Brand Loyalty Nasabah Bank Syariah

Sebagaimana diketahui, saat ini perekonomian Indonesia didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pada tahun 2007, jumlah seluruh pelaku ekonomi di Indonesia adalah 48.93 juta, di mana jumlah usaha besar adalah 7.000 unit, usaha menengah adalah 106 ribu unit, usaha kecil 4,2 juta unit, dan usaha mikro 44,6 juta unit (Kementerian Perdagangan, 2009). Dengan demikian, prosentase jumlah usaha mikro dan kecil (UMK) mencapai angka 99,77 persen. Adapun kontribusi UMK terhadap PDB adalah sebesar 53,6 persen, dengan jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai angka 91,8 juta orang.

Dengan melihat struktur usaha di Indonesia yang didominasi oleh UMKM, ekonomi syariah diharapkan dapat memainkan peran yang lebih signifikan dalam perekonomian nasional. Salah satunya adalah melalui peningkatan peran sektor perbankan syariah dalam memberikan akses permodalan bagi UMKM dalam mengembangkan usahanya. Apalagi sektor perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik dari sisi jumlah aset, jumlah BUS/UUS, maupun jumlah BPRS. Dari segi perundangan, penguatan sektor ini semakin nampak dengan diberlakukannya UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah.

Dari sisi aset misalnya, aset perbankan syariah telah tumbuh dengan besaran antara 28,57 persen sampai 48.49 persen dengan rata-rata 36.24 persen selama lima tahun terakhir. Angka ini lebih dari dua kali lipat pertumbuhan bank konvensional. Termasuk ketika terjadi krisis, di mana bank syariah mampu bertahan dan tumbuh lebih pesat dibandingkan bank konvensional yang hanya tumbuh 0,18 persen.

Namun demikian, pangsa pasar yang belum tergarap oleh bank syariah masih sangat besar. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut dengan menganalisis brand loyalty atau loyalitas merek nasabah bank syariah dengan bank konvensional, apakah nasabah bank syariah memiliki loyalitas yang lebih tinggi daripada nasabah bank konvensional, ataukah sebaliknya.

Brand loyalty

Sebagaimana diketahui, brand loyalty terdiri atas lima komponen, yaitu switcher (pembeli yang beralih), habitual buyer (kebiasaan pembeli), satisfied buyer (kepuasan pembeli), liking the brand (menyukai merek), dan committed buyer (pembeli yang setia). Kelima komponen dari brand loyalty diharapkan merupakan piramida terbalik, artinya dimulai dari switcher yang paling kecil nilainya lalu makin besar, sehingga angka terbesarnya adalah ada pada Comitted buyer.

Berdasarkan data yang ada (lihat tabel 1), dari perbandingan antara brand loyalty nasabah bank syariah dengan konvensional, tampak bahwa brand loyalty bank syariah menunjukkan pola yang tidak mengarah ke piramida terbalik, sedangkan bank konvensional lebih mengarah ke piramida terbalik. Fakta lain yang menarik adalah committed buyer pada bank syariah jauh lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengapa nasabah bank syariah lebih rendah tingkat kesetiaannya dibandingkan dengan nasabah bank konvensional. Hanya 14 persen saja nasabah bank syariah yang menyatakan setia terhadap bank syariah, sedangkan tingkat kesetiaan nasabah bank konvensional mencapai angka 44 persen.

Sementara itu di sisi lain, Muhamad Abduh (2011) telah melakukan penelitian mengenai tingkah laku nasabah deposito bank syariah. Kepada nasabah ditanyakan mengenai lima dimensi pelayanan banksyariah yang berhubungan dengan reliabili-tas, tangibilitas, biaya dan balas jasa, hubungan nasabah dengan bank, dan syariah terhadap sikapnya untuk menarik depositonya di bank syariah.

Dari kelima pertanyaan tersebut, nasabah memberikan respons cukup besar untuk menarik depositonya jika pelayanan bank syariah, khususnya pelayanan yang berhubungan dengan aspek kesesuaian syariah, kurang baik. Angkanya mencapai 60,1 persen, diikuti dengan tangibilitas (54,7 persen), biaya dan balas jasa (27,5 persen), rehabilitas (26,8 persen), dan hubungan nasabah dengan bank (11,3 persen).

Jadi, riset ini menunjukkan bahwa alasan utama mengapa nasabah akan menarik depositonya dan bank syariah sangat terkait dengan kualitas layanan yang berhubungan dengan kesesuaian syariah. Jika kualitas layanan ini dirasakan kurang baik, maka nasabah akan menarik depositonya. Demikian pula sebaliknya.

Persepsi kesesuaian syariah

Dari hasil kedua penelitian di atas, perlu disusun strategi pemasaran yang tepat, dengan peningkatan layanan syariah sebagai entry point untuk meningkatkan kesetiaan konsumen. Dalam menyusun strategi pemasaran biasanya kita akan mempergunakan referensi bauran pemasaran, yangpada mulanya berisikan komponen 4-P (Product, Price, Promotion dan Place) untuk produk berwujud. Sedangkan untuk produk jasa yang tidak berwujud, termasuk perbankan, saat ini digunakan bauran pemasaran 8-P (komponen 4-P yang sudah disebutkan tadi, ditambah dengan Physical Evidence, People, Productivity and Quality, dan Process).

Penulis meyakini, perbankan syariah telah menerapkan bauran pemasaran 8-P sebagai strategi pemasaran produk bank syariah. Namun demikian, satu hal penting yang perlu ditekankan kepada nasabah adalah bahwa seluruh aktivitas di bank syariah telah sesuai dengan tuntunan syariah. Bahwa persepsi yang menyamakan bank syariah dengan bank konvensional, seperti menyamakan antara bunga dan bagi hasil (hanya berbeda nama saja), adalah persepsi yang tidak benar. Hal ini harus dinyatakan secara tegas dan dijabarkan secara rinci dalam strategi pemasaran 8-P, karena ia sangat berpengaruh terhadap kesetiaan nasabah.

Insya Allah, jika pola pendekatan pemasaran dengan sentuhan "lebih sesuai syariah" diterapkan dengan tepat, maka potensi umat yang besar ini akan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemajuan perbankan syariah dan perekonomian nasiohal secara umum.

Dr Ma'mun Sarma, Kepala Bagian Pemasaran, Departemen Manajemen FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya