Muhammadiyah dan Kewirausahaan

Muhammadiyah merupakan salah satu ormas terbesar di Indonesia dengan sebaran umatnya di berbagai daerah. Oleh karena itu, pemberdayaan terhadap umatnya yang tersebar dan jumlahnya yang besar tentu menjadi sangat signifikan terhadap orientasi perubahan kesejahteraan, tidak hanya bagi umat Muhammadiyah, tapi juga bangsa dan negara.
Terkait hal ini, Rakernas I Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Muhammadiyah yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Solo pada 13-16 Mei 2011 lalu menjadi momentum untuk membangkitkan etos kewirausahaan dan pemberdayaan umat pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.


Implementasi di balik urgensi Rakernas I MEK tersebut tentu mengisyaratkan bahwa basis ekonomi kerakyatan merupakan sendi penting untuk mendukung pembangunan nasional. Meski di satu sisi, orientasi ekonomi kerakyatan tidak bisa lepas dari ancaman kapitalis dan globalisasi, di sisi lain basis ekonomi kerakyatan dengan peran koperasi masih diharapkan mampu memberikan andil terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran.


Jika dirunut ke belakang, sinergi antara Muhammadiyah dan NU sebagai ormas berbasis Islam yang sama-sama besar di Indonesia seharusnya mampu mereduksi berbagai persoalan ekonomi bangsa, termasuk misal terkait kemiskinan dan pengangguran.


Ironisnya, ternyata implementasi ekonomi kerakyatan masih jauh dari harapan. Bahkan kalau dicermati, banyak aturan main ekonomi kerakyatan yang justru dilecehkan demi kepentingan tertentu. Juga, tidak jarang dana-dana pengembangan untuk ekonomi kerakyatan justru dikorup dan koperasi pun dipelesetkan menjadi koperasi.


Berbagai temuan ini yang akhirnya mengharuskan Muhammadiyah untuk segera bertindak secara nyata. Alasannya, karena amal usaha Muhammadiyah adalah yang terbesar dan tersebar sehingga potensi itu harus dimanfaatkan, setidaknya untuk meningkatkan basis derajat untuk kepentingan masyarakat lokal terlebih dahulu.


Urgensi dari itu semua karena, menurut Din Samsyudin, bahwa peran Muhammadiyah dalam sektor perekonomian masih kalah dibandingkan sektor pendidikan dan kesehatan. Yang menyebabkan sektor ekonomi ini belum tergarap baik oleh Muhammadiyah, antara lain, karena para pedagang dan pengusaha yang semula adalah menjadi tulang punggung Muhammadiyah banyak yang tidak mampu bersaing dan terpuruk dengan pengusaha-pengusaha besar, termasuk konglomerat yang bermodal dan bermodel kapitalis.


Apalagi ditambah perhatian negara kian berkurang terhadap basis ekonomi kerakyatan dan kian berpihak pada penerapan kapitalisme global. Memang diakui, industrialisasi dan sistem kapitalis saat ini tidak bisa ditolak. Meski demikian, bukan berarti kemudian mematikan ekonomi kerakyatan dan pada akhirnya hal ini justru menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.


Oleh karena itu, tak ada alasan lagi bahwa Muhammadiyah dalam usianya yang seabad harus secepatnya bertindak demi kesejahteraan umat, termasuk salah satunya adalah menumbuhkembangkan kewirausahaan umat dan juga pemberdayaan umat. Bahkan, rumusan hasil Rakernas I MEK harus juga dipadankan dengan komitmen pemerintah untuk memacu industri kreatif.


Sejak 2008, pemerintah lewat Departemen Perdagangan melakukan roadshow penumbuhkembangan industri kreatif. Keyakinan tentang roadshow setidaknya melihat rangkaian seminar bertema industri kreatif yang dilaksanakan di sejumlah kampus. Yang menarik, di balik roadshow penumbuhkembangan industri kreatif, juga penerbitan buku Studi Industri Kreatif Indonesia sebagai hasil kerja Departemen Perdagangan sejak September 2007 lalu dalam memahami potensi ekonomi industri kreatif di Indonesia.


Dari pemahaman ini, jika Muhammadiyah bisa memetakan umatnya di berbagai daerah dengan semua potensi unggulan yang dimiliki, termasuk basis perekonomian yang mengacu pada kearifan lokal, bukan tidak mungkin akan semakin banyak lagi ditemukan wirausahawan-wirausahawan baru. Benih-benih wirausahawan ini juga harus diberdayakan agar tidak sekarat digempur globalisasi.


Kekhawatiran tersebut tentu sangat beralasan sebab dari kasus realisasi ACFTA saja ternyata banyak produk UKM dan produk-produk dalam negeri yang kalah bersaing dari produk made in Cina yang memiliki keunggulan kompetitif melalui harga yang murah karena tarif tenaga kerja mereka lebih murah. Artinya, Rakernas I MEK tidak hanya merumuskan potensi kewirausahaan dari umat Muhammadiyah, tapi juga harus mampu membina dan memberdayakan benih-benih wirausahawan yang tercipta.


Setidaknya, agar mereka bisa eksis dan mandiri, baik di lingkup lokal, regional, maupun nasional. Satu wirausahawan yang mampu tumbuh dari umat Muhammadiyah diyakini mampu menularkan virus kewirausahaan di tingkat ranting, cabang, dan wilayah. Bahkan, hal ini juga sangat dimungkinkan untuk menular secara nasional.


Terlepas dari peran penting pertumbuhan wirausahawan melalui berbagai kegiatan kewirausahaan, yang pasti, Muhammadiyah berkepentingan untuk juga turut andil menciptakan ratusan, bahkan ribuan wirausahawan baru tersebut. Hal ini sangatlah dimungkinkan karena umat Muhammadiyah terbesar dan tersebar.


Oleh karena itu, pemetaan harus dilakukan agar umat Muhammadiyah yang berpotensi diberdayakan dan dibina melalui kegiatan kewirausahaan dapat terus dilakukan, termasuk menyinkronkan dengan industri kreatif. Selain itu, era otda yang menuntut adanya daya saing berdampak pada keberadaan wirausahawan dan industri kreatif di daerah secara tidak langsung juga dapat merealisasikan target produk unggulan daerah.


Edy Purwo Saputro, Dosen Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)
Republika

Klik suka di bawah ini ya