Membangun Spiritual Brand Reksadana Syariah

Pada pertengahan tahun 2005, gejolak pasar reksadana dirasa semakin tak menentu. Naiknya harga dollar karena melonjaknya harga minyak dan badai Katrina di Amerika telah menyebabkannya turunnya nilai kapital reksadana. Investasi reksadana yang sebelumnya menjadi primadona beberapa tahun belakangan, telah menjadi produk yang dihindari masyarakat pemodal. Bahkan banyak Investor yang melakukan pencairan dana (redemption) besar-besaran terhadap hampir semua jenis produk reksadana. Akibatnya nilai aktiva bersih reksadana yang sebelumnya masih diatas 100 trilun menjadi tinggal 24,52 triliun dalam waktu singkat.


Berdasarkan kejadian ini terlihat informasi yang dimiliki para investor masih sangat minim. Investor lebih mengetahui keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh tanpa mengenal resiko yang akan dihadapinya. Pemerintah melalui BAPEPAM menilai para manajer investasi beserta agen penjualnya tidak melakukan komunikasi pemasaran yang menyeluruh.

Seperti kita ketahui, bisnis investasi merupakan bisnis jasa. Dan bisnis jasa adalah bisnis kepercayaan yang harus selalu menjaga brand awarness. Bila sekali saja salah menyampaikan informasi kepada pelanggan dan terjadi peristiwa seperti diatas, maka akan hilang kepercayaan pelanggan dalam waktu singkat. Pelanggan, dalam hal ini investor, akan berpikir seribu kali untuk menginvestasikan lagi dananya di reksadana. Karena brand sebagai intangible asset sangat rapuh dan vulnerable. Kasus ini mirip dengan Enron dan Worldcom yang membangun merek dalam waktu lama tapi karena kesalahan fatal tertentu, kemudian hancur dalam waktu sesaat. Greenspan, kepala Bank Sentral Amerika, yang menanggapi runtuhya Enron menjelaskan, perusahaan memiliki kerapuhan struktural bila nilai tambah yang dihasilkan diperoleh dari intangible asset seperti merek, reputasi bisnis, teknologi, property intelektual, dan hubungan baik dengan pelanggan. ”Trust and reputation can vanish overnight” Jelas Greenspan.

Agar terus dipercaya dan produknya memiliki relevansi dipasar, perusahaan investasi harus memiliki tim marketing communication terpadu. Hal ini sangat penting mengingat informasi yang lengkap dapat memberikan value tinggi kepada pelanggan. Hasil akhirnya adalah poduk reksadana akan terwujud dalam market share, mind share, heart share yang kuat dalam kurun waktu lama.

Pada produk reksadana syariah, redemption juga terjadi walau tidak separah reksadana konvensional. Padahal berdasarkan data, reksadana syariah cenderung lebih stabil terhadap pengaruh faktor eksternal.

Sampai saat ini nilai kapital reksadana syariah terbilang masih sangat kecil dibanding reksadana konvensional. Meskipun telah memiliki positioning kuat sebagai investasi yang halal, banyak investor masih menganggap produk syariah kurang memiliki gain yang optimal dibanding produk konvensional. Padahal bila mengacu pada beberapa penelitian, reksadana syariah memiliki kinerja yang lebih baik dibanding kinerja konvensional. Artinya reksadana syariah memiliki pendapatan atau gain lebih tinggi.

Bila kita amati, minimnya nilai capital reksadana syariah disebabkan karena lemahnya pemahaman investor terhadap value yang ditawarkan. Selama ini pihak pengelola dana masih sebatas mengandalkan brand religion yang lebih mementingkan keterlibatan emosional agama investor dalam melakukan investasi. Para pengelola dana kurang bisa menyampaikan brand function dari investasi itu sendiri yakni keuntungan investasi.

Sebenarnya Reksadana syariah telah memiliki spiritual Brand yang kuat. Spiritual Brand disini bukan merek yang berhubungan dengan agama. Menurut Narayana Murthy, pemimpin Infosys Technology, Spiritual Brand lebih bermakna membangun diri dengan integritas, kejujuran dan kesantunan. Maka bila dilakukan marketing komunikasi yang terpadu, sebenarnya reksadana syariah akan menjadi sangat bernilai bagi customer.

Mengacu pada pengertian spiritual brand, reksadana syariah mirip dengan ethical investment atau socially responsible investment (RSI). Model investasi ini sama-sama mengharapkan return tanpa meninggalkan nilai-nilai positif yang mereka miliki. Reksadana syariah dan ethical investment juga menekankan perlunya charity atau zakat dalam membersihkan dana. Disamping itu, mereka juga sama-sama menghindari investasi pada perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan kesehatan, dan perusahaan yang merugikan pihak lain dalam bentuk bunga atau riba.

Berdasarkan laporan bulan May 1998, selama lima tahun terakhir return dari ethical investment, Domini 400 Social Index, ternyata lebih tinggi dari return S&P 500. Nah, dari pengalaman kesuksesan ethical investment di luar negeri, pengelola dana dapat lebih mengkomunikasikan tentang brand function reksadana syariah kepada investor. Jadi, selain mempunyai dana yang sehat secara etika dan moral investor juga bisa mendapatkan gain yang optimal. Nilai kapital kelolaan reksadana syariah pun akan meningkat seiring meningkatnya kepercayaan investor.

Dengan serangkaian upaya terpadu dalam membangun spiritual brand dan mengkomunikasikan brand function, akan memancarkan spiritual values kepada semua pihak terutama investor dan orang-orang yang menerima charity. Namun Spiritual values harus dimiliki terlebih dahulu oleh para karyawan dan manajer investasi sehingga spiritual values akan timbul secara otomatis dalam pikiran dan hati investor. Spiritual Customer Relationship pun akan terbangun seiring terbentuknya good corporate government.

Juga, diharapkan kedepannya akan timbul investor yang setia dan menjadi pelindung bagi brand perusahaan atau biasa diungkapkan pakar pemasaran, Hermawan Kartajaya, sebagai spiritual advocate customer. ”Customer inilah yang dididam-idamkan oleh seluruh perusahaan karena merupakan pelanggan loyal seumur hidup”, ujar Hermawan.

Pada akhirnya Brand yang terbangun akan menjadikan reksadana syariah sebagai produk investasi yang bersih, halal, menguntungkan, bermanfaat bagi banyak orang dan dapat dimiliki oleh semua orang yang memiliki prinsip dan moral baik.

Oleh: Yoki Kuncoro

Referensi
1. Kartajaya, Hermawan (2004) “Hermawan Kartajaya on Brand,” Jakarta: Mizan.
2. Achsien, Iggi H (2003) “Investasi Syariah di Pasar Modal,” Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Kompas, Rubrik Keuangan, Jakarta.

Klik suka di bawah ini ya