Kredit Tasik

Dalam tulisan di rubrik ini bulan lalu kami berargumentasi tentang pentingnya membuat perbedaan yang jelas antara produk bank syariah dan konvensional. Kemiripan nama dan skema cenderung mengaburkan perbedaan yang fundamental antara keduanya. Jangan salahkan nasabah kalau uang mereka tidak mau hijrah ke syariah. Artikel tersebut kemudian mengundang banyak tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya ada yang membuat kami terkaget-kaget. Pasalnya, dia berkesimpulan bahwa KPR syariah tidak layak disebut sebagai pembiayaan berbasis murabahah. Perlu sebuah kehati-hatian untuk sampai pada kesimpulan tersebut dan kami serahkan kepada pembaca untuk setuju atau tidak dengan pendapat dia. Argumen teman kami tersebut adalah sebagai berikut.

MUI telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga bank konvensional dan karena itu perlu kejelasan mengenai perbedaan antara bunga dan marjin. Perbedaan tersebut seyogiyanya tidak hanya menyangkut istilah harfiah tetapi lebih penting lagi menyangkut filosofi matematika dan operasional transaksi. Untuk memudahkan pemahaman, kami memberi ilustrasi dengan skema kredit Tasik yang merupakan ben-tuk praktek murabahah yang relatif puritan.

Kredit Tasik memiliki akad jual beli tetapi dengan cara pembayaran cicilan. Disebut kredit Tasik karena para pedagangnya mayoritas dari Tasikmalaya Jawa Barat. Satu ciri khas yang konsisten dengan fiqih muamalah adalah jumlah pembayaran cicilan tidak tergantung dari frekwensi pembayaran. Kalau harga barang disepakati Rp 50 ribu dan anda sanggup membayarnya selama lima minggu maka cicilannya adalah Rp 10 ribu per minggu. Kalau anda membayar kontan saat membeli, maka harga barang tersebut tetap Rp 50 ribu. Jadi harga barang tidak tergantung pada jangka waktu pembayaran. Kalau si pedagang membeli barang tersebut Rp 40 ribu, maka dia memiliki margin sebesar 25 persen. Walaupun kelihatannya margin ini sangat besar, tetapi konsepnya sama sekali tidak sama dengan bunga. Besarnya margin tidak tergantung pada masa pembayaran.

Berbeda dengan kalau kita mengajukan KPR ke bank konvensional maupun syariah. Total margin yang kita bayar sangat tergantung pada masa pembayaran. Kalau nilai rumahnya adalah Rp 1 miliar dengan masa pembiayaan 10 tahun dan kemudian disepakati bahwa bankmenjual kembali sebesar Rp 2 milyar, maka total margin yang diterima bank adalah 100 persen selama 10 tahun. Sampai di sini margin kelihatannya berbeda dibanding bunga bank konvensional. Tetapi kalau kemudian anda meminta masa pembayaran yang berbeda, maka anda akan mendapati bahwa harga jual dari bank menjadi lebih rendah untuk masa cicilan yang lebih singkat. Sebaliknya, untuk masa cicilan yang lebih panjang, maka harga jualnya lebih tinggi. Artinya, jumlah cicilan sangat tergantung pada masa pembayaran.

Kalau demikian, apa bedanya KPR syariah dengan KPR konvensional? Kalau margin merupakan fungsi dari waktu, bukankah itu sama dengan suku bunga? Dari segi esensi matematika, margin yang demikian itu tidaklah berbeda dengan bunga. Sebagaimana pernah kami tulis, suku bunga merupakan harga waktu atau the price of time. Menilai harga barang dengan harga waktu adalah mirip dengan mengukur suhu ruangan dengan timbangan berat badan. Nggak nyambung bukan.

Kalau pembayaran bunga bank diharamkan oleh MUI, apakah margin yang ditetapkan berdasarkan fungsi waktu juga bisa tergolong haram? Esensi matematikaantara bunga dan margin yang demikian itu adalah sama. Perbedaan hanya terletak pada akadnya saja. Apakah perbedaan akad ini kemudian bisa menyebabkan yang halal menjadi haram atau sebaliknya?

Mungkin untuk membantu pemahaman . boleh saja kita mengambil dua kias yang berbeda mengenai halal haram ini. Kias yang pertama adalah kalau kita percaya bahwa sesuatu pada dasarnya halal. Daging sapi yang disembelih dengan menyebut atas nama Allah maka menjadi halal. Kias yang kedua adalah sebaliknya. Walaupun dengan menyebut asma Allah beribu-ribu kali, daging babi tetaplah haram dalam situasi normal. Nah kias mana yang mau dipakai, kita serahkan saja kepada MUI. Biar ahlinya saja yang bicara.

Tetapi agar aman dan kita tidak terlibat pada hal-hal yang kurang jelas maka sebaiknya transaksi murabahah diberi panduan yang lebih jelas lagi oleh Dewan Syariah Nasional. Kalau hanya menyangkut perbedaan akad saja, orang awam seperti kami tak bisa menangkap perbedaan yang jelas antara margin dengan bunga. Ini lebih menyangkut esensi matematika dan bukan menyangkut terminologi jenis akad. Akhir kata, ini bukan tafsir Iho.

Klik suka di bawah ini ya