Profesor Tobias Kurth tiba-tiba menjadi buah bibir banyak peneliti. Semua peneliti dari Amerika Serikat hingga daratan Eropa dibikin heboh oleh studi kaitan penyakit migren dengan penyakit jantung. Sejumlah media di negeri George W. Bush itu pun tak luput memberitakan studi periset Harvard School of Public Health dan dokter di Brigham and Women's Hospital, Amerika Serikat, itu.
Cuma, yang bikin heboh bukan lantaran Kurth menyajikan temuan teranyar. Melainkan ia dituding telah bertindak tidak etis atas tulisannya di jurnal kedokteran bereputasi internasional: The Journal of American Medical Association (JAMA) edisi awal Juli lalu. Yakni tidak mencantumkan (disclosure) sumber dana riset di halaman ucapan terima kasih di artikel tadi.
Dalam artikel ilmiah, biasanya terdapat bagian ini. Lazimnya ditempatkan di halaman terakhir setelah daftar pustaka. Kasus itu terbongkar setelah kantor berita Amerika Serikat, Associated Press (AP), membeberkan perilaku Kurth pada edisi medio Juli silam.
Di artikel tersebut, ia menggarap studi terhadap 27.800 wanita berusia di atas 40 tahun. Mereka semua belum pernah menderita serangan jantung. Namun, dari wanita sebanyak itu, Kurth dan koleganya hanya mengambil 5.125 wanita yang menderita migren sebagai objek studi.
Lalu kesehatan mereka diperiksa. Ternyata ada beberapa wanita yang mengidap migren aura. Penyakit ini ditandai oleh kaburnya pandangan, misalnya cahaya lampu tampak bergoyang seperti zig-zag. Serangan biasanya berlangsung 20 menit hingga satu jam. Hasilnya, wanita penderita migren aura berpotensi kena serangan jantung dua kali lipat ketimbang penderita migren jenis lain. "Tapi risikonya pun kecil," ujar Kurth.
Semula studi yang dibeberkan dalam JAMA itu adem-ayem saja. Bahkan mendapat respons positif dari sejumlah ahli penyakit saraf. Namun, sepekan JAMA terbit, muncul bocoran dari AP. Isinya, antara lain, Kurth rupanya mendapat sokongan dana dari Bayer. Kaitannya tampak karena pabrik farmasi yang bermarkas di Leverkusen, Jerman, itu bermerek Tylenol dan Advil, pereda rasa nyeri yang kadang-kadang dipakai untuk mengobati migren. "JAMA kena batunya akibat kebijaksanaan terhadap aksi pelanggaran itu," demikian diungkapkan AP, medio Juli silam.
AP omong begitu, sebab hal itu terjadi tak lama setelah Dewan Redaksi JAMA membuat aturan baru. Sejak Januari lampau, jurnal kesehatan terbitan Ikatan Dokter Amerika Serikat itu mewajibkan setiap peneliti atau penulis menjelaskan sumber dana penelitian sebelum tulisan diterima untuk dipublikasikan. Ini untuk menghindari potensi konflik kepentingan. Selain itu, agar pembaca tahu reliabilitas riset penulis.
Langkah JAMA ini mengikuti langkah kompetitor utamanya: New England Journal of Medicine (NEJM). Majalah kesehatan yang terbit di Inggris ini sudah lebih dulu menerapkan aturan tersebut.
Jajaran redaksi JAMA terperanjat. Pihaknya kecolongan. Reputasinya sebagai majalah yang diakui kalangan dokter di dunia terusik. "Kami merasa terbunuh," kata Pemimpin Redaksi JAMA, Catherine DeAngelis. Ia mengaku tak tahu soal itu sebelumnya. Tak juga punya kekuasaan untuk mengecek latar belakang peneliti. "Saya bukan Tuhan, bukan pula FBI (dinas penyelidik federal)," ia menambahkan.
Kini pihaknya meminta Kurth membuat ralat dalam JAMA terbitan berikut. Ia juga meminta penulis mengakui kesalahan apabila tidak mencantumkan ikatan finansial itu. Angelis akan pula membikin surat di edisi tersebut. Belum diputuskan ada sanksi atau tidak.
Ini merupakan keteledoran ketiga JAMA. Sepekan sebelum kasus itu terbongkar, JAMA juga melaporkan adanya studi depresi yang tidak melaporkan kaitan dengan produsen obat antidepresi. Dua bulan lalu, kasus serupa muncul dalam artikel yang menelisik efek obat radang rematik terhadap kanker.
Atas kasus tersebut, sejumlah peneliti juga mengkritik Kurth. Salah satunya, Profesor George K. Lau, hepatolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Hong Kong. "Itu masalah sensitif. Saya pikir, mereka seharusnya mencantumkan nama sponsor," ujarnya kepada Gatra. Begitu pula Dokter Frederick Freitag, ahli migren dari Amerika Serikat. Ikatan itu sebaiknya dilaporkan, meski tak mempengaruhi riset.
Tindakan Kurth itu mengejutkan sejumlah peneliti. Ia tergolong peneliti senior. Epidemiolog dari Brigham and Women's Hospital itu sudah menulis sejumlah artikel di sejumlah jurnal sebelum di JAMA. Antara lain: Circulation, Neurology, dan American Journal of Epidemiology. Semestinya ia memahami aturan itu.
Toh, Kurth bersikukuh bahwa tindakannya benar. Hasil riset itu tak menunjukkan konflik kepentingan. "Saya tidak mempromosikan suatu obat," katanya. Sementara itu, wakil ketua tim peneliti, Nancy Cook, menyatakan bahwa konflik kepentingan itu kadang-kadang ada. Sebaiknya disebutkan pula sumber dana. "Saya pikir, ini juga dapat merusak reputasi peneliti," ujarnya.
Kaitan studi yang dimuat dalam jurnal dengan penyandang dana sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Banyak peneliti yang mengandalkan dana dari mereka. Ikatan itu tak sebatas dana riset, tapi bisa berupa fee untuk menjadi pembicara di sebuah seminar, kepemilikan saham di perusahaan itu, atau menanggung biaya perjalanan.
Memang tak ada larangan menggandeng pabrik obat untuk mendanai riset. Di lain pihak, pabrik farmasi diperbolehkan meminta para dokter meneliti obat atau suatu penyakit. Toh, kode etik tetap harus ditegakkan. Tujuannya, agar pembaca tak merasa dikelabui dengan hasil studi itu. "Sebagai akademisi, kita bekerja bukan untuk mereka," kata Profesor George K. Lau.
Lau menuturkan, ada beberapa kode etik yang harus dihormati. Antara lain, data penelitian harus dipercaya, akurasi studi mesti tinggi, menyebutkan sumber dana dan menyebutkan konflik kepentingan, serta melampirkan surat registrasi bila artikel itu merupakan hasil uji klinis.
Meski begitu, ada saja pelanggaran. Pertemuan para editor jurnal yang berkumpul di Konferensi Internasional Liver di Shanghai, Cina, belum lama ini, mengungkapkan beberapa contoh pelanggaran. Salah satunya, ada peneliti yang bias melaporkan studi mengenai efek suatu obat terhadap penyakit. Ketika tulisan ini diperiksa tim editor, ditemukan kejanggalan. Tulisan itu tidak menggambarkan hasil studi sebenarnya. Tim editor lalu meminta penulis memperbaiki tulisan tadi sebelum dimuat di jurnal. Tapi peneliti, atas pertimbangan penyandang dana, tak mau. Ia lebih memilih artikel itu ditarik.
Menurut Dokter Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, untuk memasukkan sebuah tulisan dalam jurnal yang terkenal, penulis melewati seleksi cukup ketat. Tulisan yang masuk ke editor lalu dikirim ke sejumlah pembahas yang memahami masalah tersebut.
Identitas penulis dirahasiakan. Setelah membaca, pembahas memberikan tiga komentar: diterima, diterima dengan perbaikan, atau ditolak. Lalu komentar pembahas dikirim ke editor dan diteruskan ke penulis. Di sini penulis juga tak tahu siapa saja pembahasnya. Jika ada perbaikan, penulis wajib memperbaiki. Bila masih belum memuaskan, harus diperbaiki lagi. "Bisa makan waktu berbulan-bulan," ujarnya.
Dalam tulisan itu, peneliti juga diminta mencantumkan disclosure. Sebagian besar penerbit jurnal hanya menganjurkan. Maka, Sheldon Krimsky, peneliti dari Universitas Tuffs, Amerika Serikat, menganggap perlu adanya sanksi buat pelanggar. Itu kalau jurnal tadi ingin punya standar etika. "Misalnya, penulis itu dilarang melaporkan hasil studinya dalam publikasi mendatang," katanya. Ia juga meminta perguruan tinggi tempat penulis mengajar dan meneliti menginvestigasi para peneliti bermasalah.
Mantan editor NEJM, Jerome Kassirer, mengakui bahwa selama ini perguruan tinggi tak berbuat apa-apa terhadap anggota yang kerap bergantung pada konflik kepentingan. "Sebaiknya perguruan tinggi itu punya kebijakan lebih tegas," ujarnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Hasbullah Thabrani, Pemimpin Umum Majalah Kedokteran Indonesia, bilang bahwa majalah yang dipimpinnya belum menerapkan aturan seperti yang diterapkan JAMA dan NEJM. Meski begitu, peneliti dianjurkan mencantumkan sumber dana dalam bagian ucapan terima kasih di tulisan itu.
Belum ada sanksi bagi pelanggar. Tapi, bila ketahuan bermasalah, tulisannya akan mempersulit proses dia mendapatkan akreditasi. Bahkan, kalau tulisan itu dipakai sebagai bahan disertasi, si penulis akan menemui kesulitan memperoleh gelar doktor.