Memahami Perilaku Konsumen: Kunci Pengembangan Bank Syariah

Memahami perilaku konsumen perbankan secara umum merupakan modal untuk merumuskan strategi merekrut nasabah baru yang selama ini belum teryakinkan akan keunggulan perbankan syariah. Kalau ada banyak orang yang pernah memperkirakan perbankan syariah di Indonesia akan berkembang dengan pesat, maka perkiraan tersebut mempunyai dasar yang sangat kuat. Pertama, Indonesia sampai sekarang merupakan negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia. Kedua, para ulama, yang sebelumnya memfatwakan bahwa perbankan konvensional dibolehkan karena alasan darurat, yaitu selama belum ada lembaga keuangan yang Islami, telah mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank. Akan tetapi pertumbuhan pesat tersebut ternyata tidak sebesar yang dibayangkan sebelumnya, sehingga target penguasaan pangsa pasar perbankan syariah yang diharapkan mencapai 5 persen pada tahun 2010 ini, masihjauh panggang dari api.


Kenapa bisa demikian?


Kuncinya terletak pada karakter dan perilaku nasabah perbankan syariah. Pada saat perbankan syariah masih sangat terbatas jumlahnya dulu, mungkin nasabah yang menggunakan perbankan syariah masih sangat inelastis. Mereka dicirikan sebagai nasabah yang sangat loyal kepada perbankan syariah, terlepas dari bagaimanapun pelayanan yang mereka dapatkan dan terbatasnya produk yang ditawarkan.


Namun demikian, berbagai hasil penelitian ternya ta menunjukkan bahwa jumlah nasabah yang mempunyai karakter seperti ini bukanlah mayoritas. Proporsinya bahkan sangat kecil dibandingkan dengan seluruh nasabah perbankan syariah, apalagi terhadap seluruh penduduk muslim Indonesia. Dalam tesisnya di program MB-IPB, penelitian Alfi Wijaya (2006) terhadap nasabah bank di wilayah Yogyakarta memperlihatkan bahwa hanya 15,7 persen nasabah yang dapat dikelompokkan sebagai segmen syariah loyalist, yaitu nasabah yang hanya berhubungan perbankan syariah untuk urusan keuangan mereka. Hasil penelitian Rr. Kath-rin Irviana di DKI Jakarta (2008) menemukan proporsi segmen ini agak lebih besar, tetapi tetap tidak dominan yaitu hanya 25 persen.


Sebagian besar nasabah ternyata memilih perbankan syariah lebih mendasarkan pada alasan-alasan obyektif ekonomi seperti besaran bagi hasil, pelayanan yang baik dan lokasi. Dalam kondisi seperti ini, seorang nasabah selalu tetap membuka pilihannya untuk kembali ke perbankan konvensional, atau masih tetap mempunyai account di bank konvensional. Dalam istilah Karim dan Afiff (2005), mereka ini termasuk ke dalam segmen floating syariah yang bisa cenderung ke syariah (floating more syariah) atau cenderung ke konvensional {floating less syariah). Untuk kasus wilayah Yogyakarta berdasarkan penelitian Alfi Wijaya (2006), proporsi segmen ini mencapai 63,5 persen dari total nasabah.


Hal ini menunjukkan bahwa industri perbankan syariah harus meningkatkan persaingan dengan mengunakan ukuran-ukuran obyektif sesuai dengan tuntutan nasabah. Ini memang menjadi tidak mudah bagi perbankan syariah, karena berarti harus bersaing dengan perbankan konvensional yang telah berjalan ratusan tahun dan menguasai hampir seluruh pangsa pasar. Padahal,dengan telah lamanya perbankan konvensional beroperasi, otomatis masyarakat menjadikan mereka sebagai benchmark untuk berbagai produk dan layanan yang diberikan oleh perbankan syariah.


Pada saat yang sama, jumlah bank syariah juga semakin banyak seiring dengan berjalannya waktu. Ini berarti bahwa perbankan syariah tidak hanya bersaing dengan perbankan konvensional, tetapi juga sesama bank dalam industri perbankan syariah. Semua ini membuat nasabah perbankan syariah semakin tidak inelastis lagi. Mereka mempunyai banyak pilihan, baik di dalam perbankan syariah maupun ke luar batas industri perbankan syariah, yaitu perbankan konvensional. Dengan kata lain, batas pasar {market boundary) perbankan syariah yang relatif sempit pada awalnya, yaitu pada saat nasabahnya sebagian besar merupakan nasabah idiologis dan jumlah bank syariah masih sedikit, sekarang meluas karena nasabahnya bukan lagi nasabah idiologis dan jumlah perbankan syariah sudah semakin banyak.


Memahami Perilaku Konsumen


Memahami perilaku konsumen perbankan secara umum merupakan modal untuk merumuskan strategi merekrut nasabah baru yang selama ini belum teryakinkan akan keunggulan perbankan syariah. Sementara memahami perilaku nasabah perbankan syariah secara khusus dalam rangka mempertahankan mereka agar tidak lari kembali ke perbankan konvensional, atau mau menjadikan bank syariah sebagai bank utama dengan cara meningkatkan kepuasan yang mereka dapatkan.


Dalam analisis perilaku konsumen ini, perbankan syariah harus mampu menggali apa saja atribut dari perbankan syariah yang dilihat oleh nasabah. Dari atribut yang dipertimbangkan tersebut, bagaimanaurutan tingkat kepentingannya di mata para nasabah. Setelah itu, perbankan syariah harus berani menanyakan bagaimana persepsi konsumen terhadap pelayanan yang mereka berikan selama ini untuk berbagai atribut yang dipertimbangkan oleh konsumen tersebut. Jika perlu persepsi tersebut harus diperbandingkan secara frontal dengan bank pesaing, dalam hal ini bank konvensional. Dengan perbandingan langsung seperti ini akan dapat dilihat bagaimana kepuasan nasabah terhadap perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Dari hasil kajian tersebut, industri perbankan syariah akan dapat mengevaluasi apakah produk dan pelayanan yang mereka berikan selama ini telah sesuai dengan ekspektasi para konsumen. Jika belum, dalam atribut apa saja mereka harus memperbaiki diri.


Kajian Is Eka Herawati (2004) dalam Tesisnya di MB-IPB menemukan bahwa nasabah suatu UUS Bank BUMN di Jakarta menempatkan atribut kesesuaian dengan syariah hanya pada urutan ketiga setelah lokasi dan kredibilitas bank sebagai alasan memilih bank syariah tersebut. Setelah itu menyusul atribut-atribut profesionalitas kerja, pelayanan transaksi dan informasi, keramahan petugas, status bank sebagai bank BUMN, serta jaringan kantor cabang dan fasilitas.


Tentu saja memahami harapan konsumen tidak berarti bahwa perbankan syariah harus mengikuti seluruh yang diinginkan konsumen, karena belum tentu harapan tersebut dapat diakomodasi tanpa melanggar prinsip syariah. Akan tetapi, paling tidak pemahaman akan ekspektasi konsumen memberikan masukan bagi industri perbankan syariah akan apa yang perlu ditekankan dalam edukasi kepada masyarakat. Jika harapan konsumen tidak mengharuskan bank untuk melanggar syariah dalam memenu-hinya, maka harapan tersebut harus diupayakan untuk dipenuhi. Namun jika harapan konsumen tidak dapat dipenuhi secara syari, maka ini berarti menjadi masukan bagi perbankan syariah tentang aspek edukasi masyarakat yang harus dilakukan.


Edukasi masyarakat akan filosofi perbankan syariah dan perbedaannya dengan perbankan konvensional ternyata masih terus perlu dilakukan. Masih cukup banyak yang belum memahami secara baik perbedaan perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Tidak kalah banyak juga, masyarakat yang mengambil kesimpulan sendiri secara salah bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional hanya karena mendengarkan rumor dari seseorang yang tidak puas dengan pelayanan bank syariah, atau pernah merasakan pengalaman yang kurang baik berhubungan dengan bank syariah.


Proses edukasi ini perlu terus meneru dilakukan untuk memperbesar segmen pasar yang menjadi syariah loyalist dari waktu ke waktu. Hanya saja, karena strategi ini akan memberi manfaat bagi keseluruhan industri perbankan syariah, maka akan terlalu berat jika dilakukan oleh masing-masing bank. Karena hasilnya yang akan dinikmati bersama, upaya ini lebih sesuai kalau dilakukan secara bersama oleh industri melalui asosiasi atau bekerjasama dengan berbagai lembaga ketiga seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan berbagai Perguruan Tinggi yang mempunyai minat dalam pengembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.


Grand Strategy BI


Melihat berbagai hal di atas, maka grand strategy yang telah dirumuskan oleh Bank Indonesia untuk mengembangkan perbankan syariah menjadi sangat sejalan dan relevan. Dalam grand strategynya BI merumuskan lima hal. Pertama, program pencitraan baru perbankan syariah dengan menanamkan di benak masyarakat bahwa perbankan syariah "lebih dari sekedar bank" {beyond banking). Selain menawarkan jasa dan pelayanan perbankan secara umum, perbankan syariah menawarkan nilai-nilai yang lebih memenuhi rasa keadilan. Kedua, pengembangan segmen pasar sebagai reaksi terhadap kesan bahwa perbankan syariah hanya untuk konsumen muslim saja. Sistem perbankan syariah harus ditawarkan sebagai sistem Islam untuk untuk dunia yang dapat dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan.


Ketiga, pengembangan produk menjadi keniscayaan karena kepentingan nasabah di zaman globalisasi ini juga semakin kompleks. Ini merupakan tantangan tersendiri agar koridor syariah tidak dilanggar, tetapi jenis produk yang ditawarkan harus cepat berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat. Keempat, peningkatan pelayanan mau tidak mau harus dilakukan karena nasabah bukan lagi hanya mereka yang syariah loyalist. Nasabah perbankan syariah menjadi semakin elastis dengan batas pasar tidak hanya pada industri perbankan syariah. Kelima, sosialisasi dan komunikasi terhadap stakeholders untuk mengedukasi masyarakat akan nilai-nilai baru yang ditawarkan oleh perbankan syariah tanpa mengorbankan jasa pelayanan perbankan yang selama ini dibutuhkan masyarakat.


Idqan Fahmi, Dosen IE-FEM dan Program Pasacasarjana Manajemen dan Bisnis (MB) IPB

Klik suka di bawah ini ya