Tiga Prinsip Berbisnis Sesuai Syariah

“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang/pebisnis yang apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan (HR Baihaqi)”

Hadits di atas menggambarkan bahwa salah satu pilar perekonomian yang harus dibangun oleh umat dan bangsa ini adalah sektor riil. Ujung tombak kemajuan pembangunan ekonomi berdasarkan prinsip syariah terletak pada sejauhmana umat ini dapat melahirkan para pebisnis yang mampu menguasai sektor-sektor strategis dalam perekonomian.

Ibarat mesin kendaraan, sektor riil ini sangat menentukan kualitas dari sebuah kendaraan untuk bergerak. Bahkan perkembangan pilar perekonomian syariah yang lain, yaitu sektor keuangan dan sektor ZISWAF (zakat, infak, sedekah dan wakaf), sangat bergantung pada sektor riil ini. Hal ini dikarenakan oleh pertama, nature transaksi keuangan syariah adalah berbasis pada sektor riil. Sehingga, kalau sektor riil umat ini lambat pertumbuhannya, akan berdampak pada lambatnya penetrasi keuangan syariah untuk menggantikan sistem ribawi yang ada. Kedua, buruknya penguasaan sektor riil akan berdampak pada rendahnya angka penghimpunan ZIS. Bagaimana mungkin dana ZIS akan terkumpul banyak, apabila umat ini tidak menguasai bisnis dan perdagangan?

Karena itu, jika merujuk pada perjalanan shirah Rasulullah SAW, maka kekuatan kedua yang beliau bangun setelah membangun kekuatan mesjid, adalah kekuatan pasar. Banyak diantara para sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam berbisnis, sehingga potensi perekonomian umat dapat dikembangkan.

Tiga prinsip
Namun demikian, ajaran Islam sangat menyadari bahwa praktek bisnis itu rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan. Karena itu, hadits Rasul SAW di atas telah memberikan tiga prinsip utama yang harus dilaksanakan, agar beragam penyimpangan ini dapat diminimalisir. Pertama, terkait dengan prinsip kepribadian yang harus dimiliki pebisnis. Kedua, terkait dengan prinsip negosiasi dan transaksi, dan yang ketiga terkait dengan prinsip kewajiban yang timbul dari usaha bisnis yang ada.

Pada prinsip yang pertama, Rasul SAW telah menggariskan tiga sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap pebisnis, yaitu jujur, amanah dan tepat janji. Ini sangat penting mengingat ketiga sifat inilah yang umumnya sulit dimiliki oleh pebisnis, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang, dimana ketidakjujuran ada dimana-mana. Kepada mereka yang memiliki sifat ini, Rasul SAW menjanjikan bahwa mereka kelak akan bersama dengan para Nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada di surga (HR Tirmidzi).

Untuk menjamin hal tersebut, Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin, senantiasa melakukan inspeksi pasar secara berkala. Jika terjadi penyimpangan pasar, maka tindakan hukum segera diambil sebagai bentuk koreksi. Sebagai contoh adalah kisah Syifa binti Abdullah ra, seorang shahabiyah (sahabat wanita), yang ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab ra sebagai pejabat yang berwenang dalam melakukan monitoring pasar, semacam KPPU saat ini.

Suatu ketika, Syifa melakukan inspeksi mendadak untuk mengecek kualitas susu yang dijual di pasar. Beliau mendengar kabar ketidakjujuran sebagian pedagang yang mencampur susu yang dijual dengan air biasa, demi meraih untung yang lebih banyak. Setelah sebelumnya melakukan investigasi secara diam-diam, Syifa menemukan bukti kecurangan tersebut. Akhirnya beliau memberikan sanksi yang sangat keras terhadap para pedagang yang tidak jujur. Yaitu, melarang mereka berjualan di pasar, dan memberikan hukuman fisik kepada mereka.

Negosiasi dan kewajiban
Selanjutnya, pada prinsip yang kedua, hadits di atas memberikan tuntunan dalam bernegosiasi. Kesepakatan bisnis harus didasarkan pada dua hal utama, yaitu tidak mencela ketika akan melakukan pembelian suatu produk, dan tidak mempermainkan harga pada saat melakukan penjualan. Pengenaan harga jual yang sangat berlebihan, apalagi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli, merupakan hal yang tidak sesuai dengan syariah. Inilah prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap pebisnis.

Memang Islam tidak memberikan batasan maksimal berapa persen keuntungan yang dapat diambil. Prosentase bisa beragam, namun yang penting laba itu harus memperhatikan tiga hal. Yaitu, unsur kepatutan/kewajaran dan keadilan, mekanisme demand supply alami, dan prinsip saling ridho diantara penjual dan pembeli.

Kemudian prinsip yang ketiga, adalah terkait dengan utang dan piutang. Pada sisi utang, Islam memerintahkan untuk mempercepat pelunasannya, dan tidak boleh menundanya, kecuali jika dalam keadaan terpaksa, seperti terkena musibah bencana sehingga terpaksa harus me-reschedule pembayaran utang. Sementara pada sisi piutang, merupakan hak seorang pedagang untuk menagih utang pihak lain. Akan tetapi, jika debitur tersebut mengalami kesulitan, yang bukan disebabkan oleh kesengajaan dan kelalaiannya, maka pedagang tersebut dianjurkan untuk tidak memperberat beban debitur, serta disarankan untuk memberi tambahan waktu pelunasan. Jika memungkinkan, memberikan keringanan kepada yang bersangkutan. Wallahu a’lam.

Oleh: Dr. Irfan Syauqi Beik, Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya