahnya partisipasi muzakki untuk menyalurkan dananya melalui lembaga amil. Dengan demikian, pencitraan amil ini merupakan hal yang sangat strategis.
Akuntabilitas, transparansi, dan corporate culture merupakan tiga hal pokok yang menentukan citra lembaga yang amanah dan profesional.
Harus disadari bahwa profesi amil ini bukan merupakan profesi sampingan yang dikerjakan dengan tenaga dan waktu sisa. Ia membutuhkan komitmen dan kesungguhan di dalam prakteknya. Profesi amil telah tumbuh menjadi profesi baru dalam dunia bisnis dan industri. Sehingga tidaklah mengherankan jika profesi amil dewasa ini menuntut profesionalitas dalam praktiknya.
Saat ini bukan zamannya lagi untuk mengelola zakat secara asal-asalan, sebab tujuan zakat untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah mungkin tercapai bila zakat tersebut tidak dikelola secara profesional dan transparan.
Ketiga, adalah membangun sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk berjuang dalam mengembangkan zakat di Indonesia. Disinilah urgensinya program studi zakat. Keempat, memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan tentang zakat di Indonesia, termasuk merevisi Undang-Undang No. 38/1999. Hal ini sangat penting mengingat UU tersebut merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan zakat secara nasional.
Zakat pengurang pajak langsung
Salah satu contoh hal yang penting untuk direvisi dalam Undang-undang No.38/1999, dan dengan pajak. Pada Bab IV Pasal 14 ayat (3) tentang pengumpulan zakat, dalam undang-undang perubahan diusulkan bab tersendiri tentang zakat sebagai pengurang pajak. Pada bab IV Pasal 14 ayat (3) tersebutdinyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari labalpendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diktum pada ayat tersebut diusulkan menjadi zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat menjadi pengurang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan ini. Yaitu, Pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memperhatikan dan mengangkat nasib masyarakat Indonesia yang terkategorikan sebagai fakir miskin. Hal tersebut memberikan landasan yang kuat untuk menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen negara di dalam mengentaskan kemiskinan. Kemudian, definisi pajak untuk fakir miskin tidak dijelaskan secara eksplisit dalam paket undang-undang perpajakan yang ada. Kebijakan ini diyakini akan menjadi stimulus untuk meningkatkan pendapatanzakat sekaligus pendapatan pajak.
Berdasarkan pengalaman Malaysia, pendapatan zakat dan pajak mengalami peningkatan pascapenerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Ternyata dana pajak yang dikumpulkan tidak mengalami penurunan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan.
Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia, terungkap bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Hal tersebut membuktikan secara empiris bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak dapat menjadi stimulus untuk menaikkan pendapatan kedua instrumen tersebut secara simultan.
Yang juga sangat penting adalah, dana zakat yang terhimpun tidak dimasukkan kedalam APBN Malaysia, melainkan langsung ke dalam rekening khusus lembaga zakat yang diawasi secara ketat oleh pemerintah. Alasannya sederhana, jika masuk ke dalam APBN, maka penyaluran zakat menjadi lebih lambat dan tidak fleksibel, sehingga dikhawatirkan dapat mempersulit mustahik yang berhak menerimanya. Yang terpenting adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana zakat yang transparan, terukur, dan jelas, sehingga kepercayaan pemerintah dan masyarakat dapat terjaga dengan baik.
Agar diktum ini dapat diimplementasikan, maka perlu diselaraskan dengan diktum yang terdapat dalam UU No 17/2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kini juga sedang dalam proses amandemen, terutama Pasal 9 ayat 1 (g).
Langkah kelima, membangun database mustahik dan muzakki secara nasional, sehingga diketahui peta persebarannya secara tepat. Indikator seseorang apakah terkategorikan sebagai mustahik ataupun muzakki juga harus diatur secara jelas, tepat, dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Keenam, menciptakan standarisasi mekanisme kerja BAZ dan LAZ sebagai parameter kinerja kedua lembaga tersebut. Hal ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak agar masyarakat memiliki ukuran yang jelas di dalam mengontrol pengelolaan zakat di Tanah Air. Kemudian standarisasi tersebut juga dimaksudkan sebagai indikator transparansi dan akuntabilitas institusi zakat.
Ketujuh, memperkuat sinergi atau taawun antar lembaga zakat. Kedelapan, membangun sistem zakat nasional yang mandiri dan profesional. Ini adalah ultimate goal yang harus menjadi target kita bersama. Sistem yang diharapkan adalah sistem yang dibangun di atas delapan landasan yang telah penulis uraikan sebelumnya.
Prof Dr Didin Hafidhuddin, Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS
Qurroh 'Ayuniyyah, Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS