Ekonomi Islam Substantif

Ada sesuatu yang menarik tatkala kita menyimak diskusi dan gumulan pemikiran para ekonom negeri ini. Iman Sugema yang representasi oposan pemerintah dalam hal kebijakan ekonomi yang diambil, tidak jarang menyuarakan pendapat yang sesungguhnya ‘bertemu muka’ dengan prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam. Misalnya, kerap saat otoritas moneter membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI, ia malah mengkritik dan cenderung lebih setuju pemikiran bunga nol persen. Demikian pula tokoh Faisal Basri. Saat berkomentar dan melakukan analisis ekonomi, ia tidak jarang melontarkan pendapat yang sejatinya adalah ruh ekonomi Islam. Umpamanya saat ia mencela pasar uang yang terlalu spekulatif sehingga kemudian menyebabkan kekacauan ekonomi, bahkan krisis. Padahal bunga nol persen dan larangan spekulasi mata uang adalah termasuk ajaran ekonomi Islam yang pertama.

Maka, hipotesis awalnya ialah: peta ‘isme’ ekonomi saat ini sedang berkontraksi antara tesis lama dengan antitesisnya, kemudian menyintesis dan bergerak menuju sebuah tesis baru -meminjam logika dialektika Hegelian. Pertanyaan bijaknya adalah, apakah tesis baru itu? Kemungkinan keduanya adalah bisa jadi terdapat irisan –baik sedikit atau banyak- antara paham/ideologi ekonomi yang satu dengan yang lain. Sebutlah misalnya kapitalisme dengan ekonomi Islam bersepaham dan beririsan sebesar 10 persen dalam hal kebebasan pasar dan tidak bolehnya intervensi yang menyebabkan market failure. Atau ekonomi Islam yang beriris dengan sosialisme dalam segi wajibnya pemerintah mengayom seluruh penduduk, terutama rakyat yang berkekurangan (proletariat) dan perlunya dana sosial untuk memback up kemiskinan. Dari sisi ini, nampaknya perlu penelaahan lebih mendalam.


Yang hendak kita diskusikan di sini adalah tentang dimanakah letak isme-isme ekonomi berada? Apakah ada kemungkinan terjadi irisan satu sama lainnya, dan jika ya, seberapa besarkah irisannya itu? Betulkah 10 persen, atau mungkin jauh lebih besar hingga setengahnya?

Hal ini urgen untuk diketahui. Karena penulis berpendapat tidak semua hal dalam ekonomi konvensional (baca: kapitalisme dan sosialisme sebagai dua titik ekstrem) itu salah dan perlu dikoreksi. Ada sisi-sisi baik dari keduanya. Katakanlah kapitalisme berbudi atau sosialisme baik hati. Atau sebut saja kapitalisme plus moral dan sosialisme yang beretika. Tapi, mungkinkah itu?

Formalisasi Ekonomi Islam
Tulisan ini tidak sedang berbicara bahwa tak apalah anda berekonomi dengan name tag dan istilah apapun, asalkan substansinya adalah Islam. Bukan pula menegasi formalisasi ekonomi Islam seperti apa yang dilakukan oleh kalangan substansialis. Tidak nian. Di sini justru hendak menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, prinsip dan teori-teori ekonomi semakin berunifikasi, menuju ke arah yang sama. Sehingga kini, semakin menjadi teranglah, mana teori yang salah dan terbukti gagal serta mana ‘ekonomi sejati’ itu.

Memang, masalahnya saat ini adalah -merujuk pendapat Adiwarman Karim- ‘mobil ekonomi Islam’ yang sudah lurus dan benar arah jalannya itu, tidak kunjung berjalan. Beda hal dengan kapitalisme yang mobilnya jalan terus, meskipun salah jalan dan tak tahu arah tujuan. Meskipun ‘mentok-mentok’ dan ‘nabrak sana-sini’ bahkan sudah ‘penyok’, ia tetaplah berjalan dan berupaya mencari arah yang dituju sehingga ada semacam trial error. Ada langkah coba-coba sebelum mencapai tujuan ‘kesejahteraan’. Maka alangkah baiknya andai saja mobil yang sudah berada ‘on the track’ itu, berupaya sekuat tenaga untuk tancap gas, melewati mobil yang lain dan tiba di tujuan kesejahteraan dengan selamat.

Kapitalisme dapat dikatakan sebagai “ekonomi coba-coba”. Ketika kebebasan menjadi ruh kapitalisme, maka ruang eskperimen terbuka luas. Logika-logika rasional kemudian bersintesis dengan landasan filosofis salah seperti asumsi bahwa pemenuhan keinginan manusia tak harus dibatasi (greedy). Hasilnya, “percobaan” tersebut menghasilkan beberapa sisi positif yang pada hakikatnya sejalan dengan “sunatullah ekonomi” semisal efisiensi dalam pasar yang bebas. Plus sisi-sisi negatif yang berasal dari ketamakan manusia itu sendiri. Sehingga, eksistensi kapitalisme murni bersumber pada intelektualisme pengusungnya dan menjadi rapuh ketika ia beroperasi tanpa batas.

Tesis Muhammad Abduh
Ala kulli hal, secara substansi, ekonomi Islam terbukti paling compatible dengan alam. Premis ini semakin presisif jika kita melihat kebisuan ekonomi Kapitalisme menjawab tantangan krisis global saat ini. Maka muncul kesimpulan sementara: ekonomi apapun namanya, saat ia eksis dan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat dunia dan sustainabilitas alam semesta, hampir dipastikan sesungguhnya dia sedang beririsan dengan ekonomi Islam. Jangan sampai malah kita tersindir oleh ujaran Muhammad Abduh: “Aku melihat Islam di Barat tapi tidak melihat muslimun disana. Sebaliknya, Aku melihat banyak muslimin di Timur, tapi sedikit sekali melihat Islam disana”. Sehingga, menemukan dan mendeskripsikan “irisan-irisan” antara “isme-isme” yang ada dengan ekonomi Islam menjadi sebuah kerja intelektual selanjutnya. Dan Allahlah Yang Maha Tahu atas segala.

Klik suka di bawah ini ya