Pengaruh Makroekonomi terhadap Reksadana Syariah di Indonesia

Reksadana syariah merupakan salah satu alternatif berinvestasi bagi masyarakat yang ingin menginvestasikan dananya pada pasar modal. Semenjak pertama kali diluncurkan pada tahun 1997, reksadana syariah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Reksadana syariah tercatat berjumlah empat unit reksadana dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebesar Rp 67 miliar pada tahun 2003. Kemudian pada tahun 2004 reksadana syariah tercatat telah berjumlah 11 unit reksadana dengan nilai NAB sebesar Rp 593 miliar atau meningkat 885,50 persen dibandingkan tahun 2003. Hingga awal tahun 2012, reksadana syariah tercatat berjumlah 50 unit reksadana dengan NAB sebesar Rp 5,666 triliun, atau tumbuh sebesar 8.465 persen dibandingkan dengan nilai NAB pada tahun 2003.

Reksadana syariah, apabila dibandingkan dengan industri reksadana secara keseluruhan, ukurannya masih tergolong sangat kecil. Hingga Januari 2012, reksadana syariah hanya sebesar lima persen dari industri reksadana secara keseluruhan. Hal ini tentunya membuat reksadana syariah sangat rentan terhadap fluktuasi pasar modal dan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Krisis yang terjadi pada tahun 2005 akibat peningkatan harga minyak dunia, depresiasi rupiah, dan kenaikan tingkat bunga yang membuat investor reksadana memindahkan dana mereka ke instrumen investasi lain. Krisis ini menggerus NAB reksadana syariah turun hampir 20 persen menjadi Rp 559 miliar.

Penelitian ini mencoba mengkaji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi reksadana syariah agar semakin meningkatkan minat investor untuk berinvestasi. Minat investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara tentunya akan didorong oleh motif ekonomi dan non-ekonomi. Selain itu, kondisi makroekonomi sebuah negara juga akan memengaruhi pilihan investor. Dalam penelitian ini, difokuskan untuk menganalisis pengaruh variabel makroekonomi terhadap reksadana syariah di Indonesia dengan metode Vector Autoregressive (VAR)/ Vector Error Correction Model (VECM), Simulasi Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition. Adapun variabel makroekonomi yang akan digunakan antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia (SBIS), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (KURS), Inflasi (INF), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan Jakarta Islamic Index (JII).

Hasil penelitian
Dari hasil estimasi VECM, dapat diketahui bahwa SBI berpengaruh signifikan dalam jangka pendek dengan korelasi negatif, dan jangka panjang dengan korelasi positif, terhadap NAB reksadana syariah. Seperti yang sudah diketahui bahwa SBI merupakan instrumen moneter bagi Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi. Suku bunga SBI memengaruhi perkembangan NAB reksadana syariah. Hal ini dikarenakan oleh posisi SBI yang menjadi sinyalemen bagi pergerakan variabel makroekonomi lainnya.

Pemicu berkurangnya NAB reksadana syariah pada jangka pendek ketika SBI meningkat, dikarenakan peningkatan SBI membuat sebagian besar masyarakat mengalihkan dananya dari reksadana syariah ke instrumen SBI, walaupun SBI menggunakan sistem bunga. Inilah behaviour atau perilaku investasi sebagian besar investor yang masih menjadikan return sebagai alat ukur investasi.

Sedangkan pemicu peningkatan dari NAB reksadana syariah dengan meningkatnya SBI pada jangka panjang, karena faktanya, peningkatan SBI selalu diiringi dengan peningkatan SBIS dalam tren yang relatif sama. Sehingga, menjadi insentif bagi investor yang memiliki dana terbatas untuk berinvestasi melalui reksadana syariah. Apabila investor tersebut berinvestasi langsung ke dalam SBIS, diperlukan modal yang sangat besar. Oleh karena itu, masyarakat memiliki kemudahan untuk berinvestasi melalui reksadana syariah, sehingga NAB-nya pun akan meningkat.

Selanjutnya, variabel SBIS berpengaruh signifikan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dengan korelasi positif terhadap NAB reksadana syariah. Peningkatan SBIS akan menjadi insentif bagi manajer investasi untuk menginvestasikan dana kelolaannya ke dalam instrumen SBIS, sehingga diharapkan terjadi peningkatan return bagi para investor. Dengan kondisi yang ada, maka sebagai dampaknya, NAB reksadana syariah juga akan mengalami peningkatan.

Kurs dan inflasi
Variabel kurs berpengaruh signifikan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dengan korelasi positif, terhadap NAB reksadana syariah. Peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, akan mendorong terjadinya aliran modal masuk (capital inflow) ke Indonesia akibat meningkatnya permintaan akan rupiah. Capital inflow ini kemudian akan meningkatkan NAB reksadana syariah.

Sementara inflasi, juga berpengaruh secara signifikan dalam jangka pendek dengan korelasi positif terhadap NAB reksadana syariah. Hal ini terjadi karena ketika inflasi mengalami peningkatan, maka bank sentral akan merespon dengan menaikkan suku bunga dan bonus SBIS untuk mengurangi jumlah uang beredar. Kenaikkan bonus inilah yang kemudian menjadi insentif bagi para investor yang menginginkan return yang tinggi, untuk berinvestasi pada reksadana syariah, sehingga NAB reksa dana syariah mengalami peningkatan. Kemudian sejak tahun 2005, Bank Indonesia telah menetapkan Inflation Targeting Framework sehingga diharapkan, inflasi pada jangka panjang akan lebih terkendali. Hal ini memudahkan para investor dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi, sehingga dalam jangka panjang pengaruh inflasi dinilai tidak terlalu signifikan.

IHSG dan JII
Variabel yang dalam jangka pendek tidak berpengaruh, namun secara signifikan berpengaruh dalam jangka panjang dengan korelasi negatif terhadap NAB reksadana syariah, adalah IHSG. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa reksadana syariah merupakan reksadana yang jangka waktu investasinya menengah-panjang, sehingga perubahan IHSG dalam jangka pendek tidak akan berpengaruh terhadap reksadana syariah. Peningkatan IHSG dalam jangka panjang akan mendorong para investor untuk melakukan penebusan unit penyertaannya (redemption) untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, NAB reksadana syariah akan mengalami penurunan pada jangka panjang tersebut.

Adapun variabel yang terakhir adalah Jakarta Islamic Index (JII). Riset menunjukkan bahwa JII tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap reksadana syariah, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi bahwa walaupun JII terdiri dari 30 saham syariah terbaik, namun JII memiliki nilai yang sangat kecil, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap reksadana syariah. Selain itu, reksadana syariah di Indonesia lebih didominasi oleh reksadana yang menginvestasikan dananya melalui efek bersifat utang. Dengan porsi dana investasi yang lebih sedikit terhadap efek berbentuk saham, maka JII dinilai sangat kecil pengaruhnya terhadap reksa dana syariah.

Berdasarkan hasil analisis impulse response tersebut, maka dapat dilihat bahwa inovasi atau guncangan dari variabel makroekonomi (SBI, SBIS, kurs, inflasi, IHSG, dan JII) memberikan dampak terhadap NAB reksadana syariah. Inovasi atau guncangan dari variabel makroekonomi dalam jangka panjang memengaruhi reksadana syariah berupa peningkatan atau penurunan NAB reksadana syariah, dan mencapai kestabilan rata-rata setelah melewati periode kesepuluh.

Pertumbuhan reksadana syariah yang sangat pesat perlu mendapat dukungan pemerintah selaku pengambil kebijakan, mengingat potensi pengembangannya di Indonesia yang sangat besar. Kurangnya pengetahuan masyarakat yang sangat terbatas terhadap reksadana syariah, perlu diatasi melalui sosialisasi dan edukasi yang tepat. Termasuk juga edukasi terhadap pentingnya memegang teguh nilai-nilai syariah, sehingga komitmen masyarakat dalam mengembangkan investasi syariah dapat terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Wallahu a’lam.

Kasyfurrohman Ali, Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE-FEM dan MM Syariah IPB

Klik suka di bawah ini ya