Sering kita mendapati pertanyaan yang sangat mendasar tentang perbedaan antara kredit bank konvensional dengan skema pembiayaan bank syariah. Lantas para praktisi perbankan syariah mereka-reka perbedaannya untuk memuaskan pihak yang bertanya. Walaupun demikian, tetap saja pihak yang bertanya sering tidak puas terutama mengenai perbedaan antara bunga dengan margin pembiayaan jual beli. Keduanya memang hampir mirip, serupa tapi tak sama.
Pada prinsipnya, pembiayaan syariah secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga skema yakni bagi hasil, jual beli dan sewa. Perbedaan bagi hasil dengan kredit konvensional sangat nyata sehingga orang awam sekalipun dapat cepat memahaminya. Return bagi pemilik modal sangat ditentukan oleh apakah proyek yang dibiayainya menguntungkan atau tidak. Dalam bagi hasil, jumlah uang yang dikembalikan kepada pemodal tidak tergantung pada jangka waktu pembiyaan tetapi lebih ditentukan oleh nisbah bagi hasil dan tingkat keuntungan yang terealisasi. Tidak ada kepastian bahwa pemodal akan mendapat untung.
Dalam pasar keuangan yang kompetitif, bisa dipastikan bahwa tingkat return dari bagi hasil akan selalu sama dengan marginal product of capital (MPC). Dengan kata lain harga modal harus sama dengan MPC. Bila lebih dari MPC maka pemodal menerima extra profit di atas harga pasar, dan karena itu ada pemodal lain yang bersedia menawarkan harga (atau nisbah) yang lebih rendah. Bila lebih rendah dari MPC maka tidak ada pemodal yang berse dia memberikan pembiayaan. Sebab itu, harga modal akan selalu sama dengan MPC.
Uraian diatas sebetulnya menerangkan prinsip dasar pembentukan harga modal.
Dalam bagi hasil, harga modal dikaitkan langsung dengan manfaat yang diberikan oleh modal terhadap kegiatan usaha.
Karena memberikan manfaat, maka modal harus dihargai. Semakin besar manfaatnya, semakin besar pula pengembalian yang diberikan atau semakin mahal harga modal.
Dalam kredit konvensional harga modal disebut juga suku bunga. Sebagaimana te lah diterangkan dalam kolom Bukan Taf sir edisi yang lalu suku bunga adalah har ga waktu atau the price of time dan bukan harga uang. Artinya, suku bunga sebetulnya merupakan ukuran manfaat waktu.
Logikanya, karena peminjam di be ri teng gang waktu untuk membayar maka se olaholah waktu menciptakan manfaat. Pada hal yang membuahkan manfaat atau keun tung an sejatinya adalah aktifitas usaha.
Di sini timbul masalah yang mendasar yaitu menimbang manfaat modal dengan takaran waktu. Ibaratnya, anda mengukur berat badan anda dengan termometer.
Karena takaran yang digunakannya salah, maka hasil pengukurannya pasti meleset.
Masalah takaran atau timbangan bukanlah hal yang sepele. Keadilan dalam bermuamalat hanya tercipta bila takaran yang digunakan adalah akurat. Syarat utamanya jenis takaran harus sesuai dengan apa yang ditransaksikan. Lagi pula dalam hadist dikatan bahwa tiga orang yang paling duluan masuk neraka adalah penguasa yang lalim, hakim yang tidak adil dan pedagang yang mengurangi timbangan. Karena takaran yang digunakan salah, maka terdapat risiko yang besar kita terjerumus pada kategori mengurangi timbangan. Harap dicatat bahwa kita tidak sedang berupaya untuk menghubungkan masalah riba dengan hadist di atas. Poin yang sebenarnya adalah bahwa waktu tak bisa menjadi dasar takaran bagi manfaat modal dan masalah takaran tak boleh dianggap enteng.
Bagaimana dengan pembiayaan jual beli barang yang melibatkan margin mirip suku bunga? Taruhlah anda mengajukan pembiayaan pembelian mobil atau barang apapun seharga Rp 200 juta. Oleh sebuah bank syariah, anda diwajibkan membayar cicilan Rp 10 juta per bulan selama 30 bulan. Total cicilan selama itu adalah Rp 300 juta, sehingga bank mendapatkan marjin Rp 100 juta. Lantas apa bedanya dengan bunga bank konvensional?
Yang beda adalah dasar logika transaksinya. Untuk dapat berkendara dengan mobil kita punya dua alternatif pilihan yakni beli mobil secara tunai atau menyewanya. Karena kita tidak memiliki uang yang cukup, menjadi tidak mungkin untuk membelinya. Kalau terus menerus menyewa, kita juga tak kunjung memiliki mobil. Karena itu anda bersepakat dengan bank untuk melakukan transaksi sewa-beli. Kalau sewa mobil adalah Rp 6 juta per bulan maka total biaya sewa selama 30 bulan adalah Rp 180 juta. Setelah 30 bulan, tentunya nilai mobil menyusut katakanlah harganya menjadi hanya Rp 120 juta. Biaya sewa ditambah nilai sisa mobil berjumlah Rp 300 juta. Tidak ada keterlibatan bunga disini. Marjin yang dinikmati oleh bank timbul karena kita dianggap menyewa mobil, dan sebagai imbalannya kita boleh berkendara sebelum mobil itu sepenuhnya dimiliki.
Baik bagi hasil maupun sewa-beli memiliki persamaan yakni surplus yang diperoleh bank syariah didasarkan pada pemberi manfaat dalam transaksi. Dalam bagi hasil, surplus diperoleh dari nisbah untung-rugi usaha sedangkan dalam sewa beli surplus timbul oleh jasa persewaan.
Itulah yang disebut kejelasan takaran yang disesuaikan dengan jenis transaksi yang disepakati. Sebaliknya dalam bank konvensional, untuk segala jenis transaksi maka takarannya hanya satu yakni the price of time.
Ke depan, mudah-mudahan kita tidak membiasakan diri terlibat dalam takarmenakar dengan metoda yang salah.
Kesalahan takaran bisa dipastikan tidak menjamin keadilan dalam transaksi apapun.
Wallahu a’lam.
Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPBM
Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB