Uang, Kapitalisme, dan Islam

Ada tiga anggapan orang terhadap uang. Pertama, orang yang menganggap bahwa uang hanya sebagai alat untuk menilai sesuatu dan sebagai alat tukar, tidak lebih. Anggapan ini membuahkan dampak bahwa uang dari waktu ke waktu tidak berubah nilainya kecuali ada perubahan kebijakan nilai nominal. Jika pada hari ini uang Rp 50 ribuan ditanyakan pada sepuluh masa yang akan datang akan tetap dijawab tetap sebesar Rp 50 ribuan. Uang tidak mempunyai nilai yang berfluktuasi, berubah setiap saat. Inflasi dan deflasi hanya disebabkan oleh hukum penawaran dan permintaan akan barang dan jasa.


Kedua, uang dapat sebagai komoditas yang dapat dijualbelikan. Misalnya, membeli barang atau jasa dari negara lain yang berbeda uangnya, maka uang yang dimiliki harus ditukarkan dengan uang asing tersebut. Tukar-menukar uang asing ini dapat dijadikan usaha untuk menambah jumlah uang. Anggapan ini memiliki dampak terjadinya proses jual-beli (money changing). Ketiga, uang adalah komoditas yang pasti dapat dijualbelikan di mana saja dan kapan saja. Anggapan ini mempunyai dampak bahwa uang yang keluar harus kembali dengan nilai yang lebih.


Pandangan kapitalisme
Kapitalis adalah pemilik modal atau orang yang memiliki uang. Ia akan berusaha untuk mengembangkan jumlah uangnya. Ada dua cara pengembangan uang yang dilakukan oleh kapitalis. Pertama, mengembangkan jumlah uang melalui investasi; kedua mengembangkan jumlah uang melalui pinjam-meminjam uang.


Orang yang hanya berorientasi sebagai kapitalis akan selalu berusaha dengan cara apa pun secara legal agar modal yang dimilikinya berkembang. Jika ini diterapkan dalam konsep pinjam-meminjam uang, kapitalis menerapkan kelebihan uang dari nilai yang dipinjamkan. Kelebihan ini sering disebut dengan bunga. Kapitalis akan berusaha membuat legal melalui negosiasi dengan regulator dalam suatu negara, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, dan operasional seperti bank sentral. Di negeri ini sangat kentara sekali adanya keberpihakan regulasi terhadap pengamanan modal para kapitalis.


Ada tiga teori yamg mendasari kapitalisme tentang uang, yaitu teori moneter klasik yang mengangggap uang merupakan alat tukar dan alat untuk menilai sesuatu. Kedua, teori Keynesian yang menambahkan bahwa uang juga berfungsi sebagai alat untuk berjaga-jaga, dan ketiga teori rime value of money yang mengasumsikan bahwa uang mempunyai nilai mendatang. Nilai uang sekarang tidak sama dengan nilai mendatang.


Ketiga teori ini memberikan panduan bahwa uang yang dimiliki harus dapat berkembang dengan prinsip "memperoleh keuntungan dengan risiko paling rendah, bahkan jika memungkinkan zero risk. Untuk ini, kapitalisme menerapkan sistem bunga sebagai alat untuk menjustifukasi keuntungan yang rendah risiko. Bunga dikategorikan sebagai cost of money atau cost of fund, artinya biaya terhadap uang uang dikeluarkan menjadi loan.


Kapitalisme berasumsi bahwa uang adalah komoditas yang dapat dijualbelikan sehingga harus dikelola seperti mengelola barang dan jasa. Pengelolaan uang membutuhkan biaya dan dapat diperhitungkan keuntungan dari haasil pengelolaannya berupa bunga (interest).


Pandangan Islam
Uang dalam Islam pada mulanya dicerminkan dalam dirham sebagai alat tukar dan alat nilai, kemudian berkembang menjadi uang emas dan perak dengan nama dinar (negara Arab). Uang dan fungsinya sebagai alat tukar dan alat nilai dikemukakan juga oleh Ibn Khaldun dan al-Ghazali.


Cendekiawan kontemporer, Choudhury (Kanada), juga berpendapat bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan pengukur nilai suatu harta. Pandangan ini memberikan panduan bahwa uang tidak mempunyai nilai spekulatif dan tidak menganggap adanya time velue of money sehingga uang akan tetap mempunyai nilai nominal saja walaupun diedarkan melalui utang piutang. Tidak ada cost of money dan tidak ada kelebihan atau pengurangan dari nilai nominal.


Dalam perspektif Islam, nilai uang nilai nominal kapan pun digunakan, tidak lebih dan tidak berkurang kecuali ada penggantian regulasi karena adanya perubahan nilai nominalnya. Jumlah uang yang dimiliki dapat berkembang (dalam pandangan Islam) hanya dapat dilakukan jika dikonversikan dengan barang dan atau jasa.


Kedua pandangan di atas memiliki kesamaan bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar dan alat nilai, namun perbedaan yang mendasar dalam dua hal. Pertama, dalam Islam tidak mengakui teori spekulasi dan time value of money yang memunculkan apa yang disebut dengan bunga. Kedua, dalam Islam uang tidak dapat bertambah jumlahnya oleh dirinya sendiri, namun harus melewati perdagangan barang dan jasa. Apakah pertambahan jumlah uang akibat bunga itu riba?


Ada kesamaan bunga dan riba,bahkan dengan laba, yaitu sejumlah nilai yang melebihi nilai yang di korbankan. Namun, Islam melarang riba dan menghalalkan profit . Sekilas pandang tidak terjadi perbedaan antara bunga dan riba; keduanya mencerminkan keuntungan dalam mengelola uang. Perbedaan ini yang menyinyalir bahwa perdagangan seperti riba Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Bunga bukanlah profit yang diperoleh dari perdagangan barang dan jasa.


Peredaran uang tidak terlepas dari masalah bank, baik sebagai lembaga usaha maupun regulator dan kontrol. Bank komersial dalam Islam hanya berfungsi sebagai lembaga yang diberikan amanat untuk menyimpan uang (wadi'ah/wakilah) dan  mengonversinya dalam bentuk investasi di sektor usaha perdagangan dan jasa dan tidak menyalurkan uang dalam bentuk kredit/pinjaman yang berbunga.


Uang di bank dijadikan modal untuk usaha perdagangan dan jasa yang dilakukan oleh pihak lain yang lebih profesional, baik dalam bentuk mudharabah, atau musyarokah. Uang bukanlah mesin uang, namun uang dapat digunakan sebagai alat untuk menumbuhkembangkan sektor riil.


Bank dapat menjadikan uang sebagai komoditas manakala penyaluran dan pengembalian simpanan atau investasi dalam bentuk mata uang yang berbeda. Bank sentral akan berfungsi sebagai regulator dan pengawas peredaran uang agar terjadi stabilitas perekonomian makro. Peran bank hanya dapat dijalankan melalui peraturan perundangan sebagaimana keberlakuan uang.


Sistem uang dijalankan berdasarkan mekanisme regulasi, tidak berdasarkan mekanisme pasar karena uang tidak dibutuhkan oleh kebutuhan jasmani dan rohani jika tidak ada keabsahan dari hukum yang berlaku. Begitu pula adanya usaha di bidang perbankan dapat berjalan karena adanya hukum dan regulasi.


Oleh: Mursyidi, Dosen Keuangan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya