Ketika Wall Street Menceraikan Etika

Sejak September, aksi protes warga Amerika Serikat (AS) semakin agresif. Protes menentang sistem keuangan dan kebijakan Pemerintah AS kian meluas. Kemarahan warga atas terjadinya rebound di Wall Street yang tak diikuti dengan perbaikan tingkat pengangguran, menuai aksi demo yang terus bermunculan.


Krisis keuangan dunia secara maraton terus bermunculan sejak 2008. Kasus subprime mortgage, bangkrutnya bank-bank investasi besar, krisis utang, bailout, kegaduhan di pasar finansial, terus saja saling mengekor. AS dan Eropa yang menjadi barometer perekonomian dan keuangan dunia, kini terus menjadi bulan-bulanannya.


Yang menarik untuk disimak saat ini adalah aksi protes warga AS terhadap rebound di Wall Street yang terjadi di saat meningkatnya jumlah PHK di negara tersebut. Kebanyakan dari mereka meyakini bahwa pemerintah telah dikendalikan oleh bank dan korporasi-korporasi besar yang serakah sehingga mengabaikan kepentingan sebagian besar warga negaranya.


Ya, AS kini sedang menguji kesolidan sistem dan kebijakan ekonomi mereka yang selama ini menjadi jantung ekonomi dunia. Jika kekacauan ekonomi di Eropa banyak dipicu oleh krisis utang dengan rasio utang yang mencengangkan, yang belakangan terjadi di AS dipicu oleh krisis ketidakpercayaan akibat berbagai kecurangan dari pelaku ekonomi dan keuangan.


'Bush-Obama Paradox'
Pascajatuhnya sejumlah perusahaan investasi keuangan di AS pada 2008 lalu, Presiden Bush saat itu meminta kongres untuk menyetujui rencana penyelamatan sektor finansial bernilai 700 miliar dolar AS. Bush menyatakan, perekonomian dalam kondisi bahaya sehingga perlu intervensi pemerintah untuk menyelamatkannya. Upaya Bush mendapat banyak kritikan karena menyimpang dari ideologi pasar bebas yang dianut AS. Terlebih lagi, Bush dikenal memiliki keyakinan yang tinggi bahwa pasar bebas adalah sebuah prinsip moral yang harus diwujudkan karena merupakan hak asasi manusia dalam mencari kebebasan penghidupan.


Jika disimak, pasar bebas yang menjadi prinsip moral Bush sesungguhnya bertitik tolak dari paham Adam Smith yang mengasumsikan mekanisme permintaan dan penawaran mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand. Jika bertitik tolak dari paham ini, upaya Bush tersebut adalah paradoks.


Mengingat kehancuran pasar finansial di AS, 'Bush Paradox' ini sesungguhnya dapat dipahami. Pada titik inilah, Bush mungkin baru merasa pentingnya campur tangan pemerintah pada pasar meski hal itu bertentangan dengan paham yang ia anut.


Lebih jauh, Obama kemudian melanjutkan paradoks ini. Obama menggelontorkan dana untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada AS sebagai motor ekonomi dunia meski harus menanggung konsekuensi defisit anggaran yang besar. Berbagai program penanggulangan yang menghabiskan uang rakyat, yang kebanyakan berasal dari kelas menengah, nyatanya tak juga memulihkan perekonomian domestik. Yang ada, PHK terus menyebar ke penjuru negeri. Obama memang meminta pertanggungjawaban lembaga keuangan yang didonor pemerintah.


Obama mengingatkan, wajib pajak adalah yang paling dirugikan atas keruntuhan keuangan jika pelaku pasar memanfaatkan masa pemulihan untuk keuntungan pribadi. Sayang, aksi spekulan di Wall Street tampaknya tidak terbendung untuk mendapat untung berlipat setelah sebelumnya mengalami kerugian besar. Meski masalah krisis utang Eropa dan ketakutan resesi baru melanda AS terus menghantam bursa Wall Street dan tekanan jual membuat indeks saham utama tergerus, Wall Street masih mampu beberapa kali melanjutkan penguatannya. Hal inilah yang memicu kemarahan sebagian warga AS.


Mengawinkan etika di pasar keuangan
Fenomena yang berkembang dan berujung pada munculnya 'Bush-Obama Paradox' semakin menguatkan kita bahwa intervensi pemerintah dibutuhkan dalam pasar. Pasar bebas sejatinya bukan dimaknai sebagai terbukanya pasar tanpa batas dan dibiarkan mengatur dan memulihkan dirinya sendiri. Tidak bisa dimungkiri, pasar sesungguhnya sarat dengan berbagai ketidakmampuan. Kapitalis berpotensi besar untuk mengendalikan pasar sesuai dengan kepentingan. Kecurangan dan berbagai penyimpangan lain berpeluang besar untuk terjadi. Uang yang dijadikan bulan-bulanan komoditas dan spekulasi ternyata menyebabkan pasar tidak terkendali.


Sebagai suatu lembaga yang mempunyai kekuatan besar, daulat pasar dapat menggusur daulat rakyat. Semua manusia di dalamnya dianggap memiliki kekuatan yang sama. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis diarahkan untuk memenuhi keinginan para pemilik modal daripada kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Filsafat ekonomi kapitalisme menceraikan etika sehingga perilaku manusia hilang arah karena terdorong hasrat untuk menjadi greedy.


Sebagai sebuah norma yang tak tertulis, mengawinkan etika dengan pasar keuangan diharapkan dapat mengantar pelaku di dalamnya menghindari praktik-praktik yang menjatuhkan. Dengan etika pula, pelaku pasar diharapkan tidak lagi melakukan spekulasi yang secara nyata bersifat predatorik. Spekulasi inilah yang mengguncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu pula, jumlah uang yang beredar menjadi tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil karena adanya penghisapan. Sejalan dengan itulah, etika diharapkan dapat menjembatani sektor keuangan dan sektor riil untuk bertemu.


Dalam hal ini, jika kegiatan ekonomi dapat dikembalikan pada etika yang bersumber dari religi, keadilan akan lebih jelas. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan tidak lagi memfasilitasi pelaku yang menarik keuntungan dari mengomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, atau pasar modal. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan kelak hanya memfasilitasi ketersediaan dana untuk modal usaha melalui mekanisme yang benar. Dengan cara ini, sistem ekonomi yang bertumpu pada sinergi sektor riil dan keuangan akan berjalan mantap, tidak mudah goyang, atau digoyang seperti saat ini. Wallahu a'lam bish shawab.


Oleh: Khairunnisa Musari
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Islam Unair dan Peneliti Tamkin Institute


Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya