Dalam proses amendemen Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kini draf rancangannya sedang dalam pembahasan akhir di DPR dan ditargetkan selesai pada 2010, salah satu isu krusial yang mengemuka adalah wacana zakat sebagai pengurang pajak (tax credit). Wacana ini mengundang perdebatan hangat, manfaat dan biaya dari wacana ini banyak diulas, namun belum terlihat pilihan kebijakan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada.
Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan dalam UU No. 38/1999 sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Namun terlihat jelas bahwa masuknya insentif pajak dalam UU Zakat ini tidak melibatkan otoritas pajak. Ketika Departemen Keuangan setahun kemudian mengajukan draf revisi RUU PPh, sama sekali tidak ada ketentuan yang mendukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR.
Undang-Undang No. 17/2000 mengukuhkan UU No. 38/1999, yaitu zakat yang diterima Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan mustahik tidak termasuk sebagai obyek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan wajib pajak (WP) orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Namun zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasikan tiga tahun kemudian setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003. Dalam prakteknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzakki gagal mendapatkan Bukti Setor Zakat dari BAZNAS sebagaimana diminta aparat pajak.
Eksperimen menarik terjadi di Aceh. Melalui UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan dikelola secara terpisah oleh Baitul Mal Aceh dan baitul mal kabupaten/kota, serta zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak. Dengan kata lain, zakat telah menjadi tax credit di Aceh. Namun hingga kini ketentuan ini tampak belum diakomodasi Dirjen Pajak sehingga tidak dapat diimplementasikan.
Pengalaman terkini
Lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak kembali terulang ketika Departemen Keuangan dan DPR mengukuhkan ketentuan lama perihal zakat sebagai tax deduction pada UU No. 17/2000 ke dalam UU No. 36/2008 tentang PPh. Departemen Agama, yang sejak 2008 telah memiliki wacana zakat sebagai tax credit dalam draf amendemen UU No. 38/1999, terlihat sama sekali tidak dilibatkan. Yang terjadi adalah, Departemen Agama kembali potong jalur dengan memasukkan ketentuan zakat sebagai tax credit dalam RUU Zakat yang menjadi RUU Prioritas 2009, namun gagal diselesaikan oleh DPR periode 2004-2009 dan kini kembali dibahas DPR periode 2009-2014.
Seolah menafikan wacana zakat sebagai tax credit yang kini sedang menghangat perdebatannya dalam pembahasan RUU Zakat di DPR, pemerintah mengeluarkan PP No. 60/2010 sebagai amanat UU No. 36/2008, yang menegaskan bahwa zakat hanya sebagai tax deduction, dan fasilitas ini hanya berlaku bagi zakat yang disalurkan melalui BAZ/LAZ resmi yang disahkan pemerintah.
Semua pengalaman ini secara jelas memperlihatkan lemahnya koordinasi antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak juga tidak berjalan dengan baik. Relasi pajak-zakat dibangun di rezim undang-undang nonperpajakan dan tanpa melibatkan otoritas pajak. Hal ini diganjar dengan lemahnya penegakan relasi zakat dan pajak di lapangan. Kegagalan eksperimen zakat sebagai tax credit di Aceh dan keluarnya PP No. 60 Tahun 2010 di tengah proses pembahasan RUU Zakat secara jelas memperlihatkan resistensi otoritas pajak terhadap wacana zakat sebagai tax credit. Untuk mencegah terulangnya upaya fait accompli, pemerintah juga kini menyertakan otoritas pajak sebagai mitra DPR dalam pembahasan RUU Zakat.
Kelemahan kerangka regulasi dan institusional zakat nasional semakin memperburuk relasi zakat-pajak ini. Hingga kini terdapat ketidakjelasan otoritas zakat. Dunia zakat nasional juga tidak memiliki tata kelola yang baik. Posisi tawar dunia zakat pun menjadi lemah di depan otoritas pajak. Dari pengamatan cepat, pelaksanaan zakat sebagai tax deduction sendiri terlihat banyak kelemahan, seperti zakat sebagai tax deduction hanya berlaku pada zakat atas penghasilan, BAZ/LAZ yang diakui oleh aparat pajak di tingkat teknis-operasional umumnya hanya BAZNAS, serta dugaan bahwa WP cenderung tidak meng-exercise fasilitas ini karena tidak seimbang antara benefit dan cost.
Arah ke depan
Zakat sebagai tax credit diperkirakan akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki untuk menunaikan kewajibannya. Fasilitas ini juga dianggap akan memberi dampak positif terhadap kepatuhan membayar pajak. Namun proposal ini tidak dipersiapkan dengan baik. Dalam semua draf RUU Zakat yang ada, tidak ada satu pun pasal yang berbicara tentang otoritas pajak dalam kaitan zakat sebagai pengurang pajak. Padahal wacana zakat sebagai tax credit mensyaratkan adanya koordinasi yang kuat antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga terbawah.
Zakat sebagai tax credit juga diperkirakan akan berdampak signifikan pada penerimaan perpajakan. Diterimanya wacana zakat sebagai tax credit, dan di saat yang sama juga dilakukan equal treatment terhadap sumbangan keagamaan wajib lainnya, akan menurunkan penerimaan perpajakan dalam negeri, yaitu penerimaan PPh nonmigas, sebesar penerimaan zakat nasional dan penerimaan sumbangan keagamaan wajib nasional lainnya.
Selain itu, implementasi zakat sebagai tax credit akan menimbulkan restitusi pajak yang proses administrasinya rumit dan potensial untuk disalahgunakan. Dengan kelemahan tata kelola dunia zakat nasional saat ini, zakat sebagai tax credit akan menjadi eksperimen yang terlalu berisiko bagi dunia zakat nasional yang kini sedang berkembang pesat.
Ke depan, wacana yang harus lebih dikedepankan adalah menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak-zakat nasional dengan tujuan jangka pendek untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction. Di saat yang sama, dunia zakat nasional sebaiknya berkonsentrasi pada perbaikan tata kelola yang baik (good governance) di internal dunia zakat nasional dengan membentuk otoritas zakat yang kuat dan kredibel. Upaya penting lain di sini adalah konsolidasi BAZ/LAZ yang saat ini jumlahnya terlalu banyak, dalam rangka mendorong transparansi dan kredibilitas dunia zakat nasional.
Wacana yang juga perlu dikedepankan adalah bahwa insentif untuk meningkatkan kinerja zakat nasional tidak harus selalu berupa insentif kepada muzakki, terlebih ketika insentif berupa zakat sebagai tax credit memiliki potensi negatif terhadap stabilitas keuangan negara dan distribusi pendapatan.
Wacana alternatif yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah integrasi zakat dalam pembangunan dengan mendorong kemitraan strategis pemerintah dan BAZ/LAZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat miskin. UU Zakat harus mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan.
Kemitraan pemerintah-BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant), dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi BAZ/LAZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.
Yusuf Wibisono, Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI
Sumber: Tempo Interaktif