Merindukan Pemerintah yang Berani Menerbitkan Obligasi Negara dengan Prinsip Syariah

Undang Undang (UU) Republik Indonesia (RI) No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara yang penuh dengan kata-kata 'bunga' yang dalam penjelasan UU-nya juga dikatakan tidak dapat yang selain 'bunga'; oleh banyak pejabat tinggi RI, hal ini menjadi argumen utama yang mementahkan dikeluarkannya obligasi negara dengan prinsip syariah.


Dalam kenyataannya, obligasi korporasi dengan prinsip syariah telah mencapai belasan. Dan pada awal dikeluarkannya, Obligasi Syariah Indosat tidak mempunyai acuan hukum positif seperti UU atau Peraturan Bapepam yang menjadi naungannya. Sebagai gantinya Obligasi Syariah Indosat bernaung di bawah Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 32 tentang Obligasi Syariah dan No. 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Obligasi korporasi dengan prinsip syariah yang sesudahnya juga dapat bernaung di bawah Fatwa DSN-MUI No. 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

Sangat disesalkan bahwa UU No. 24 keluar dalam tahun yang sama dengan Obligasi Syariah Indosat, tanpa sama sekali memasukkan hal-hal yang memungkinkan untuk mengakomodir prinsip syariah. Obligasi Syariah dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan mengalami redefinisi sebagai Surat Berharga Jangka Panjang berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat diperjual belikan.

Dalam UU No. 24, Surat Utang Negara juga didefinisikan sebagai Surat Berharga. Memang merupakan wewenang Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian prinsip syariah terhadap UU No. 24. Namun belajar dari sepak terjang Indosat dan pelaku pasar modal lainnya, yang dibutuhkan hanyalah niat dan tekad atau dengan kata lain 'keberanian' yang diwujudkan dalam amal yang nyata melakukan sedikit penyesuaian dalam UU tersebut atau mengupayakan naungan Fatwa dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.

Gengsi berprinsip syariah
Bisa dimaklumi alasan pemerintah tidak ingin memperoleh naungan Fatwa DSN-MUI untuk obligasi negara dengan prinsip syariah ini, karena akan membuat pemerintah terlihat 'lebih kecil' dibanding para alim ulama DSN- MUI. Perasaan 'gengsi' semacam ini yang mungkin membuat negara RI dengan jumlah Muslim terbesar tidak mempunyai 'keberuntungan' dalam membangun negaranya ke depan. Jangankan kesulitan dan musibah dapat diatasi sepenuhnya; kemudahan naungan Fatwa dan Skema Syariah yang ditawarkan saja masih terus-menerus 'dikaji' tanpa ada 'keberanian' yang nyata untuk menerimanya, apalagi mewujudkan implementasinya.

Sekedar mengingatkan dengan Firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (Q.S. 47. Muhammad : 7). Pemerintah juga mungkin merasa 'segan' mengupayakan penerbitan obligasi negara dengan prinsip syariah, karena menurut mereka itu adalah tambahan pekerjaan yang tidak perlu. Jangan-jangan akan sulit bagi pemerintah semacam ini untuk diteguhkan kedudukannya.

Partai-partai yang berhaluan Islam sudah saatnya memperjuangkan hal-hal yang berbau ekonomi dan membumi dengan prinsip syariah semacam Obligasi Negara, karena hal semacam ini sangat konkret dan dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi. Jangan terlalu terjebak dalam polemik yang menghabiskan energi untuk sesuatu hal yang tak kunjung selesai. Revisi Undang Undang (UU) Republik Indonesia (RI) No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara membutuhkan kerja para wakil partai berhaluan Islam di DPR dan Pemerintah RI.

Dibutuhkan keikhlasan dan 'keberanian' bersinergi dari banyak pihak seperti DSN-MUI, Pemerintah RI, DPR RI, Lembaga Keuangan Islam Internasional, para pelaku ekonomi / pasar modal syariah dan para pihak lainnya yang menunggu dan membutuhkan 'keberanian' pemerintah untuk mengeluarkan obligasi negara dengan prinsip syariah, untuk bersama-sama duduk dan berdiskusi setara menghasilkan naungan terbaik bagi obligasi syariah negara. Ada baiknya kita mulai dengan skala kecil dan signifikan.

Obligasi syariah negara, seberapapun besarannya adalah sangat signifikan untuk mencari investor baru yang lebih bervariasi. Dari kacamata investasi, hal semacam ini justru akan lebih memperkuat posisi Indonesia sebagai negara tujuan investasi karena Indonesia mendiversifikasikan ketergantungan terhadap para investor yang selama ini itu-itu saja.

Ada pepatah yang mungkin patut menjadi acuan bagi kita semua yang mendukung kemajuan diterapkannya prinsip syariah: Mengekonomikan Prinsip Syariah dan Mensyariahkan Prinsip Ekonomi bagi negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur.

Muhammad Gunawan Yasni, SE Ak., MM.
Anggota Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia

Klik suka di bawah ini ya