Salah Pilih Nasabah

Suatu ketika seorang teman yang juga seorang manager di sebuah bank syariah mengeluhkan pembiayaan investasi di sebuah perusahaan kelapa sawit yang berstatus macet.  Kami heran, kok ada perusahaan sawit yang kinerjanya jeblok ya.  Dalam situasi dimana harga sawit sedang melambung hampir tidak mungkin ada perusahaan yang mengalami kerugian.  Lantas apa penyebabnya?


Kami lantas membuka peta, dan ternyata seluruh perkebunan sawit di sekitarnya memiliki kinerja keuangan yang berada di atas rata-rata perusahaan publik yang bergerak di bidang kelapa sawit.  Bahkan rata-rata produktivitas kebun kelapa sawit milik rakyat yang biasanya kurang terawat ternyata berada di atas rata-rata produktivitas nasional.  Berdasarkan peta kesesuaian lahan, kami menyimpulkan bahwa kebun nasabah tersebut secara teoritis adalah salah satu lahan yang terbaik di seluruh Indonesia untuk ditanami sawit.  Tanpa perlakuan yang baik sekalipun, produktivitasnya pasti akan berada di atas rata-rata nasional.


Yang mengejutkan adalah pernyataan dari teman tersebut yang menyebutkan bahwa memang kebunnya sangat bagus.  Jadi aspek produksi tidaklah mengalami masalah yang berarti.  Kok bisa bagi hasil investasinya nihil? Padahal bagi hasil investasi dihitung dari selisih penerimaan produksi dengan biaya.  Kalau penerimaan produksinya tak mengalami masalah, berarti ada biaya yang menggelembung atau digelembungkan sehingga menggerus pendapatan perusahaan.


Dari hasil audit akuntan publik barulah ketahuan bahwa sumber masalahnya ada dua hal.  Pertama, ternyata biaya investasi kebun dan pabrik pengolahan CPO jauh berada di atas norma kewajaran.  Entah bagaimana ceritanya penggelembungan itu bisa terjadi. Investasi apapun menjadi percuma kalau perusahaan harus menanggung beban investasi yang kemahalan. Bank syariah  sudah seharusnya memiliki kemampuan untuk mengawasi penggunaan dana oleh nasabah sejak dana itu mengucur dari bank.


Selidik punya selidik ternyata pemilik perusahaan tersebut memiliki kebun lain yang tidak berjauhan dan dibangun dalam waktu yang bersamaan.  Hebatnya lagi kebun tersebut dibangun tanpa kredit dari bank sama sekali. Kemungkinan besar dana pembiayaan dari bank dipakai untuk membangun dua kebun.  Dengan kata lain dana dari bank telah dibelokan untuk membangun kebun yang lain. Tapi yang jadi masalah adalah bukti-bukti hukumnya sangat lemah karena pada saat pembangunan kebun segala sesuatunya sudah diatur rapih oleh si pengusaha.  Misalkan, secara hukum kebun yang satunya dimiliki sanak keluarganya walaupun semua orang tahu siapa pemilik aslinya.


Dalam prakteknya bank selalu rentan terhadap praktek cheating semacam ini. Tapi hal tetsebut bisa terjadi terhadap bank syariah maupun konvensional.  Karena itu, analisis kelayakan pemberian pembiayaan biasanya dilakukan secara ketat.  Niat melakukan penggelembungan mestinya sudah mulai terdeteksi sejak pengajuan proposal ke bank.  Analisisnya juga sebetulnya sederhana saja. Bank biasanya memiliki acuan mengenai struktur biaya investasi.  Kalau angka di proposal berada jauh di atas acuan standar, bank biasanya memilki mekanisme untuk secara langsung menolak proposal itu.  Bahkan beberapa bank yang terkenal sangat prudent, keputusan analis kredit tidak bisa di-veto oleh direksi sekalupun.


Jadi sebetulnya, mekanisme internal di bank tidak membuka kesempatan untuk terjadinya penggelembungan secara leluasa.  Lagian, pengeluaran investasi biasanya diawasi secara ketat oleh konsultan yang ditunjuk oleh bank.  Walaupun, perusahaan telah mendapatkan pembiayaan dari bank, tapi itu tidak berarti bahwa dana dapat ditilep begitu saja.


Jadi kenapa bank tempat teman kami bekerja telah salah pilih nasabah.  Jawabannya ada di masalah yang kedua.  Rupanya, si pengusaha adalah teman dekat direksi dan pemilik bank.  Proses pemberian pembiayaan karuan saja tidak melalui jalur yang baku.  Direksi langsung mengambil jalan pintas tanpa meminta masukan dari analis kredit.


Karena itu, ini bukan kasus salah pilih nasabah tetapi direksi dan pemilik bank telah salah pilih teman.  Karena alasan pertemanan prinsip-prinsip kehati-hatian dilalaikan begitu saja.


Hanya saja penyelesaian kasus kredit seret di bank syariah menjadi lebih rumit dibanding bank konvensional.  Dalam bagi hasil yang murni, tentu tidak berlaku yang namanya sita jaminan seperti di perbankan konvensional. Kerugian yang harus diderita bank syariah menjadi lebih nyata karena tidak terlindungi oleh jaminan.


Itu tidak berarti bahwa kemudian bahwa agar nasabah tidak bandel maka pembiayaan bagi hasil juga harus disertai dengan jaminan.  Harap diingat bahwa kesalahan bukan terletak pada sistem bagi hasil atau kelemahan mekanisme internal bank. Kasus di atas hanyalah salah satu contoh saja.  Prinsipnya sama saja, cheating tanpa kelalaian atau bantuan dari pihak internal bank sangatlah sulit untuk leluasa dilakukan oleh nasabah.


Terlalu banyak yang berpendapat bahwa sistem pembiayaan syariah harus dilengkapi dengan kolateral atau jaminan untuk mengurangi non performing financing (NPF).  Tapi itu sama saja dengan meminum bodrex untuk mengobati sakit perut.   Masalah pada umumnya tidak timbul karena ketiadaan jaminan.


Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPBM


Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya