Salah satu musuh besar perekonomian dunia adalah riba, yang mempunyai dampak merusak kehidupan ekonomi, sosial, politik, moral dan spiritual masyarakat. Sebagian besar negara berkembang memiliki proporsi bunga berbunga yang sangat besar atas hutang dan GDP. Secara psikologis, riba telah mengendalikan beberapa dari kita untuk melakukan bunuh diri. Diperkirakan, setiap tahun lebih dari 70 orang yang memiliki pinjaman mikro di India telah melakukan bunuh diri akibat bunga yang terlalu tinggi.
Demonstrasi yang terus berlanjut di wilayah barat terkait dengan krisis ekonomi global serta krisis di wilayah Eropa adalah beberapa kesaksian dari frustasi yang terus tumbuh akibat sistem pinjaman berbunga. Jika perang di masa lampau adalah mengenai minyak, tanah dan air, perang yang akan datang adalah perang terhadap riba. Dalam Alquran dinyatakan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (2:276). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (2:279)”.
Pergerakan sosial yang terjadi adalah sebagai pembuka bagi perang yang baru dimulai. Dalam Islam, riba dianggap termasuk dalam tujuh dosa besar. Meskipun demikian, pengertian dan ‘Illah (penyebab/alasan) dari adanya riba tetap menjadi isu yang menantang. Sebagai contoh, haruskan kita melihat ‘Illah terhadap riba dari perspektif mikro untuk emas dan perak saja? Bagaimana dari perspektif makro seperti sistem uang kertas dan elektronik, serta penciptaan uang di sistem perbankan? Apa ‘Illah dari mereka?
Salah satu musuh besar perekonomian dunia adalah riba, yang mempunyai dampak merusak kehidupan ekonomi, sosial, politik, moral dan spiritual masyarakat. Sebagian besar negara berkembang memiliki proporsi bunga berbunga yang sangat besar atas hutang dan GDP. Secara psikologis, riba telah mengendalikan beberapa dari kita untuk melakukan bunuh diri. Diperkirakan, setiap tahun lebih dari 70 orang yang memiliki pinjaman mikro di India telah melakukan bunuh diri akibat bunga yang terlalu tinggi.
Demonstrasi yang terus berlanjut di wilayah barat terkait dengan krisis ekonomi global serta krisis di wilayah Eropa adalah beberapa kesaksian dari frustasi yang terus tumbuh akibat sistem pinjaman berbunga. Jika perang di masa lampau adalah mengenai minyak, tanah dan air, perang yang akan datang adalah perang terhadap riba. Dalam Alquran dinyatakan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (2:276). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (2:279)”. Pergerakan sosial yang terjadi adalah sebagai pembuka bagi perang yang baru dimulai. Dalam Islam, riba dianggap termasuk dalam tujuh dosa besar. Meskipun demikian, pengertian dan ‘Illah (penyebab/alasan) dari adanya riba tetap menjadi isu yang menantang. Sebagai contoh, haruskan kita melihat ‘Illah terhadap riba dari perspektif mikro untuk emas dan perak saja? Bagaimana dari perspektif makro seperti sistem uang kertas dan elektronik, serta penciptaan uang di sistem perbankan? Apa ‘Illah dari mereka? pada situasi yang demikian, ‘Illah-nya harus berubah. Apa yang menjadi tolak ukur yang mungkin diputuskan melalui Ijtihad?
Kesalahpahaman
Pemahaman yang kurang mengenai ‘Illah telah membawa kita pada kesalahpahaman. Penulis ingin mendiskusikan hal ini dan menjabarkan maksudnya. Muhammad Yunus, penemu Grameen Bank dan peraih Nobel tahun 2006 berkunjung ke International Islamic University Malaysia (IIUM) pada 16 Agustus 2006. Pada saat sesi tanya jawab selepas memberikan kuliah umum, seorang mahasiswa wanita bertanya kepada beliau, “Kita menyadari bahwa Grameen Bank menawarkan pinjaman kepada kaum fakir atas bunga. Sebagai seorang Muslim, bunga dilarang sebagaimana dinyatakan dalam QS 2 : 275. Mengapa Prof. Yunus sebagai seorang Muslim meng operasikan Grameen Bank dengan dasar riba?”
Beliau menjawab mereka telah berkonsultasi dengan Dewan Syariah di Grameen dan berkata bahwa bunga yang mereka tawarkan sangat kecil karena itu diperbolehkan dan tidak eksploitatif. Ungkapan yang diucapkan oleh Prof. Yunus menggambarkan bahwa ‘Illah dari riba adalah eksploitasi. Perlu dicatat bahwa aturan pokok dari riba harus konsisten.
Sebagai gambaran, ketika Anda mengemudikan mobil dan Anda berhadapan dengan lampu merah, maka Anda harus berhenti. ‘Illah (alasan) Anda berhenti adalah lampu merah tersebut. Ketika Anda berhadapan dengan lampu merah lainnya, Anda tetap harus berhenti juga. Jika alasan lampu merah tersebut tetap konsisten, maka itulah yang disebut dengan ‘Illah. Oleh karena itu, jika eksploitasi menjadi ‘Illah dari riba, maka segala bentuk bunga yang ditawarkan oleh semua bank haruslah konsisten menunjukkan eksploitasi.
Penulis mendapat kesulitan dalam mencari literatur yang menunjukkan bunga yang ditawarkan oleh Grameen Bank adalah kecil seperti anggapan Prof. Yunus. Data menunjukkan bahwa Grameen menawarkan bunga rata-rata 30 persen per tahun terhadap pinjamannya untuk kaum fakir. Penulis, kemudian, membandingkannya dengan bunga yang ditawarkan di Malaysia. Bunga bank bulanan yang ditawarkan antar bank konvensional di Malaysia tahun 2006 hanya mencapai 3,7 persen. Apakah kemudian bank konvensional dibolehkan karena bunga yang relatif rendah yang mereka tawarkan? Bagaimana dengan bunga rendah yang ditawarkan di wilayah barat dan Asia mengikuti krisis keuangan global, yang serendah 0,024 persen? Jadi, seperti yang dikatakan penulis di atas, “segala pengembalian yang tidak adil” tanpa melihat tingkatnya (meskipun serendah 0,0001 persen) adalah tetap riba. Kebingungan ini membutuhkan ijtihad di level makro untuk menjabarkan ‘Illah dari riba.
Cara lain melihat ‘illah
Cara lain melihat ‘Illah dari riba adalah dengan melihat nilai pokok/prinsip (ats-Tsawaabit) dan perubahan fitur/komponen (al-Mutaghayyiraat). Alquran dan Sunnah telah memaparkan kepada kita ayat-ayat tentang prinsip-prinsip al-Tsawaabit dan al-Mutaghayyiraat. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam QS 4 : 29 bahwa prinsip utama dari pelarangan riba, gharar, maysir, dan lainnya adalah memakan harta orang lain secara tidak adil, kecuali transaksi jual beli yang didasarkan pada keinginan yang saling menguntungkan. Pada ayat lain yang menggambarkan riba (QS 30:39), Allah membandingkan riba dengan zakat. Allah berfirman bahwa siapa saja yang mengonsumsi riba akan mengurangi harta kekayaan negara.
Pada praktiknya, riba mentransfer harta kekayaan kaum fakir kepada pemilik modal. Sebaliknya, zakat meningkatkan harta kekayaan negara karena mentransfer harta kekayaan orang kaya kepada kaum fakir sehingga mengurangi ketidakseimbangan pendapatan. Prinsip utama dari penjabaran ayat di atas adalah perputaran kekayaan dan persamaan distribusi. Dalam konteks riba kemudian, al-Tsawaabit yang ada adalah nilai pokok, seperti keadilan, kebajikan, kesamaan distribusi dan lainnya yang dapat menentukan apakah sebuah transaksi dapat melibatkan riba atau tidak.
Sementara itu, al-Mutaghayyiraat yang ada adalah definisi operasional dari riba yang berubah sejalan dengan waktu dan tempat. Sunnah Rasulullah menggambarkan beberapa prin sip al-Mutaghayyiraat dalam pertukaran enam komoditas: emas, perak, kurma, gandum, jewawut, dan garam. Hadits itu ju ga meng akui tentang adanya riba yang dibuat-buat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud. Rasul SAW bersabda: “Ada 73 tipe riba yang berbeda, yang paling ringan adalah setara dengan meniduri ibunya, dan yang terburuk adalah setara dengan merusak harga di ri seorang Muslim“ (Ibnu Majah dan al-Hakim).
Hal ini menunjukkan bahwa definisi operasional dari riba akan terus berubah hingga akhir zaman. Sebagai contoh, hari ini kita mempunyai bunga sebagai salah satu bentuk dari riba yang tidak ada sebelum abad ke-12 di Italia, ketika konsep bank konvensional mulai diperkenalkan. Lebih jauh lagi, praktik riba secara implisit telah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dimana beliau bersabda : Ada dari sebagian umatku yang akan meminum alkohol dan menyebutnya dengan berbagai nama. Dengan demikian, saat ini ada beberapa orang yang mengonsumsi riba dengan dalih imbal jasa, ujrah, manfaat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika al-Tsawaabit bisa digunakan untuk menentukan Illah dari sisi nilai pokok, maka al-Mutaghayyiraat akan melihatnya dari sisi operasional. Al-Tsawaabit dapat digunakan untuk menentukan Illah atas riba dalam sistem ekonomi dan keuangan setingkat makro, sementara al-Mutaghayyiraat dapat digunakan untuk menentukan Illah secara mikro kontraktual. Namun demikian, kedua tolak ukur tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya. Wallahu a'lam.
Dr Mustafa Omar Mohammed, Asisten Profesor IIU Malaysia dan Peneliti Tamu FEM IPB