Memajukan Perdagangan dan Ekonomi Islam

Sebuah kebijakan diputuskan. Nizam al-Mulk, sang penentu kebijakan, memutuskan menggunakan segala sumber daya dan teknologi untuk membangun infrastruktur dan fasilitas yang membantu memperlancar perdagangan. Ide yang dilontarkan cendekiawan dan perdana menteri Dinasti Seljuk ini pada akhirnya membuahkan hasil gemilang.


Para pedagang senang melewati jalur perdagangan di wilayah Muslim dan berniaga dengan para pedagang Muslim. James E Lindsay dalam bukunya, Daily Life in Medieval Islamic World, mengatakan, Nizam al-Mulk pada abad ke-11 melalui kebijakannya menekankan pentingnya inisiatif membangun peradaban guna meningkatkan perdagangan dan kemajuan ekonomi.


Banyak hal yang dititahkan. Nizam al-Mulk memerintahkan pembangunan jalur bawah tanah,  membuat kanal, mendirikan jembatan yang menghubungkan antarperairan, merehabilitasi pedesaan dan perkebunan, dan mendirikan bangunan-bangunan megah. Penginapan bagus yang disebut dengan funduq juga berjajar di jalur utama perdagangan.


Bukan hanya itu, sekolah-sekolah pun bermunculan bagi mereka yang bepergian tak untuk berdagang, tetapi menimba ilmu. Keberadaan funduq di jalur utama bukan tanpa tujuan. Itu agar mempermudah perdagangan dan menjamin para pedagang dari gangguan penjahat. Funduq umumnya berupa bangunan persegi panjang dengan pintu masuk tunggal.


Di bagian dalamnya adalah sebuah ruangan luas yang dikelilingi serambi bertiang di mana para pedagang bisa menyimpan barang-barang dagangannya. Disediakan pula layanan gratis berupa rumah singgah bagi fakir miskin, dapur makanan, bahkan layanan medis. Kebanyakan funduq berdiri di dekat masjid. Namun, pemerintah Muslim tak diskriminatif.


Mereka menyediakan pula funduq yang dilengkapi dengan gereja atau sinagog untuk mengakomodasi para pedagang Kristen dan Yahudi. Dengan demikian, di sela-sela perjalanan dagangnya mereka berkesempatan menjalankan ibadah di tempat yang sudah disediakan. Jauh hari sebelumnya, masyarakat Muslim tak begitu memikirkan pembangunan infrastruktur semacam itu.


Sebab, mereka terbiasa bepergian dari satu kota ke kota lainnya menggunakan bagal, keledai, atau karavan yang ditarik unta. Jalan-jalan berdebu mereka lewati karena saat menuju tempat tujuan mereka mengarungi lautan padang pasir. Selain melalui jalur darat, alternatif lainnya memakai kapal laut. Kala itu pemimpin pemerintahan Islam belum menaruh perhatian lebih soal ini.


Karena perjalanan yang mengandalkan binatang tunggangan itu tak sepenuhnya bergantung pada jalanan, kuda dan unta mereka bisa melintasi sungai atau genangan air yang kadang kering atau pasang saat sedang terjadi banjir. Tapi, jelas Lindsay, bukan berarti tak ada penggunaan infrastruktur transportasi sama sekali.


Di Baghdad dikenal dengan jembatan-jembatan pontoon yang berfungsi sebagai sarana penyeberangan di Sungai Tigris. Dari awal, karavan unta yang melintasi sahara antara Afrika Utara dan kota-kota perdagangan sepanjang Sungai Niger, serta sahara dari Maroko ke Mesir memainkan peran penting dalam jaringan perdagangan di dunia Islam.


Pedagang, termasuk juga jamaah haji, ada pula yang berasal dari Spanyol. Mereka yang tinggal di dekat dermaga di pantai-pantai Mediterania memilih menggunakan kapal laut kapan pun mereka bisa. Apalagi, angin dan air Mediterania tergolong tenang jika dibandingkan dengan Samudra India di mana perjalanan yang ditempuh dengan kapal lebih berbahaya.


Sementara itu, Sungai Nil, Tigris, dan Efrat menjadi sarana favorit yang digunakan masyarakat Irak serta Mesir kala bepergian. Ada satu hal yang menjadi catatan. Dengan fasilitas transportasi apa pun yang mereka gunakan, ada kekhawatiran yang menghantui mereka, yaitu rampok atau bajak laut. Oleh karenanya, merupakan sebuah tindakan bodoh jika bepergian sendirian.


Oleh sebab itu, banyak yang memilih untuk bepergian secara berombongan. Mereka mengutip pepatah Arab saat akan bepergian, "Teman seperjalanan lebih penting dibandingkan rute yang dipilih untuk mencapai tujuan." Rute panjang dan keselamatan inilah yang pada akhirnya melahirkan pemikiran dalam diri Nizam al-Mulk melakukan gebrakan di atas.


Selanjutnya, didirikan tempat peristirahatan atau penginapan di sepanjang jalan yang dilalui oleh para pedagang dari mana saja atau jamaah haji. Kota-kota perdagangan utama biasanya mempunyai puluhan hingga ratusan penginapan berdinding yang disebut dengan funduq. Istilah lainnya adalah caravansarai. Para pedagang Eropa pada masa pertengahan menggunakan istilah fondaco untuk menyebut penginapan.


Pada abad ke-11, seorang cendekiawan Muslim, Nasir Khusrow, mengatakan di Kairo, Mesir  terlihat seperti tak berkesudahan jajaran caravansarai. Pada sekitar 1150, pakar geografi al-Idrisi menuturkan, dalam catatannya bahwa ada 970 funduq berjajar di sekitar Dermaga Almeria, Spanyol. Tiga dekade kemudian, giliran Ibnu Jubair menyampaikan kesaksiannya.


Ia mengatakan, di Damaskus, Suriah, ia menyaksikan menjamurnya funduq. Di sisi lain, baik di Damaskus, Baghdad, dan Kairo maupun Almeria, funduq menjadi sangat penting sebagai bagian dari pendapatan pemerintah berupa pajak. Mereka juga meyakinkan para pedagang bahwa sepanjang rute perdagangan yang dilewati dijamin aman hingga ke tempat tujuan.


Sayrafi dan Muhtasib


Alat tukar dalam aktivitas perdagangan bermunculan. Pada masa pemerintahan al-Walid, dari Dinasti Umayyah, ditetapkan tiga bentuk koin mata uang sebagai alat tukar, yaitu dinar emas, dirham perak, dan fals yang merupakan koin dari logam. Interaksi pedagang dari berbagai penjuru dunia pun terjadi. Mereka datang dari Damaskus, Kairo, Kordoba, Isfahan, Bukhara, Delhi, Genoa, dan Konstantinopel.


Dengan kenyataan ini, ada semacam lembaga atau orang yang sangat penting di pasar ketika para pedagang itu bertransaksi, yaitu sayrafi atau penukar uang. Mereka bukan hanya menukar mata uang yang dibutuhkan, melainkan juga menetapkan nilai koin yang akan ditukar, terutama koin asing, yang biasanya ditukarkan untuk bertransaksi di pasar Muslim.


Cara standar yang dilakukan oleh sayrafi dalam menentukan nilai koin adalah menimbang berat dari koin tersebut. Calude Cahen, ilmuwan yang dikutip James E Lindsay mengatakan, berdasarkan hukum fikih menekankan bahwa penilaian pada sebuah koin adalah dengan menimbang beratnya. Dengan demikian, dapat diketahui nilai sebenarnya demi kemaslahatan pihak-pihak yang bertransaksi.


Selain sayrafi, peranan penting juga ditunjukkan oleh muhtasib atau pengawas pasar. Seorang muhtasib bertugas memfungsikan pasar berjalan dengan baik dan transaksi berlaku secara adil. Ia harus menjamin tak ada kecurangan yang terjadi di pasar. Nizam al-Mulk menginginkan adanya peran penting yang terangkum dalam diri muhtasib.


Ia mengatakan, di setiap pasar harus ditunjuk seseorang (muhtasib) yang bertugas memeriksa harga dan skala perdagangan di pasar, memastikan perdagangan dilakukan dengan jujur, tak ada kecurangan saat menimbang, dan moral dan nilai-nilai religius tetap terjaga oleh setiap orang yang menjalankan aktivitasnya di pasar.


Oleh: Ferry Kisihandi


Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya