Efek Pasar Modal Syariah

Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam beragam diskusi tentang pasar modal syariah adalah apa sesungguhnya dampak pasar modal syariah, terutama pada secondary market-nya, terhadap sektor riil? Munculnya pertanyaan ini oleh sebagian kalangan karena mereka menganggap bahwa perdagangan surat-surat berharga di pasar modal, terutama di pasar sekunder, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap emiten dan sektor riil secara keseluruhan. Karena itu, mereka menganggap bahwa perdagangan pasar sekunder sejatinya kurang memberikan manfaat bagi perekonomian umat, kecuali bagi mereka para investor yang mendapatkan return atau capital gain dari aktivitas di lantai bursa. Pada titik yang lebih ekstrim, mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pasar sekunder dengan sektor riil.

Bagi penulis, munculnya pertanyaan seperti ini merupakan hal yang wajar. Namun demikian, penulis memandang bahwa argumentasi yang menihilkan pengaruh pasar modal syariah terhadap sektor riil juga tidak sepenuhnya tepat. Menurut pendapat penulis, paling tidak ada dua dampak dari pasar modal syariah terhadap sektor riil yang dapat dianalisa, yaitu direct effect dan indirect effect.

Direct effect atau efek langsung memiliki makna bahwa aktivitas bursa memberikan dampak langsung terhadap pertumbuhan sektor riil. Ini terjadi melalui mekanisme pasar primer (primary market). Penerbitan saham perdana (initial public offering) dan penerbitan sukuk, sebagai contoh, dipastikan akan mempengaruhi sektor riil, karena akan ada dana yang langsung digunakan untuk kegiatan produksi.

Selanjutnya yang kedua adalah indirect effect atau efek tidak langsung. Artinya, aktivitas perdagangan di bursa tidak secara langsung mempengaruhi sektor riil, melainkan melalui perantara para investor. Ini barangkali yang bisa menjelaskan dampak pasar sekunder. Pengaruh pasar sekunder terhadap sektor riil dikatakan bersifat tidak langsung, karena pengaruh itu baru terjadi ketika para investor membelanjakan return yang mereka dapatkan untuk investasi langsung di sektor riil maupun untuk kegiatan konsumsi.

Kalau investasi langsung, berarti ini akan menambah volume kegiatan produksi, sehingga sektor riil menjadi semakin berkembang. Angka pengangguran dapat dikurangi dan tingkat pendapatan masyarakat akan naik. Kalau digunakan untuk konsumsi, maka ini akan menstimulasi peningkatan permintaan agregat, yang ujungnya dapat menstimulasi naiknya penawaran agregat dan pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, jika return tersebut tidak digunakan untuk kegiatan produksi riil maupun untuk konsumsi, melainkan diinvestasikan kembali di pasar sekunder, seperti untuk membeli saham-saham yang dianggap unggul, maka indirect effect ini tidak akan terjadi. Inilah yang menjadi titik krusial dari perdebatan yang selama ini ada. Kecuali kalau pemerintah memaksa pengenaan zakat terhadap saham dan surat berharga lainnya pada setiap transaksi yang terjadi. Minimal akan ada 2,5 persen dana yang mengalir ke sektor riil.

Namun demikian, penulis tetap memegang prinsip bahwa meskipun indirect effect ini tidak terjadi, tetapi apabila proses perdagangannya tidak melanggar syariah, maka tidak ada masalah dengan pasar sekunder. Melarang seratus persen aktivitas pasar sekunder juga akan tidak adil kepada para investor yang ingin melepas surat berharga yang dipegangnya kepada pihak lain karena sejumlah alasan seperti kesulitan likuiditas. Disinilah pentingnya pelaksanaan fatwa DSN MUI yang mengharamkan 14 jenis transaksi yang dianggap tidak sesuai dengan syariah. Jika ini bisa dilaksanakan, maka dipastikan bahwa pasar sekunder menjadi tidak terlalu menarik bagi mereka yang senang dengan spekulasi yang bersifat gambling.

Juga yang tidak kalah penting adalah upaya meminimalisir produk-produk derivatif yang menjadi penyebab utama terjadinya krisis global. Apa yang terjadi di Indonesia, dimana pasar derivatifnya tidak terlalu advance, merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Tentu saja dalam struktur pasar modal syariah, instrumen-instrumen derivatif ini tidak akan mendapatkan tempat.

Pertanyaan berikutnya, jika pasar primer memberikan efek langsung terhadap sektor riil, mengapa kita tidak mendorong pembesaran volume transaksi di pasar primer ini? Jawabannya tentu saja tidak mudah, karena itu sangat bergantung pada kebutuhan dana untuk melakukan ekspansi bisnis. Perusahaan tentu tidak bisa dipaksa untuk menerbitkan IPO atau sukuk korporasi kalau memang mereka tidak membutuhkan tambahan modal.

Namun penulis melihat ada alternatif lain yang bisa dilakukan. Yaitu, mendorong penerbitan sukuk negara untuk pembangunan infrastruktur. Tetapi yang harus diingat adalah penerbitan sukuk ini jangan sampai hanya membuat harta berputar di tangan segelintir kelompok kaya, karena itu tidak sesuai dengan QS 59 : 7. Untuk itu, masyarakat harus diberikan akses terhadap instrumen ini. Konsep sukuk retail sesungguhnya merupakan terobosan yang luar biasa, karena konsep ini memberikan ruang dan akses untuk berinvestasi yang lebih besar bagi para investor kecil. Oleh karena itu, jika pemerintah akan menerbitkan sukuk negara untuk proyek infrastruktur pada tahun 2013, maka pola sukuk retail bisa menjadi opsi terbaik, ditinjau dari perspektif keadilan distribusi ekonomi. Wallahu a’lam.

Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya