Selain di bulan Mei, setiap menjelang akhir tahun gerakan buruh menuntut kenaikan upah minimum semakin massif dan terkoordinasi dengan semakin solid. Karena keputusan upah minimum diberlakukan sesuai daerah provinsi dan kabupaten/kota, demonstrasi besar-besaran para pekerja terjadi di sebagian besar wilayah di tanah air.
Permasalahan upah adalah concern bagi semua pihak baik kaum buruh, pengusaha maupun pemerintah. Di antara keluhan utama para pekerja rata-rata berpangkal pada fakta-fakta berikut ini.
Karena beberapa alasan terutama competitiveness dan excess labor supply, upah minimum di negara kita (yang berkisar 120 dollar AS) masih jauh di bawah rata-rata dunia dan lebih penting dari itu para pekerja merasakan upah minimum selalu jauh lebih rendah daripada kebutuhan riil yang diukur dari kebutuhan hidup layak (KHL) di daerahnya. Beberapa pihak bahkan menganggap standar hidup layak pun harus direvisi karena masih menggunakan standar bertahun-tahun lalu sehingga tidak mencerminkan kondisi saat ini.
Di samping itu, para pekerja merasa minimnya jaminan dan perlindungan kesehatan dan keselamatan bagi mereka yang merupakan jaring pengaman mereka ketika menghadapi situasi terburuk yang bisa terjadi. Dengan kata lain, komponen upah dan kesejahteraan pekerja dirasa belum cukup baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ajaran Islam sebenarnya memberi arahan yang jelas tentang bagaimana hubungan pengusaha dan pekerja. Pertama, dalam syariat diperkenalkan beberapa alternatif akad sistem pengupahan di antaranya adalah bagi hasil (musyarakah atau mudharabah), sewa (ijarah), dan kompensasi (ju’alah).
Prinsip bagi hasil dalam sistem pengupahan sudah kita bahas pada BT edisi bulan lalu. Adapun ijarah merupakan kontrak antara pengusaha sebagai penyewa kerja (musta’jir) dan pekerja sebagai pemberi sewa (mu’jir). Penyewa kerja memperoleh manfaat dari suatu pekerjaan kemudian berkewajiban menyerahkan sewa (upah) kepada pekerja. Perlu dicatat dalam akad ijarah ini, tidak ada dominasi satu pihak terhadap yang lain karena status mu’jir adalah mandiri dan hanya diambil manfaatnya saja.
Adapun kontrak ju’alah merupakan akad pemberian bagian (persenan) kompensasi atau hadiah atas suatu pekerjaan yang menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada pemberian kompensasi/hadiah tersebut. Contoh kasus akad ini bisa kita lihat misalnya pada seseorang yang mengatakan “barang siapa yang bisa membantu menemukan barang saya yang hilang akan mendapatkan (imbalan) beberapa dirham”. Dalam kasus perusahaan, pekerja yang bisa membantu melejitkan keuntungan akan memperoleh (persentasi) kompensasi atau bonus.
Dalam realita akad-akad tersebut di atas bisa dikombinasikan sesuai dengan situasi struktur perusahaan yang ada. Maksud di sini adalah bahwa pihak pemodal dan pekerja tidak lagi harus saling memperebutkan hak atas keuntungan perusahaan ataupun ada anggapan salah satu pihak yang merasa dieksploitasi seperti yang terjadi dalam sistem pengupahan konvensional.
Arahan syariah yang kedua adalah jauh lebih dari sekedar akad. Tegas sekali ajaran agama mengedepankan kesetaraan (musawah) dan keadilan (‘adalah) dalam hubungan pemilik modal dan pekerja. Prinsip kesetaraan menempatkan perusahaan dan pekerja secara setara dan sama-sama saling membutuhkan. Hal ini pun ditegaskan Nabi Muhammad SAW yang membentangkan dasar ekonomi dimana modal (bagian pengusaha) dan kerja (bagian pekerja) harus bergabung sebagai mitra dan bukan sebagai subordinasi keduanya. Sejarah mencatat bahwa keberhasilan Nabi terbesar adalah melakukan reformasi radikal penghapusan sistem perbudakan di jazirah Arab. Setelah itu tidak ada lagi definisi hamba sahaya karena kemudian mereka diperlakukan sebagai mitra yang bekerja sama dengan pemilik modal.
Terdapat satu hadits yang berbunyi seperti ini: “Apabila pelayanmu tidak duduk sama denganmu maka berilah makanan dan pakaian kepada mereka sebagaimana kebiasaannya dan berilah mereka pekerjaan sesuai dengan kemampuannya” (HR Bukhari). Kalau kita cermati, secara implisit terdapat beberapa hal yang bisa kita tarik hikmah hadits ini: 1) pasca kenabian, karena satu dan lain hal hubungan industrial yang “tidak setara” akan tetap terjadi; 2) kalau terjadi kasus seperti ini, Nabi memberi arahan agar upah (minimum bukan maksimum) yang dibayarkan harus bisa mencukupi kebutuhan hidup layak; 3) (distribusi) pekerjaan harus disesuaikan dengan profesionalitas, keahlian, dan kemampuan (tidak ada eksploitasi).
Kedua, prinsip keadilan menempatkan kedua belah pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat dan semua hak dan kewajibannya. Ajaran agama melarang mempekerjakan seseorang pekerja hingga gaji yang diperolehnya jelas termasuk besarannya sesuai standar yang layak. Dalam perekonomian yang bertumbuh dimana terjadi kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, adalah manusiawi para pekerja melakukan negosiasi akad dengan menentukan upah dasar yang disesuaikan dengan revisi standar kebutuhan hidup layak.
Terakhir, arahan sistem pengupahan Islami sangatlah menghargai etos kerja. Upah yang didapat oleh seorang pekerja berasal dari keahlian, curahan keringat, produktifitas dan prestasi. Insentif dapat ditentukan dengan pada perolehan perusahaan dibagi secara proporsional menurut kontribusinya terhadap perusahaan. Dengan demikian, rasa memiliki (sense of belonging) para pekerja terhadap perusahaan akan semakin kuat sehingga mereka akan berusaha sebaik mungkin dalam meningkatkan produktifitas kerja mereka dengan terus belajar dan bekerja dengan tekun.
Tak kalah penting dari itu, perusahaan akan mendapatkan apa yang disebut dengan efficiency gain. Karena skema upah lebih fleksibel dan atraktif, pekerja akan lebih disiplin, produktif, dan cenderung lebih loyal. Karyawan dapat diajak bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Kalau kerjasama itu tidak terjadi (bermasalah), maka kinerja perusahaan akan goyah bahkan bangkrut. Situasi ini tentu tidak diinginkan semua pihak karena mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Karyawan pun tidak punya alternatif yang lebih baik kecuali bekerja sebaik-baiknya di perusahaan tersebut.
Bagi pengusaha yang cerdik (fathonah) dan adil, tentu selalu ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktifitas perusahaan yang secara langsung akan menentukan keuntungan dan sustainabilitas perusahaan di masa mendatang. Besarnya keuntungan memang tidak melulu datang dari menekan biaya (upah) tenaga kerja tapi juga dari semakin bertumbuhnya kapasitas usaha yang lahir dari karyawan yang beretos kerja (itqon). Inilah salah satu hikmah ajaran agama yang menekankan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan (inclusive-sustainable growth) dimana “kue” yang semakin besar akan dinikmati secara bersama-sama. Bukankah itu yang diharapkan? Wallahu a’lam.
Dr. Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M. Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB
Permasalahan upah adalah concern bagi semua pihak baik kaum buruh, pengusaha maupun pemerintah. Di antara keluhan utama para pekerja rata-rata berpangkal pada fakta-fakta berikut ini.
Karena beberapa alasan terutama competitiveness dan excess labor supply, upah minimum di negara kita (yang berkisar 120 dollar AS) masih jauh di bawah rata-rata dunia dan lebih penting dari itu para pekerja merasakan upah minimum selalu jauh lebih rendah daripada kebutuhan riil yang diukur dari kebutuhan hidup layak (KHL) di daerahnya. Beberapa pihak bahkan menganggap standar hidup layak pun harus direvisi karena masih menggunakan standar bertahun-tahun lalu sehingga tidak mencerminkan kondisi saat ini.
Di samping itu, para pekerja merasa minimnya jaminan dan perlindungan kesehatan dan keselamatan bagi mereka yang merupakan jaring pengaman mereka ketika menghadapi situasi terburuk yang bisa terjadi. Dengan kata lain, komponen upah dan kesejahteraan pekerja dirasa belum cukup baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ajaran Islam sebenarnya memberi arahan yang jelas tentang bagaimana hubungan pengusaha dan pekerja. Pertama, dalam syariat diperkenalkan beberapa alternatif akad sistem pengupahan di antaranya adalah bagi hasil (musyarakah atau mudharabah), sewa (ijarah), dan kompensasi (ju’alah).
Prinsip bagi hasil dalam sistem pengupahan sudah kita bahas pada BT edisi bulan lalu. Adapun ijarah merupakan kontrak antara pengusaha sebagai penyewa kerja (musta’jir) dan pekerja sebagai pemberi sewa (mu’jir). Penyewa kerja memperoleh manfaat dari suatu pekerjaan kemudian berkewajiban menyerahkan sewa (upah) kepada pekerja. Perlu dicatat dalam akad ijarah ini, tidak ada dominasi satu pihak terhadap yang lain karena status mu’jir adalah mandiri dan hanya diambil manfaatnya saja.
Adapun kontrak ju’alah merupakan akad pemberian bagian (persenan) kompensasi atau hadiah atas suatu pekerjaan yang menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada pemberian kompensasi/hadiah tersebut. Contoh kasus akad ini bisa kita lihat misalnya pada seseorang yang mengatakan “barang siapa yang bisa membantu menemukan barang saya yang hilang akan mendapatkan (imbalan) beberapa dirham”. Dalam kasus perusahaan, pekerja yang bisa membantu melejitkan keuntungan akan memperoleh (persentasi) kompensasi atau bonus.
Dalam realita akad-akad tersebut di atas bisa dikombinasikan sesuai dengan situasi struktur perusahaan yang ada. Maksud di sini adalah bahwa pihak pemodal dan pekerja tidak lagi harus saling memperebutkan hak atas keuntungan perusahaan ataupun ada anggapan salah satu pihak yang merasa dieksploitasi seperti yang terjadi dalam sistem pengupahan konvensional.
Arahan syariah yang kedua adalah jauh lebih dari sekedar akad. Tegas sekali ajaran agama mengedepankan kesetaraan (musawah) dan keadilan (‘adalah) dalam hubungan pemilik modal dan pekerja. Prinsip kesetaraan menempatkan perusahaan dan pekerja secara setara dan sama-sama saling membutuhkan. Hal ini pun ditegaskan Nabi Muhammad SAW yang membentangkan dasar ekonomi dimana modal (bagian pengusaha) dan kerja (bagian pekerja) harus bergabung sebagai mitra dan bukan sebagai subordinasi keduanya. Sejarah mencatat bahwa keberhasilan Nabi terbesar adalah melakukan reformasi radikal penghapusan sistem perbudakan di jazirah Arab. Setelah itu tidak ada lagi definisi hamba sahaya karena kemudian mereka diperlakukan sebagai mitra yang bekerja sama dengan pemilik modal.
Terdapat satu hadits yang berbunyi seperti ini: “Apabila pelayanmu tidak duduk sama denganmu maka berilah makanan dan pakaian kepada mereka sebagaimana kebiasaannya dan berilah mereka pekerjaan sesuai dengan kemampuannya” (HR Bukhari). Kalau kita cermati, secara implisit terdapat beberapa hal yang bisa kita tarik hikmah hadits ini: 1) pasca kenabian, karena satu dan lain hal hubungan industrial yang “tidak setara” akan tetap terjadi; 2) kalau terjadi kasus seperti ini, Nabi memberi arahan agar upah (minimum bukan maksimum) yang dibayarkan harus bisa mencukupi kebutuhan hidup layak; 3) (distribusi) pekerjaan harus disesuaikan dengan profesionalitas, keahlian, dan kemampuan (tidak ada eksploitasi).
Kedua, prinsip keadilan menempatkan kedua belah pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat dan semua hak dan kewajibannya. Ajaran agama melarang mempekerjakan seseorang pekerja hingga gaji yang diperolehnya jelas termasuk besarannya sesuai standar yang layak. Dalam perekonomian yang bertumbuh dimana terjadi kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, adalah manusiawi para pekerja melakukan negosiasi akad dengan menentukan upah dasar yang disesuaikan dengan revisi standar kebutuhan hidup layak.
Terakhir, arahan sistem pengupahan Islami sangatlah menghargai etos kerja. Upah yang didapat oleh seorang pekerja berasal dari keahlian, curahan keringat, produktifitas dan prestasi. Insentif dapat ditentukan dengan pada perolehan perusahaan dibagi secara proporsional menurut kontribusinya terhadap perusahaan. Dengan demikian, rasa memiliki (sense of belonging) para pekerja terhadap perusahaan akan semakin kuat sehingga mereka akan berusaha sebaik mungkin dalam meningkatkan produktifitas kerja mereka dengan terus belajar dan bekerja dengan tekun.
Tak kalah penting dari itu, perusahaan akan mendapatkan apa yang disebut dengan efficiency gain. Karena skema upah lebih fleksibel dan atraktif, pekerja akan lebih disiplin, produktif, dan cenderung lebih loyal. Karyawan dapat diajak bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Kalau kerjasama itu tidak terjadi (bermasalah), maka kinerja perusahaan akan goyah bahkan bangkrut. Situasi ini tentu tidak diinginkan semua pihak karena mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Karyawan pun tidak punya alternatif yang lebih baik kecuali bekerja sebaik-baiknya di perusahaan tersebut.
Bagi pengusaha yang cerdik (fathonah) dan adil, tentu selalu ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktifitas perusahaan yang secara langsung akan menentukan keuntungan dan sustainabilitas perusahaan di masa mendatang. Besarnya keuntungan memang tidak melulu datang dari menekan biaya (upah) tenaga kerja tapi juga dari semakin bertumbuhnya kapasitas usaha yang lahir dari karyawan yang beretos kerja (itqon). Inilah salah satu hikmah ajaran agama yang menekankan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan (inclusive-sustainable growth) dimana “kue” yang semakin besar akan dinikmati secara bersama-sama. Bukankah itu yang diharapkan? Wallahu a’lam.
Dr. Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M. Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB