Desain Politik Ekonomi Syariah

Peraih penghargaan IDB Prize dalam bidang ekonomi Islam tahun 2009 (1430 H), Prof Zubair Hasan, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa kecuali jika setiap pemerintah (negara-negara anggota OKI) menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar perumusan kebijakan perekonomian mereka, maka perkembangan ekonomi Islam belum akan bisa menyaingi ekonomi konvensional. Dengan kata lain, beliau menegaskan pentingnya mendorong keberpihakan kekuasaan terhadap pengembangan ekonomi Islam secara keseluruhan, sehingga dominasi ekonomi ribawi dapat diminimalisir.

Secara tidak langsung, Prof Zubair Hasan juga ingin menyatakan bahwa keputusan politik negara memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kondisi perekonomian. Wajah dan kinerja ekonomi sebuah negara, sangat ditentukan oleh mekanisme dan proses pengambilan keputusan politik yang berlaku dan disepakati oleh masyarakat di negara tersebut. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan Chili, Alejandro Foxley, sebagaimana dikutip dalam Williamson dan Haggard (1994), dimana beliau menegaskan bahwa Economists must not only know their economic models, but also understand politics, interests, conflicts, passions - the essence of collective life. For a brief period of time you could make changes by decree; but to let them persist, you have to build coalitions and bring people around. You have to be a politician. Pemahaman yang baik terhadap proses dan mekanisme politik, sangat menentukan keberhasilan sebuah gagasan ataupun sebuah ideologi ekonomi dalam menciptakan sistim perekonomian yang menjadikan nilai atau value yang dibawa oleh gagasan atau ideologi tersebut sebagai pondasi utamanya.

Sebagai contoh, ketika teori pengeluaran agregat menyatakan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran agregat hanya ada empat, yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor, dan teori tersebut diadopsi oleh kekuasaan dalam desain kebijakan ekonominya, maka bukan hal yang mudah untuk memasukkan zakat sebagai bagian penting dalam komponen pengeluaran agregat. Bahwa zakat bukan sekedar charity yang tidak memiliki implikasi terhadap peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi. Bahkan faktanya hingga hari ini, instrumen zakat masih dianggap sebagai instrumen kelas dua dalam konteks fiscal policy.

Tiga ranah
Agar instrumen-instrumen ekonomi syariah ini dapat dijadikan sebagai bagian penting dari mainstream kebijakan ekonomi nasional, maka perlu ada upaya sistimatis dalam menciptakan desain politik ekonomi syariah. Desain ini harus mencakup tiga ranah utama, yaitu ranah regulasi dan aturan hukum, ranah penguatan dan ekspansi kelembagaan, serta ranah internalisasi nilai atau value ekonomi syariah dalam kehidupan negara dan masyarakat.

Pada ranah yang pertama, yaitu regulasi, maka keberadaan perangkat perundang-undangan beserta aturan-aturan turunannya menjadi sangat krusial. Para stakeholder ekonomi syariah harus memikirkan desain regulasi yang dapat meningkatkan akselerasi peran dan pertumbuhan ekonomi syariah.

Dari sisi ini, harus diakui bahwa ekonomi syariah masih jauh tertinggal. Jumlah UU-nya saja baru ada empat, yaitu UU No 41/2004 tentang Wakaf, UU No 19/2008 tentang SBSN, UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Belum lagi jika dibandingkan dengan perangkat peraturan di bawahnya, akan jauh lebih tertinggal. Karena itu, advokasi kebijakan publik berkelanjutan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.

Kemudian, ranah ekspansi kelembagaan menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan size atau ukuran industri ekonomi syariah. Yaitu, bagaimana menjadikan market share perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, BMT, lembaga keuangan mikro syariah, bisa meningkat dari waktu ke waktu. Atau bagaimana meningkatkan angka penghimpunan dan pendayagunaan zakat, serta menciptakan sistim pendidikan ekonomi syariah yang terintegrasi dengan baik ke dalam sistim pendidikan nasional. Tentu ekspansi ini akan dapat dipercepat jika pada ranah pertama, ada dukungan regulasi yang kongkrit terhadap pengembangan institusi ekonomi syariah.

Selanjutnya pada ranah ketiga, internalisasi nilai-nilai ekonomi syariah kepada seluruh komponen bangsa, merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan cara pandang tentang bagaimana berekonomi dan berbisnis yang sesuai dengan tuntunan syariah. Penanaman nilai-nilai ekonomi syariah ini akan mempengaruhi perilaku para economic agent. Misalnya, ketika seseorang mengetahui bahwa kejujuran memiliki implikasi nilai ibadah kepada Allah, termasuk implikasi pada diterima tidaknya zakat, infak dan sedekah seseorang di hadapan Allah, maka perilaku khianat, korupsi, serta suka mengurangi takaran dan timbangan, tidak akan ia lakukan.

Penanaman nilai-nilai atau proses ideologisasi ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama, aplikasi nilai Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, seperti mempraktikkan taawwun antar pebisnis dan lembaga ekonomi syariah. Yang kedua, edukasi publik melalui kampanye ekonomi syariah yang efektif dan berkesinambungan, termasuk penanaman nilai-nilai ke-ekonomi syariahan sejak dini, dan ketiga, pengembangan kurikulum pendidikan ekonomi syariah pada semua level pendidikan, terutama pendidikan tinggi, baik sarjana maupun pascasarjana. Wallahu alam.

Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya