Pertengahan Desember ini ada dua pertemuan penting di Bahrain. Pertama, Rountable Meeting yang dilaksanakan oleh Islamic Financial Services Board bersama bank sentral Bahrain, yang membahas manajemen risiko perbankan syariah. Kedua, pertemuan Dewan Syariah International Islamic Financial Market, yang membahas mitigasi risiko perbankan syariah melalui instrument hedging yang sesuai syariah.
Perkembangan industri keuangan syariah yang demikian masif di berbagai negara, telah mengantarkan industri ini pada kesadaran yang lebih tinggi akan pentingnya mengelola risiko yang muncul atau diantisipasi akan muncul. Kecenderungan pengembangan produk-produk keuangan syariah global yang mengambil produk-produk keuangan konvensional sebagai basis, tentunya setelah dimodifikasi agar sesuai dengan syariah, menambah tinggi kesadaran itu.
Para pegiat keuangan syariah tentu tidak ingin industri keuangan syariah mengalami krisis yang sama seperti yang telah terjadi di keuangan konvensional. Kedua pertemuan itu memberikan pesan yang sama, "Melakukan sesuatu yang sesuai syariah harus selalu diikuti dengan memilih yang terbaik di antara pilihan sesuai syariah yang ada."
Sejumlah peserta mengangkat beberapa kasus produk keuangan syariah yang akhirnya bermasalah. Produk keuangan syariah yang bermasalah itu dikembangkan dengan mengambil basis produk keuangan konvensional. Ketika masalah sejenis itu terjadi di sistem keuangan konvensional, mereka telah memiliki solusinya.
Celakanya, ketika masalah sejenis itu timbul di sistem keuangan syariah, solusi yang sama tidak dapat dilakukan di sistem keuangan syariah. Lebih jelasnya, ketika terjadi gagal bayar di keuangan konvensional, penerbitan produk derivatif dapat menjadi solusi sementara. Sedangkan di keuangan syariah produk derivatif sulit untuk dimodifikasi menjadi produk yang sesuai syariah.
Kesadaran akan pengelolaan risiko pada perbankan syariah di Indonesia juga semakin baik. Kita ambil contoh produk gadai emas syariah. Selama lebih dari 15 tahun perbankan syariah beroperasi di Indonesia, produk gadai emas syariah tidak pernah mendapat perhatian sebesar hari ini. Berbagai inovasi telah dilakukan oleh perbankan syariah sehingga produk gadai emas syariah mengalami pertumbuhan yang fenomenal.
Produknya sendiri sangat sederhana dan mirip dengan produk yang ditawarkan Perum Pegadaian yang telah dikenal di Indonesia sejak 100 tahun yang lalu. Seorang calon nasabah memiliki emas dan membutuhkan uang tunai untuk suatu keperluan mendesak. Emas digadaikan, nasabah menerima uang, emas dititipkan ke bank syariah, bank syariah mengenakan biaya penitipan emas.
Ketika jatuh tempo, nasabah menebus emasnya. Sesederhana itu. Tidak terdengar riuh rendah ketika produk ini mulai ditawarkan ke pasar. Kita katakan saja inilah tahap pertama dari perkembangan produk Gadai Emas Syariah.
Tahap kedua evolusi produk gadai emas syariah dimulai secara tidak sengaja. Ketika nasabah yang seharusnya menebus emasnya pada saat jatuh tempo, ternyata tidak mampu untuk menebusnya. Berbeda dengan kelaziman, bank syariah akan melakukan gadai ulang. Emas tersebut secara prinsip ditebus nasabah, segera selanjutnya emas tersebut digadaikan kembali ke bank.
Nasabah membayar selisih antara uang tebusan yang harus dibayarnya dengan nilai gadai ulang yang seharusnya diterimanya. Tentu dengan memperhitungkan juga biaya penitipan emas yang harus dibayar nasabah.
Perubahan ke tahap kedua telah mengubah profil risiko produk gadai emas. Bila proses gadai ulang berlanjut kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, risikonya bertambah besar mirip dengan risiko fasilitas kredit evergreen di sistem bank konvensional. Risiko gadai emas syariah di mana bank memegang emas sebagai jaminan setara dengan risiko kredit evergreen back to back bank konvensional dengan jaminan deposito.
Tahap ketiga evolusi produk gadai emas syariah diawali dengan keinginan nasabah memiliki lebih banyak emas. Ketika nasabah menerima uang hasil menggadaikan emasnya, ia membeli emas berikutnya yang selanjutnya digadaikan juga ke bank. Biasanya dengan menambah sejumlah uang untuk kuantitas emas yang sama, atau bila tidak ingin menambah sejumlah uang, nasabah membeli emas dengan kuantitas yang lebih kecil. Sama dengan tahap kedua, pada saat jatuh tempo nasabah menggadai ulang emas-emasnya tersebut.
Risiko pada tahap ketiga ini sama sifatnya dengan risiko pada tahap kedua, hanya saja besarannya lebih besar karena bertambah besarnya kuantitas emas yang digadaikan. Dari segi keamanan bank, untuk meminimalkan kerugian ketika terjadi gagal bayar, memang bank relatif aman karena memegang jaminan emas yang likuid. Hal ini sebenarnya sama dengan kredit yang dijamin dengan deposito yang juga likuid. Namun, jaminan ini tidak mencegah terjadinya risiko gagal bayar, tidak juga mengubah sifat risiko.
Rasio pembiayaan bermasalah di Perum Pegadaian memang kecil, begitu pula rasio yang sama untuk produk gadai emas syariah di perbankan syariah. Namun, semakin sering dilakukan proses gadai ulang, semakin besar risiko gagal bayar. Sehingga rasio yang kecil pada tahap pertama evolusi kemungkinan besar akan meningkat pada tahap kedua bahkan semakin besar lagi pada tahap ketiga evolusi produk ini. Risiko akan semakin besar bila memasuki tahap keempat evolusi, yaitu ketika nasabah membeli emasnya secara cicilan pula.
Mari kita beralih ke produk lain, Ijarah Mumtahiya Bit Tamlik (IMBT). Produk ini sama sederhananya. Nasabah ingin memiliki rumah, misalnya. Nasabah membayar cicilan bulanan, besarnya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kesepakatan. Pembayaran cicilan dari nasabah ini, sebagian diakui sebagai pendapatan dan sebagian lagi diakumulasi untuk pada akhirnya digunakan sebagai pelunasan kewajiban nasabah.
Risiko produk ini sebenarnya mirip dengan risiko financial leasing di sistem keuangan konvensional, mirip dengan risiko kredit jangka panjang dengan cicilan pokok pada bank konvensional. Namun, sebagai produk syariah dengan paradigma syariah, tentu cara pencatatan produk ini berbeda dengan yang konvensional.
Cicilan pokok nasabah untuk pelunasan dicatat sebagai biaya penyusutan yang akumulasinya di akhir periode untuk pelunasan. Sifat risiko berubah ketika "biaya penyusutan pembiayaan IMBT" ini dianggap sama dengan "biaya penyusutan aktiva tetap". Implikasi pajaknya sangat berbeda karena "biaya penyusutan pembiayaan IMBT" tidak dapat dianggap biaya dalam kaca mata pajak sebagaimana "biaya penyusutan aktiva tetap". Substansinya, ia adalah kumulasi cicilan nasabah untuk melunasi kewajibannya.
Keinginan untuk meniru atau berbeda dengan produk keuangan konvensional, sama-sama menimbulkan risiko yang unik. Dua pertemuan di Bahrain itu merekomendasikan pentingnya mengembangkan manajemen risiko khas keuangan syariah.
Oleh Adiwarman Karim