Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar sebagai pusat pengembangan keuangan syariah dunia, termasuk pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya karena instrumen bunga yang dapat menimbulkan cost yang lebih tinggi juga seharusnya menambah minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke industri keuangan syariah.
Salah satu sektor industri keuangan syariah yang sudah berkembang yaitu pasar modal syariah. Di Indonesia, sejarah industri ini dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2000 diterbitkan pula Jakarta Islamic Index (JII). Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).
Sukuk di Indonesia
Istilah sukuk sendiri berasal dari bahasa Arab ‘Sakk’ yang berarti sertifikat. Secara terminologi, sukuk berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah (sukuk), yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (Fatwa DSN MUI). Menurut sumber yang menerbitkan, sukuk terbagi menjadi dua jenis, yaitu sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan sukuk yang diterbitkan oleh negara, atau yang lebih dikenal dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Menurut akadnya, sukuk dibedakan atas Sukuk Ijarah, Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, dan Sukuk Istisna. Manfaat yang diperoleh dari penerbitan sukuk yaitu untuk mendorong perkembangan industri pasar modal syariah, sebagai diversifikasi sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur bagi negara dan perluasan usaha bagi korporasi serta sebagai diversifikasi berbasis investor. Selain itu, sukuk juga sangat berperan dalam pertumbuhan sektor ril. Sukuk juga memiliki kelebihan yang unik jika dibandingkan produk investasi yang ada di pasar modal, yaitu risiko yang rendah atau relatif lebih aman karena memiliki underlying asset (aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dapat berupa Barang Milik Negara/ barang milik perusahaan atau objek pembiayaan sukuk).
Di Indonesia penerbitan sukuk yang pertama kali dilakukan oleh PT Indosat TBK pada Oktober 2002 merupakan sukuk korporasi dengan akad mudharabah dengan nilai nominal 175 miliar rupiah. Berselang enam tahun kemudian, pada Agustus 2008 pemerintah menerbitkan sukuk negara (SBSN) seri IFR 001 dan 002 dengan akad ijarah (lease and sale back) dengan nilai nominal Rp 4.699,7 miliar rupiah dan pada Februari 2009 dengan akad yang sama, pemerintah menerbitkan sukuk ritel seri SR 001 dengan nilai nominal Rp 5.556,29 milyar untuk investor individu. Sampai tahun 2011, jumlah nilai sukuk global dan sukuk korposi yang telah diterbitkan di Indonesia senilai Rp 70.686,4 milyar. Seiring berjalannya waktu, pemerintah terus menerbitkan sukuk dengan seri yang lebih beragam seperti sukuk seri PBS yang berbasis proyek dan seri SPN-S pada tahun 2012. Dengan beberapa kali oversubscribe pada penerbitannya, hal ini menunjukkan bahwa minat dan kepercayaan pasar serta permintaan terhadap sukuk di Indonesia relatif tinggi. Porsi sukuk yang diterbitkan di Indonesia sampai September 2011 hanya sebesar 9,52 persen jika dibandingkan dengan obligasi konvesional yang total nilai emisi penerbitannya sudah mencapai 90,48 persen.
Dampak sukuk
Menurut teori transmisi makroekonomi, penerbitan sukuk sebagai instrumen investasi bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah makroekonomi, yaitu inflasi dan pengangguran. Sukuk juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori transmisi moneter, penerbitan sukuk dapat pula digunakan dalam pengendalian jumlah uang beredar melalui kebijakan kontraktif. Penerbitan sukuk di Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang ada di negara ini.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian kuantitatif menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) yang dilakukan oleh penulis, bahwa pada jangka panjang penerbitan sukuk di Indonesia dipengaruhi oleh indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan jumlah uang beredar dengan hubungan yang positif, serta pengangguran terbuka dan inflasi dengan hubungan yang negatif. Selain itu penerbitan sukuk dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka penerbitan sukuk juga akan mengalami peningkatan karena kondisi makro ekonomi domestik dalam keadaan baik. Ketika tingkat pengangguran terbuka dan inflasi mengalami kenaikan maka penerbitan sukuk akan mengalami penurunan yang diakibatkan kondisi makroekonomi domestik dalam keadaan tidak baik. Hal ini dikarenakan pemerintah dan korporasi selaku emiten akan melihat dan menyesuaikan jumlah sukuk yang diterbitkan dengan kondisi pasar yang terjadi.
Ketika terjadi peningkatan pada jumlah uang beredar di masyarakat, pemerintah akan menerbitan sukuk sebagai salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam operasi pasar terbuka. Ketika terjadi penurunan bonus SBIS maka para emiten korporasi maupun pemerintah akan memanfaatkan hal ini untuk menerbitkan obligasi syariah. Hal ini dikarenakan dengan turunnya bonus SBIS maka dana yang dikeluarkan untuk membayar return obligasi syariah akan lebih rendah sehingga obligasi syariah yang diterbitkan menjadi bertambah.
Penerbitan sukuk juga memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger, penerbitan sukuk berpengaruh hanya pada pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terbuka. Hal ini dikarenakan sukuk merupakan instrument investasi yang diperuntukkan bagi pembangunan di sektor riil. Pemerintah dan korporasi selaku emiten menerbitkan sukuk dengan tujuan memperoleh dana dari masyarakat untuk melakukan perluasan usaha dan pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penerbitan sukuk tidak memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi karena sukuk merupakan surat berharga yang sampai saat ini belum dijadikan instumen pada operasi pasar tebuka oleh Bank Indonesia untuk menarik peredaran uang yang ada di masyarakat. Namun berdasarkan hasil uji Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) penerbitan sukuk tetap berpotensi untuk memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi jika pemerintah menjadikan sukuk sebagai surat berharga yang dijadikan sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka, selain SBI, SBIS, dan surat berharga pasar uang (SBPU).
Ketika penerbitan sukuk mengalami guncangan yaitu pemerintah dan korporasi tidak lagi menerbitkan sukuk maka maka pengaruh yang berfluktuatif dirasakan seluruh variabel makroekonomi yang diamati. Semua indikator makroekonomi tersebut membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali stabil. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, ketika terjadi guncangan pada kondisi makroekonomi di Indonesia, penerbitan sukuk relatif lebih cepat stabil dan tahan terhadap goncangan.
Implikasi kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah harus menjaga stabilitas kondisi makroekonomi Indonesia, khususnya pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka. Selain itu pemerintah juga sebaiknya menjadikan sukuk sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka.
Pemerintah dan korporasi juga harus memperbanyak nilai emisi sukuk dan menjaga stabilitas penerbitan sukuk agar Indonesia dapat menjadi pusat pasar terbesar penerbitan sukuk di seluruh dunia. Pada akhirnya dapat memperbaiki kondisi makroekonomi Indonesia.
Bapepam-LK sebaiknya mensosialisasikan faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi penerbitan sukuk dan dampaknya terhadap indikator makroekonomi Indonesia, baik kepada para investor maupun para emiten. Para Investor (masyarakat dan lembaga keuangan) diharapkan lebih bijak dalam memilih instrumen investasi yang terjamin kehalalannya dan memiliki risiko yang lebih rendah. Obligasi Syariah (sukuk) adalah pilihan intrumen investasi yang memiliki prospek cerah. Wallahu a’lam.
Mustika Rini, Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dr. Irfan Syauqi Beik, Dosen IE FEM dan MM Syariah IPB
Salah satu sektor industri keuangan syariah yang sudah berkembang yaitu pasar modal syariah. Di Indonesia, sejarah industri ini dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2000 diterbitkan pula Jakarta Islamic Index (JII). Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).
Sukuk di Indonesia
Istilah sukuk sendiri berasal dari bahasa Arab ‘Sakk’ yang berarti sertifikat. Secara terminologi, sukuk berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah (sukuk), yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (Fatwa DSN MUI). Menurut sumber yang menerbitkan, sukuk terbagi menjadi dua jenis, yaitu sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan sukuk yang diterbitkan oleh negara, atau yang lebih dikenal dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Menurut akadnya, sukuk dibedakan atas Sukuk Ijarah, Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, dan Sukuk Istisna. Manfaat yang diperoleh dari penerbitan sukuk yaitu untuk mendorong perkembangan industri pasar modal syariah, sebagai diversifikasi sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur bagi negara dan perluasan usaha bagi korporasi serta sebagai diversifikasi berbasis investor. Selain itu, sukuk juga sangat berperan dalam pertumbuhan sektor ril. Sukuk juga memiliki kelebihan yang unik jika dibandingkan produk investasi yang ada di pasar modal, yaitu risiko yang rendah atau relatif lebih aman karena memiliki underlying asset (aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dapat berupa Barang Milik Negara/ barang milik perusahaan atau objek pembiayaan sukuk).
Di Indonesia penerbitan sukuk yang pertama kali dilakukan oleh PT Indosat TBK pada Oktober 2002 merupakan sukuk korporasi dengan akad mudharabah dengan nilai nominal 175 miliar rupiah. Berselang enam tahun kemudian, pada Agustus 2008 pemerintah menerbitkan sukuk negara (SBSN) seri IFR 001 dan 002 dengan akad ijarah (lease and sale back) dengan nilai nominal Rp 4.699,7 miliar rupiah dan pada Februari 2009 dengan akad yang sama, pemerintah menerbitkan sukuk ritel seri SR 001 dengan nilai nominal Rp 5.556,29 milyar untuk investor individu. Sampai tahun 2011, jumlah nilai sukuk global dan sukuk korposi yang telah diterbitkan di Indonesia senilai Rp 70.686,4 milyar. Seiring berjalannya waktu, pemerintah terus menerbitkan sukuk dengan seri yang lebih beragam seperti sukuk seri PBS yang berbasis proyek dan seri SPN-S pada tahun 2012. Dengan beberapa kali oversubscribe pada penerbitannya, hal ini menunjukkan bahwa minat dan kepercayaan pasar serta permintaan terhadap sukuk di Indonesia relatif tinggi. Porsi sukuk yang diterbitkan di Indonesia sampai September 2011 hanya sebesar 9,52 persen jika dibandingkan dengan obligasi konvesional yang total nilai emisi penerbitannya sudah mencapai 90,48 persen.
Dampak sukuk
Menurut teori transmisi makroekonomi, penerbitan sukuk sebagai instrumen investasi bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah makroekonomi, yaitu inflasi dan pengangguran. Sukuk juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori transmisi moneter, penerbitan sukuk dapat pula digunakan dalam pengendalian jumlah uang beredar melalui kebijakan kontraktif. Penerbitan sukuk di Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang ada di negara ini.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian kuantitatif menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) yang dilakukan oleh penulis, bahwa pada jangka panjang penerbitan sukuk di Indonesia dipengaruhi oleh indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan jumlah uang beredar dengan hubungan yang positif, serta pengangguran terbuka dan inflasi dengan hubungan yang negatif. Selain itu penerbitan sukuk dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka penerbitan sukuk juga akan mengalami peningkatan karena kondisi makro ekonomi domestik dalam keadaan baik. Ketika tingkat pengangguran terbuka dan inflasi mengalami kenaikan maka penerbitan sukuk akan mengalami penurunan yang diakibatkan kondisi makroekonomi domestik dalam keadaan tidak baik. Hal ini dikarenakan pemerintah dan korporasi selaku emiten akan melihat dan menyesuaikan jumlah sukuk yang diterbitkan dengan kondisi pasar yang terjadi.
Ketika terjadi peningkatan pada jumlah uang beredar di masyarakat, pemerintah akan menerbitan sukuk sebagai salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam operasi pasar terbuka. Ketika terjadi penurunan bonus SBIS maka para emiten korporasi maupun pemerintah akan memanfaatkan hal ini untuk menerbitkan obligasi syariah. Hal ini dikarenakan dengan turunnya bonus SBIS maka dana yang dikeluarkan untuk membayar return obligasi syariah akan lebih rendah sehingga obligasi syariah yang diterbitkan menjadi bertambah.
Penerbitan sukuk juga memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger, penerbitan sukuk berpengaruh hanya pada pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terbuka. Hal ini dikarenakan sukuk merupakan instrument investasi yang diperuntukkan bagi pembangunan di sektor riil. Pemerintah dan korporasi selaku emiten menerbitkan sukuk dengan tujuan memperoleh dana dari masyarakat untuk melakukan perluasan usaha dan pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penerbitan sukuk tidak memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi karena sukuk merupakan surat berharga yang sampai saat ini belum dijadikan instumen pada operasi pasar tebuka oleh Bank Indonesia untuk menarik peredaran uang yang ada di masyarakat. Namun berdasarkan hasil uji Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) penerbitan sukuk tetap berpotensi untuk memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi jika pemerintah menjadikan sukuk sebagai surat berharga yang dijadikan sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka, selain SBI, SBIS, dan surat berharga pasar uang (SBPU).
Ketika penerbitan sukuk mengalami guncangan yaitu pemerintah dan korporasi tidak lagi menerbitkan sukuk maka maka pengaruh yang berfluktuatif dirasakan seluruh variabel makroekonomi yang diamati. Semua indikator makroekonomi tersebut membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali stabil. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, ketika terjadi guncangan pada kondisi makroekonomi di Indonesia, penerbitan sukuk relatif lebih cepat stabil dan tahan terhadap goncangan.
Implikasi kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah harus menjaga stabilitas kondisi makroekonomi Indonesia, khususnya pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka. Selain itu pemerintah juga sebaiknya menjadikan sukuk sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka.
Pemerintah dan korporasi juga harus memperbanyak nilai emisi sukuk dan menjaga stabilitas penerbitan sukuk agar Indonesia dapat menjadi pusat pasar terbesar penerbitan sukuk di seluruh dunia. Pada akhirnya dapat memperbaiki kondisi makroekonomi Indonesia.
Bapepam-LK sebaiknya mensosialisasikan faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi penerbitan sukuk dan dampaknya terhadap indikator makroekonomi Indonesia, baik kepada para investor maupun para emiten. Para Investor (masyarakat dan lembaga keuangan) diharapkan lebih bijak dalam memilih instrumen investasi yang terjamin kehalalannya dan memiliki risiko yang lebih rendah. Obligasi Syariah (sukuk) adalah pilihan intrumen investasi yang memiliki prospek cerah. Wallahu a’lam.
Mustika Rini, Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dr. Irfan Syauqi Beik, Dosen IE FEM dan MM Syariah IPB