Pembiayaan Berbasis Ekuitas dan Kemitraan dalam Keuangan Syariah

Perbankan dan keuangan syariah (Islamic banking and finance - IBF) telah berkembang pesat dan menjadi fencmena tersendiri di dunia Islam. Hal ini juga menarik perhatian dan keterlibatan yang serius dari lembaga keuangan Barat. Inti dari gerakan IBF adalah larangan terhadap riba yang identik dan setara dengan bunga. Untuk menghindari riba/bunga, IBF mengembangkan transaksi yang didasarkan pada prinsip Profit and Loss Sharing(PLS) atau sistem bagi hasil. Model PLS adalah untuk menghindari debt financing atau pembiayaan berbasis utang, serta menggunakan asas kemitraan dan pembiayaan berbasis ekuitas.

Secara istilah, model PLS adalah perjanjian atau kesepakatan antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing pihak berinvestasi dan berbagi keuntungan dan kerugian. Mayoritas ekonom syariah berpendapat bahwa wujud PLS adalah berbentuk dua model utama pembiayaan dalam sistem keuangan syariah, yaitu mudharabah dan musyarakah. Inti perbedaan keduanya adalah dalam mudharabah terdapat pemisahan fungsi antara rabbul-mal (pemilik modal) dengan mudharib (pihak yang terlibat langsung dalam manajemen usaha/bisnis).

Sedangkan pada sistem keuangan konvensional tidak ada laba rugi atau risiko yang dibagikan kepada pihak-pihak yang terlibat. Instrumen bunga memiliki kecenderungan untuk mendukung golongan kaya dan berlawanan dengan kepentingan masyarakat banyak. Kaum industrialis kaya, dengan meminjam uang dalamjumlah besar dari bank, kemudian menggunakannya dalam proyek-proyek yang menguntungkan. Akan tetapi setelah keuntungan diraih, mereka tidak berbagi keuntungan dengan para depositor, kecuali hanya terbatas pada besaran bungayang jumlahnya kecil, dan ini pun masih dikurangkan dengan biaya produksi. Oleh karena itu, secara makro, mereka tidak membayar apapun kepada para depositor.

Lebih jauh, pada kasus yang ekstrem, jika terjadi kerugian yang mengarah pada bangkrut atau collapse, maka seluruh kerugian tersebut harus ditanggung oleh para depositor. Inilah logika dan fakta yang menggambarkan bahwa bunga mengakibatkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.

Namun di balik itu, pada saat literatur-hte-ratur terus menekankan pentingnya PLS sebagai model utama, praktik pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) masih banyak yang menghindari atau tidak sejalan dengan model PLS tersebut. Model semacam ini sering disajikan sebagai bentuk pembiayaan berbasis kemitraan. Artikel yang ditulis oleh Farooq, Rusydi, dan Sujimon yang berjudul Equity Financing and Partnership in Islamic Finance An Overview dan dipublikasikan dalam Australian Journal of Islamic Law, Management dan Finance (AJILMF) Volume 1 Issue 1 tahun 2010 ini berpendapat bahwa ada masalah serius dalam kerangka kerja kemitraan di mana pembiayaan berbasis ekuitas menjadi pertimbangan utama.

Permasalahan terletak pada sifat kerja sama sebagai bentuk hukum dari organisasi bisnis. Lebih jauh Farooq, Rusydi, dan Sujimon (2010) berpendapat bahwa tanpa memodifikasi aspek kontrak pembiayaan berbasis ekuitas, serta hanya berlandaskan pada rasionalitas ekonomis yang sebagian besar menggunakan instrumen utang, maka sama saja dengan menafikkan model PLS tersebut.

Pada kenyataannya, praktik pembiayaan mudharabah dan musyarakah masih sangat rendah proporsinya. Sebagai contoh,berdasarkan data International Association of Islamic Banks, PLS hanya meng-cover kurang dari 20 persen investasi yang dilakukan oleh perbankan syariah di dunia. Serupa dengan hal tersebut, Islamic Development Bank (IDB) juga tidak menggunakan pembiayaan dengan model PLS, kecuali pada beberapa pembiayaan berskala kecil.

Secara umum, perbankan syariah lebih tertarik menggunakan pembiayaan murabahah (mark-up system) yang lebih kecil risikonya tetapi mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Ada beberapa argumen yang mendasarinya. Pertama, murabahah dapat mereduksi risiko hingga nol persen, khususnya dalam perdagangan internasional. Kedua, murabahah menjadi kecenderungan yang kuat dan konsisten dari perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan untuk menggunakan intstrumen berbasis utang, khususnya dalam perdagangan ke luar. Ketiga, dalam murabahah ada keuntungan yang lebih pasti dan dapat diperkirakan sebelumnya. Keempat, dalam murabahah tidak ada kemungkinan risiko kerugian pada pihak bank, kecuali debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Alasan Belum Optimalnya PLS

Ada sejumlah alasan belum optimalnya PLS, baik dari sisi dunia usaha maupun dari sisi bank syariah. Alasan dari sudut pandang pengusaha antara lain pertama, kebutuhan untuk menjaga dan mengungkapkan detailed records. Kedua, pengusaha sulit untuk melakukan ekspansi usaha dengan sistem mudharabah dengan alasan kesempatan yang terbatas untuk menginvestasikan kembali laba yang ditahan dan/atau meningkatkan tambahan dana pada proyek pembiayaan. Ketiga, pengusaha tidak dapat menjadi satu-satunya pemilik proyek kecuali melaluimekanisme diminishing musharakah (kepemilikan bertahap) yang biasanya memakan waktu yang lama.

Sedangkan bagi pihak bank syariah, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi sulitnya menerapkan model PLS secara ideal. Pertama, dalam mudharabah atau musyarakah ada kemungkinan moral hazard seperti ketidakjujuran. Kedua, dalam mudharabah atau musyarakah dibutuhkan monitoring dan pengawasan secara lebih ketat, yang berimplikasi pada kebutuhan staf/pegawai yang tentu saja akan menambah biaya. Ketiga, dari sisi kewajiban, struktur deposito pada perbankan syariah adalah tidak untuk jangka panjang. Oleh karena itu, bank enggan untuk terlibat dalam pembiayaan proyek jangka panjang. Keempat, sistem PLS membutuhkan informasi yang detil tentang kemampuan pengusaha (termasuk kemampuan dalam memenuhi kewajiban) yang mungkin saja informasinya tidak tersedia dengan mudah.

Sebaliknya, ada kritik terhadap model pembiayaan murabahah, yaitu tidak lebih dari pinjaman konvensional jangka pendek dengan keuntungan yang telah ditetapkan kemudian dimasukkan dalam harga pembelian kembali. Al-Rajhi Bank, Al-Baraka, dan Pemerintah Sudan tercatat sebagai lembaga yang berkomitmen untuk tidak menggunakan model pembiayaan murabahah.

LKS telah menegaskan bahwa pembiayaan konvensional berdasarkan sistem bunga menimbulkan ketidakadilan karena tidak adanya sharing yang adil pada keuntung-an/kerugian dan risiko. Akan tetapi, LKS sendiri dalam praktiknya belum sepenuhnya menggunakan model PLS pada portofolio mereka, padahal instrumen riil dan ideal dalam pembiayan syariah adalah mudharabah dan musyarakah. Inovasi dapat menjadi solusi terhadap permasalahan ini.

Hilman Hakiem, Ketua Prodi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM-IPB

Klik suka di bawah ini ya