Dalam sebuah obrolan di milis Kahmipro, sempat terlontar adanya kerinduan pada jurnal sekelas Prisma yang pernah diterbitkan LP3ES. Peserta diskusi itu agaknya menangkap hal yang sama, ada kerinduan di kalangan akademisi dan intelektual terhadap kehadiran suatu jurnal berbobot dan bisa dijadikan rujukan bersama. Mereka terkenang Prisma karena pada suasana era reformasi ini, dunia intelektual ternyata lebih banyak memproduksi ''intelektual koran'' yang kurang memberi ruang pada pandangan kritis, reflektif, dan mendalam.
Padahal, ruang keterbukaan sungguh sangat lebar dibandingkan dengan masa Orde Baru. Pada saat yang sama, suasana krisis di Indonesia sungguh teramat kompleks, yang memerlukan pandangan-pandangan reflektif dan visioner. Sejak Prisma berhenti terbit sekitar 10 tahun lalu, belum ada lagi jurnal lintas disiplin yang bisa menggantikan posisinya. Yang beredar kini sebagian besar adalah jurnal segmented, terbatas pada isu atau disiplin ilmu tertentu.
Ambisi mengisi ruang kosong inilah agaknya yang menyemangati terbitnya jurnal Reform Review (RR). Jurnal yang diluncurkan pertengahan Mei lalu itu, kata A.E. Priyono, Pemimpin Redaksi RR, memang dimaksudkan sebagai media lintas disiplin, bersifat semi-akademis, dengan mengangkat isu-isu yang beragam.
Pemilihan isu-isunya sendiri memang perlu kecermatan agar tak terjebak pada isu temporer ala koran atau majalah. Isu-isunya pun tak bisa yang terlalu spesifik dan teknis, mengingat pembacanya dari beragam disiplin ilmu. Namun syarat terpenting adalah kedalaman ide dan gagasan para penulisnya.
Memenuhi tuntutan-tuntutan itu, diakui A.E. Priyono, adalah tantangan terberat. Ditambah pula dengan sumber daya yang terbatas. Untuk sementara, RR terbit berkala sekali dalam tiga bulan. Dalam tagline-nya, RR menyatakan diri sebagai ''jurnal untuk kajian dan pemetaan krisis''. Mengapa krisis? Editorial edisi perdananya menyatakan, krisis akan berlangsung lama dan akan mempertaruhkan eksistensi Indonesia di masa depan.
Pandangan seperti ini menjadi menarik karena sebagian besar kalangan sudah mulai melupakan krisis hanya karena kestabilan ekonomi sudah tercipta dan pemilu bisa diselenggarakan secara reguler. Padahal, fase yang sedang dijalani sekarang ini sering disebut para ahli transisi baru pada tahap demokrasi prosedural. Masih jauh ke fase demokrasi yang stabil.
Meski membawa misi ''berat'', RR berani tampil lebih pop, lebih stylist dibandingkan dengan Prisma yang berformat baku. Bahkan sepintas seperti majalah umum. Format ini, diakui A.E. Priyono, dimaksudkan untuk menarik minat para pembaca baru yang sudah terbiasa dengan efek visual dan grafis. Hal ini memang kontras dengan isinya yang serius. Tapi itulah yang membedakan jurnal dengan majalah umum.
Edisi perdana mengangkat tema krisis agama publik, isu yang selintas tak terkait dengan situasi Indonesia. Tapi persoalan ini memang krusial, menyangkut pola relasi antarumat beragama yang sering kisruh. Sebagian penulis setuju perlunya ''agama publik'' yang bisa mendekatkan partikularitas agama-agama di Indonesia. Dalam deretan penulis itu tertera nama Dawam Rahardjo, Yudi Latif, Martin Lukas Sinaga, Benyamin F. Intan, Wayan Sudirta, dan Metta Dharmasaputra. Plus wawancara panjang dengan Jalaluddin Rakhmat tentang agama madani.
Tapi, apakah agama publik itu? Di sinilah para penulis menunjukkan gagasan beragam, sesuai dengan perspektif teoretis yang dibangunnya. Untuk menunjang tema besar ini, rubrik indikator menyajikan ulasan menarik tentang proyek syariahisasi di banyak daerah. Pemetaan masalah ini cukup rinci dan dapat menjadi petunjuk ke arah mana gerakan yang sekarang sedang mewabah itu.
Kajiannya terhadap pemetaan gerakan Islam trans-nasional cukup detail, mampu mengungkap ekspansi gerakan Islam yang selama ini kurang terpublikasikan. Hal yang sama terlihat dalam tulisan mengenai Kristen politik.
Sebagai jurnal, RR agaknya sudah menunjukkan keberhasilannya. Setidaknya, artikel Yudi Latif yang berjudul ''Mewujudkan Misi Profetik Agama Publik: Melampaui Pemikiran Islam Liberal'' telah mengundang polemik seru di milis Kahmipro yang dikelola para alumni HMI itu. Di situ ada perdebatan intelektual yang hangat antara Hamid Basyaib, Koordinator Jaringan Islam Liberal, dan Yudi Latif, Direktur Reform Institute, penerbit jurnal ini. Perdebatan itu cukup mencerahkan karena dilakukan secara elegan.