A. PENDAHULUAN
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh umat Islam dalam rangka memenuhi kebutuhan umat akan pendidikan dan sekaligus sebagai sumber pengkaderan pemimpin umat yang dikenal dengan sebutan ulama. Karenanya, pondok pesantren sering juga diidentifikasi sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam. (Dawam Rahardjo, 1985)
Orientasi pendidikan di pondok pesantren yang pada awalnya hanya ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin), kini mengalami diversifikasi. Sebagian pesantren masih konsisten dengan tafaqquh fiddin dan sebagian lainnya mengembangkan pendidikan madrasah atau sekolah umum sebagai upaya adaptif terhadap perubahan lingkungan masyarakat yang dihadapinya. Dalam hal ini, pesantren jenis pertama sering disebut dengan pesantren salafiyah, dan yang kedua dikategorikan sebagai ashriyah/khalafiyah.[1] Selain itu terdapat pula pondok pesantren yang menggabungkan kedua model tersebut. Oleh Departemen Agama dikategorikan sebagai pondok pesantren tipe kombinasi.
Seiring dengan era di mana globalisasi tak bisa dihindarkan, pondok pesantren mau tidak mau dituntut untuk senantiasa beradaptasi dengan lingkungan. Namun di sisi lain, pondok pesantren tidak meninggalkan prinsip-prinsip inti yang menjadi identitasnya. Di samping itu, hubungan “mutualisma” antara institusi pesantren dengan pihak luar –baik masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini- harus terus diperbaiki kualitasnya. Penelitian ini akan mencoba menelisik beberapa hal yang berkaitan dengan diskursus di atas, yakni: bagaimana bentuk utuh lembaga pendidikan tradisional keagamaan bernama pesantren, di Indonesia. Begaimana pula hubungan pesantren dengan entitas di sekitarnya, termasuk peranan pemerintah dan beberapa hal penting yang dapat menjelaskan tentang modal sosial-ekonomi pesantren.
Penelitian yang menjadikan Pesantren Cipasung sebagai objeknya ini, menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam melakukan penelitian ini, pertama-tama peneliti mendatangi Pondok Pesantren Cipasung yang beralamat di jalan Ruhiat No.1 Dusun Cipasung, Desa Cipakat RT 02 RW 07, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, dan langsung melakukan wawancara dengan Ketua Yayasan Cipasung, KH. Dudung Abdul Halim, MA. Berturut-turut kemudian melakukan wawancara dengan dua orang pengajar dan lima santri. Wawancara-mendalam (indepth interview) sempat dilakukan peneliti dengan Kang Zenal Muttaqin, ketua bagian administrasi pesantren yang juga sebagai staf pengajar, selama sekitar dua hingga tiga hari. Dari tanggal 21 Agustus hingga 5 September, dilakukan survey dan wawancara dengan 65 orang responden rumah tangga –baik 35 orang yang berdomisili di sekitar pesantren maupun 30 lain yang berada di luar kecamatan. Melalui bantuan salah seorang ustadz pesantren, peneliti berhasil mencari data yang cukup banyak tentang pimpinan pesantren, KH. Moh. Ilyas Ruhiat. Peneliti juga melakukan kajian pustaka dengan membaca beberapa buku tentang Cipasung.
B. MENGENAL CIPASUNG: PAPARAN DESKRIPTIF
Pondok Pesantren Cipasung terletak di Kampung Cipasung RT 02 RW 07 Desa Cipakat Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Cipasung adalah kampung mungil seluas 4 Ha., ukuran yang tidak seberapa jika dibanding luas Desa Cipakat yang mencapai 321,585 Ha. Masuk dalam Pedukuhan IV RW VII, Cipasung terbagi dalam 4 RT dan dikelilingi kampung-kampung kecil lainnya. Dua puluh langkah dari rumah pengasuh pesantren ke arah utara, sudah masuk kampung Selebu. Lima puluh langkah ke arah timur sudah menginjak wilayah Cipeundeuy. Seratus langkah ke selatan bertemu dengan batas Gunung Jati. Di sebelah barat daya berbatasan dengan Gandok, dan di barat dengan Babakan Sindang serta barat laut dengan Lembur Gunung. Kampung-kampung itu mengepung Cipasung dan menempatkannya sebagai sumber spiritual. Sejak pesantren berdiri tahun 1931 hingga tahun 2007, kampung Cipasung hampir seluruhnya sudah menjadi milik pesantren atau keluarga pesantren. Perluasan area pesantren yang kini mencapai 10 Ha.,[2] melebar dan meluas ke kampung-kampung di sekitarnya.
Cipasung adalah satu dari sembilan belas kampung yang ada di Desa Cipakat. Cipakat adalah salah satu desa penghasil ikan mas, nila, dan gurame di wilayah Singaparna. Kecamatan ini sejak lama dikenal sebagai pusat penjualan ikan. Cipakat termasuk area dataran rendah dengan tinggi 125 meter di atas permukaan air laut. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cilampunghilir Kecamatan Padakembang. Sebelah selatan dengan Desa Sukarame Kecamatan Sukarame. Di arah timur berbatasan dengan Kecamatan Cintaraja. Dan sebelah barat bersinggungan langsung dengan Desa Sukamulya Kecamatan Sukamulya.[3]
Dari arah Tasikmalaya, Desa Cipakat terletak pada 1 km sebelum ibukota kecamatan. Desa ini tergolong ramai, karena jalan propinsi yang beraspal mulus melintasi wilayahnya sepanjang 2,5 km. Angin di daerah ini berhembus semilir bak lazimnya kebanyakan pedesaan di Jawa. Tidak kencang atau deras. Tanahnya berjenis pasir dan berbukit-bukit kecil. Belum ditemukan ada bahan tambang di dalamnya. Sumber airnya berasal dari sumur yang tidak pernah kering sepanjang waktu. Di musim kemarau, air sungai berkurang, tapi tak pernah sampai kekeringan. Tiada danau dan air terjun, melainkan hamparan sawah dan kolam yang membawa ketenangan bagi siapa saja yang memandang. Tidak ada hutan dan perkebunan, tapi tak pernah ada banjir atau erosi tanah. Hujan turun selama 11 bulan dengan curah hujan tertinggi pada Bulan Oktober yang bisa mencapai volume debit air hingga setinggi 655 inchi. Sementara, antara Bulan Juli-September hanya mencapai 10 inchi. Garapan sawah menghasilkan tak kurang dari 2 ton padi tiap hektar per musim.[4]
Desa Cipakat terdiri atas lebih kurang 11 RW dan 37 RT dengan sedikitnya 19 buah dusun/kampung, yakni: Badak Paeh, Rujak Gedang, Lembur Gunung, Borolong, Kudang, Cisaro, Borondong, Babakan Sindang, Selebu, Cihaur, Leuwi Tugu, Cipeundeuy, Cipasung, Gunung Jati, Gandok, Rancamaya, Kokol, Cimunding, dan Babakan. Tiga buah sungai membelah desa dan mengairi pesawahan seluas 204 Ha., dan kolam seluas 15 Ha., yakni Sungai Cipakat, Cisaruni, dan Sungai Sosopan Badak Paeh.
Menurut Ade Gani, Kepala Desa Cipakat yang berhasil kami wawancarai (tertanggal 22 Agustus 2007, bertempat di kantor desa), luas areal Desa Cipakat seluruhnya adalah 321,585 Ha., dengan jumlah populasi lebih kurang 7000 jiwa. Terdapat sedikitnya 11 buah pesantren berukuran kecil, sedang, hingga besar yang seluruhnya berafiliasi pada organisasi kemasyarakatan (ormas) Nahdlatul Ulama. Sekitar 86% dari jumlah penduduk (+/- 6000 jiwa) adalah anggota ormas tradisional tersebut, dan 4% lainnya (+/- 300 jiwa) konon adalah anggota fanatik JAI, Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Institusi dan lembaga pendidikan di Desa Cipakat, termasuk yang banyak dan relatif lebih maju, dibandingkan dengan desa lain di kecamatan yang sama. Lembaga-lembaga tersebut adalah: TK PGRI, SD Borolong 1-2, SD Sukasenang 1-4, SMP Al-Muqawwamah, dan tentunya “sekolah-sekolah Cipasung” dengan berbagai jenjang dan tingkatnya yang terdiri atas: TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP Islam, Madrasah Tsanawiyyah (MTs), Madrasah Aliyah Negeri (MAN), SMA Islam, Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), Sekolah Tinggi Teknik Cipasung (STTC), dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cipasung (STIEC).
Di samping lembaga-lembaga pendidikan yang tertera di atas, terdapat pula beberapa organisasi non-pemerintahan (LSM) dan organisasi kepemudaan. Mereka itu antara lain: Komunitas Azan, sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang seni dan kebudayaan, pimpinan Acep Zamzam Noor (putera sulung pimpinan Ponpes Cipasung, Ajengan Ilyas Ruhiat). Nahdina, satu lembaga pemberdayaan masyarakat yang bergerak di bidang pengembangan pemikiran dan pemberdayaan ekonomi yang dinakhodai Ida Nurhalida, anak kedua Kiai Ilyas. Dan Puspita, sebuah NGO yang mencoba menjadikan pesantren sebagai basis perlindungan kekerasan terhadap kaum perempuan. Yang terakhir ini dipimpin oleh puteri bungsu Kiai Ilyas, Enung Nursaidah Rahayu dibantu sang suami, dr.Jajang Rudi Haman. Selain LSM-LSM tersebut di atas, di Desa Cipakat terdapat pula organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Yang pertama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan yang lainnya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di samping tentunya organisasi non-pemerintah utama, Yayasan Cipasung.
Adapun jika dilontarkan pertanyaan, apa sajakah fasilitas umum yang dapat diakses masyarakat yang ada di desa? Beberapa fasilitas seperti pasar harian, bank, kredit mikro, dan warung internet sudah ada. Meskipun fasilitas lain seperti: rumah sakit, klinik, pasar mingguan, kantor pos, dan bioskop, belum tersedia.
Sejarah Singkat Pondok Pesantren Cipasung[5]
Pondok Pesantren Cipasung didirikan tahun 1931 M oleh almarhum KH. Ruhiat. Mulanya, santri yang menetap di pesantren ini berjumlah 40 orang, yang sebagian besar berasal dari Pesantren Cilenga, tempat Abah Ruhiat mondok. Selain itu ada juga santri ‘kalong’, yakni mereka yang ikut mengaji pada malam hari saja, tanpa menetap di pondok. Umumnya mereka berasal dari kampung-kampung sekitar Cipasung. Pada tahun 1935, didirikan sekolah agama (Madrasah Dinniyah) untuk membina anak-anak usia muda. Tahun 1937 didirikan KKM (Kader Mubalig dan Musyawirin) sebagai wadah pelatihan dakwah dan musyawarah bagi santri dewasa.
Melihat kemajuan pesantren yang baru berumur jagung ini, penjajah Belanda sangatlah khawatir kedudukannya akan terganggu. Maka pada 1941, KH. Ruhiat ditangkap bersama KH. Zainal Musthafa dan ditahan di penjara Sukamiskin selama 53 hari. Namun seiring dikalahkannya Belanda oleh Jepang, maka pada tanggal 9 Maret 1942 beliau dan sepuluh kiai lainnya, dibebaskan.
Pada zaman pendudukan Jepang, pendidikan untuk santri puteri mengalami kemajuan, sehingga pada 1943 didirikanlah kursus Muballighah, sebagai wadah pelatihan berpidato bagi para santri puteri. Lantas, pada masa “pemberontakan Sukamanah” yang dikomandoi KH. Zainal Musthafa (sekitar 1944), Abah Ruhiat dan beberapa kiai lainnya ditangkap dan ditahan di penjara Tasikmalaya selama dua bulan. Pada saat itu, pengajian dijalankan oleh KH. Saeful Millah (menantu Abah Ruhiat) dan KH. Bahrum.
Cobaan pun kembali menerpa Cipasung. Saat situasi keamanan belum sepenuhnya stabil pasca kemerdekaan, terutama kala agresi militer Belanda II dilancarkan (1949), Ruhiat dan tiga orang santrinya yang sedang shalat Ashar, diberondong timah panas pasukan keji Belanda. Berkat pertolongan Yang Maha Kuasa, Abah Ruhiat selamat. Namun malang, dua santrinya, Abdurrazak dan Makmun, gugur sebagai syuhada.
Setelah Kiai Ruhiat ditahan Jepang selama lebih kurang 9 bulan dan dibebaskan pada 27 Desember 1945, perkembangan Pesantren Cipasung lebih pesat dari sebelumnya. Pada 1950 didirikan Sekolah Pendidikan Islam (SPI) yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), tahun 1953. Tahun 1954 didirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang dalam perkembangannya berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah.
Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pada 1959 didirikan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI). Tanggal 25 September 1965 dibuka Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung. Di tahun yang sama, dirintis pula Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) Sunan Gunung Djati cabang Cipasung, yang kemudian pada 1978 diubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung. Sebagai ikhtiar untuk mengikat dan mewadahi semua kegiatan Pesantren Cipasung, maka pada tahun 1967 dibentuklah Yayasan Pondok Pesantren Cipasung dengan akta notaris No. 11 tahun 1967.
Tahun 1977 adalah tahun kesedihan bagi Cipasung. Tepatnya tanggal 28 Nopember 1977 atau bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397 H, pendiri Ponpes Cipasung wafat. Abah Ruhiat meninggalkan 2 orang isteri dan 19 orang anak. Untuk meneruskan perjuangan Abah, salah seorang puteranya, Moh. Ilyas Ruhiat, dikukuhkan sebagai pemegang tampuk pimpinan Pondok Pesantren Cipasung.
Di masa ajengan baru, KH. Moh. Ilyas Ruhiat, Cipasung menjadi lebih ‘harum nan wangi’ lagi. Berturut-turut, tahun 1982 didirikan Biro Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (BP2M) dengan akta notaris No.45, Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Cipasung yang mampu menyabet gelar koperasi pesantren teladan dari pemerintah, hingga Fakultas Syariah sebagai pelengkap Fakultas Tarbiyah yang sudah ada sebelumnya –kemudian menjadi Institut Agama Islam Cipasung (IAIC).
Di tahun 90-an, inovasi, kreasi dan perkembangan kelembagaan Cipasung belum berakhir. Tanggal 1 Januari 1992 didirikan Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Cipasung. Tahun 1997 dirintis Sekolah Tinggi Teknik Cipasung (STTC), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (1999), program Pasca Sarjana UII Jogjakarta kelas khusus (2000), hingga yang pamungkas untuk menampung anak-anak pra-sekolah, pada tahun 2003 lalu, didirikanlah TK Islam Cipasung.
C. TENTANG MODAL SOSIAL DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
Pesantren Cipasung dan Program Pemberdayaan Masyarakat
Setidaknya ada empat tolak ukur dalam melihat program pemberdayaan masyarakat di pesantren. Pertama, penerimaan gagasan. Pesantren Cipasung, melalui Ajengan Ilyas, termasuk pesantren perintis yang menerima gagasan pengembangan masyarakat via pesantren. Kedua, kemampuan membangun jaringan. Sejumlah program pengembangan masyarakat di Cipasung bisa melibatkan sejumlah pesantren lain di sekitar Tasikmalaya, lebih khusus lagi di daerah Singaparna. Maka tak heran, seorang “Cipasungis”, Iip D. Yahya, menyebut Pesantren Cipasung sebagai “Pusat Satelit”. Ketiga, prestasi yang dihasilkan. BP2M atau kepanjangan dari Biro Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat, meraih Kalpataru pada tahun 1980 untuk program air bersih, dan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Cipasung menjadi koperasi teladan tingkat Jawa Barat, saat dipimpin oleh Aep Syaepudin, salah seorang kepercayaan Ajengan Ilyas. Dan keempat, kesinambungan program tidak berlangsung mulus. Hal ini disebabkan karena santri senior kerap dianggap pesaing oleh sebagian keluarga pesantren, sehingga pengembangan kelembagaan BP2M dan Kopontren Cipasung yang menjadi urat nadi program pengembangan masyarakat sekitar, berhenti di tengah jalan.
Problem pengembangan masyarakat di Cipasung bersumber dari dualisme pandangan. Ajengan Ilyas menilai bahwa Pesantren Cipasung sudah saatnya bergerak ke luar, karena itu berbagai program perlu diujicobakan dan dikembangkan. Sementara saudara-saudaranya menganggap bahwa belum waktunya pesantren melangkah ke luar membangun masyarakat. Sebaliknya, pesantren harus membina dirinya sendiri terlebih dahulu.
Ajengan Ilyas terbukti gagal menjaga kesinambungan BP2M dan Kopontren, tetapi ia tidak begitu saja menyerah. Karena adik-adiknya kurang berminat pada program pengembangan masyarakat sementara santri senior yang terlibat dianggap sebagai pesaing, maka Ajengan Ilyas berkonsentrasi mengkader anak-menantunya. Lama setelah BP2M dan Kopontren bubar, sesudah anak-menantunya siap, sejumlah lembaga pemberdayaan masyarakat berdiri di luar struktur Yayasan Cipasung. Semua anak-menantunya terlibat. Pasangan Acep-Euis mengelola Komunitas Azan yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Pasangan Ida-Chobir melalui Nahdina dan Koperasi STTC bergerak pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan ekonomi. Pasangan Enung-Jajang bergelut pada Puspita, yang mencoba menjadikan pesantren sebagai basis perlindungan kekerasan atas kaum perempuan. LSM yang dikelola anak-menantunya itu kini diperhitungkan sebagai model atau percontohan di tingkat nasional dan internasional. Pada 15 Maret 2006, Puspita Cipasung dikunjungi oleh pejabat UNFPA dan executive board UNFPA, UNICEF, WFP, dan UNDP dari PBB. Menurut UNFPA, model Puspita akan direplikasi di negara-negara lain yang menjadi anggota PBB.
Relasi dengan Pemerintah
Relasi pesantren dengan pemerintah secara umum berlangsung baik-baik saja. Hal itu tidak lantas membuat Cipasung dengan mudah disebut “pesantren pemerintah”. Mendukung pemerintah bagi pesantren adalah bagian dari mengisi kemerdekaan. Dan kemerdekaan Indonesia adalah suatu hasil puncak yang sudah diperjuangkan para ulama terdahulu. Maka tak heran bila faktanya, tidak sedikit lulusan Cipasung yang menjadi PNS, menduduki jabatan pemerintahan, ataupun menjadi politisi.
Akan tetapi jika keadaan menuntut untuk bersikap kritis terhadap pelaksanaan pemerintahan, maka pesantren tak segan-segan melakukannya dengan segala resiko. Ini terbukti ketika pada masa Orde Lama, Ajengan Ilyas berani mengoreksi pidato Bung Karno yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI. Ia mengoreksi pidato penganugerahan Doktor kehormatan dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Dakwah dari IAIN yang diterima Bung Karno yang berjudul “Temukan Kembali Api Islam” yang menyatakan agar kalangan umat Islam “melepaskan diri dari jiwa pesantren”. Selain itu pada era Orde Baru, Cipasung dengan lugas menolak kehendak pemerintah melalui MUI untuk memberi fatwa sesat terhadap organisasi Darul Arqam. Padahal ketika itu, Ajengan Ilyas sendiri termasuk salah satu Ketua MUI Pusat.
Dibalik kekritisan Cipasung, tak jarang pula pesantren berbasis kuat NU di Tasikmalaya ini mendukung program pemerintah yang dipandang baik. Perlu diketahui bahwa Pesantren Cipasung termasuk as-sabiqunal awwalun pendukung program Keluarga Berencana (KB) yang digulirkan pemerintah. Di lingkungan NU sendiri, program itu diwadahi dalam Lembaga Keluarga Kemaslahatan (LKK). Pesantren tidak memandang KB sebagai cara untuk membatasi kelahiran, tetapi untuk mengatur dan menjarangkan kelahiran. Sebab jika pengertiannya membatasi, itu memang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan mengatur kelahiran, diharapkan ada peningkatan di bidang kualitas manusianya, supaya mereka berkualitas dalam pendidikan, akhlak, agama, dan ekonominya.
Cipasung tak punya target politik tertentu. Namun mencari peluang bagaimana agar kemaslahatan masyarakat dan Islam lebih terakomodasi dalam kebijakan pemerintah. Hubungannya dijalin secara sederhana. Untuk program yang dinilai baik, pesantren tanpa ragu akan mendukungnya, sebaliknya jika ada kebijakan yang menyimpang, pesantren tak segan untuk mengkritik dan berbeda pendapat.
Menjadi Pusat Satelit Pesantren Lain
Beberapa saat setelah berlangsungnya Muktamar NU XXIX di Cipasung pada tahun 1994, jumlah santri membludak hingga tak lagi tertampung. Ini menjadi berkah tersendiri bagi pesantren Cipasung. Kala itu SMAI Cipasung menerima 20 kelas untuk satu angkatan dan jumlah mahasiswa IAIC melonjak tajam. Walhasil, sesuai hukum supply and demand, berdirilah sejumlah pesantren kecil di sekitar Cipasung. Mulanya, hanya sekadar menampung limpahan santri yang tak terwadahi di Pesantren Cipasung, tapi lambat laun menjadi pesantren yang mandiri. Mereka telah menjadi semacam pesantren satelit bagi Cipasung.
Seiring dengan perkembangan pesat Pesantren Cipasung, perhatian terhadap masyarakat sekitar dirasakan berkurang. Konsentrasi para pengelola pesantren sudah banyak tersedot oleh kegiatan internal dan eksternal. Oleh karenanya, keberadaan pesantren-pesantren satelit itu amat membantu menggarap tugas sosial yang terlepas akibat kemajuan yang dialami. Ajengan-ajengan baru itulah yang mengajar alip-alipan untuk anak-anak kampung, membimbing mereka shalat lima waktu, dan membiasakan berakhlak mulia. Mereka telah membantu mengambil alih sebagian kewajiban moral-sosial Pesantren Cipasung yang paling utama.
Dengan hadirnya pesantren satelit itu, Cipasung tetap menjadi “pasung”, menonjol ke atas tetapi tetap berpijak kuat pada pondasi kokoh di delapan penjuru angin. Ada Ajengan Oban pengasuh Pesantren Nurul Hasanah di Selebu, Ajengan Solihin pengasuh Pesantren Riyadus Sholihin di Cihaur, Ajengan Oman di Pesantren Riyadlul ‘Ulum dan Ajengan Tatang Setiawan di Pesantren An-Nisa Cipeundeuy, Ajengan Emuh di Pesantren Nurul Huda Gandok, Ajengan Kholis di Lembur Gunung, hingga Ajengan Aziz di Pesantren Manarul Irsyad di Borolong. Sejumlah pesantren lain juga berdiri di kampung yang agak berjauhan dengan Cipasung namun masih di wilayah Desa Cipakat.
D. BEBERAPA CATATAN KHUSUS
Pokok-Pokok Kebijakan Pesantren
Untuk menjaga efektivitas kepemimpinannya, selaku pengasuh pesantren Ajengan Ilyas menetapkan 9 pokok kebijakan yang menjadi acuan bagi seluruh pengelola pesantren. Di antara kebijakan yang paling pokok ialah: Senantiasa memelihara persatuan dan kesatuan, dan berusaha mencari jalan damai jika ada perbedaan pendapat. Jika tak dapat dikompromikan lagi maka diusahakan agar bisa bersatu dalam keadaan berbeda itu.
Sungguh menarik, bahwa konflik manusiawi itu tidak dihindari tapi dikanalisasi. Kebijakan juga sekaligus menjadi semacam rule of the game atau garis demarkasi di antara pengelola pesantren Cipasung. Selengkapnya, 9 kebijakan pesantren Cipasung itu adalah sebagai berikut:
1. Segala pengabdian semata-mata hanya karena Allah swt.,
2. Mempunyai niat baik untuk tercapainya ‘izzul Islam wal Muslimin,
3. Senantiasa komitmen dengan tujuan pendiri Pondok Pesantren untuk menjadikan PP Cipasung tetap berperan sepanjang masa,
4. Senantiasa melaksanakan tri darma Pondok Pesantren yang terdiri dari: (a) Peningkatan keimanan dan ketakwaan pada Allah, (b) Pengembangan ilmu yang bermanfaat, (c) Pengabdian kepada masyarakat,
5. Dalam mengambil keputusan, senantiasa dilakukan musyawarah untuk mufakat,
6. Dalam menghadapi tugas/pekerjaan, senantiasa diadakan pembagian tugas yang jelas dan penempatan petugas sesuai keahlian dan kemampuannya,
7. Senantiasa memelihara persatuan dan kesatuan, dan berusaha mencari jalan damai jika ada perbedaan pendapat,
8. Jika perbedaan itu tak dapat dikompromikan lagi maka diusahakan agar bisa bersatu dalam keadaan berbeda itu, dan
9. Faktor pengkaderan senantiasa mendapat perhatian khusus, untuk menjaga kelangsungan Pondok Pesantren.
Ahmadiyah yang Juga Kerabat
Ada yang menarik jika secara seksama kita amati Desa Cipakat di mana Pesantren Cipasung berada. Menurut hasil wawancara dengan Ade Gani, Kepala Desa yang menjabat, dan beberapa tokoh masyarakat setempat, bahwa ternyata di samping kaum tradisionalis yang mengakar –dalam hal ini ormas NU- ada pula golongan lain yang mendiami Cipakat. Mereka adalah penganut paham Ahmadiyah. Selidik punya selidik, ternyata penganjur pertama Ahmadiyah Qadiyan itu bernama Uwen Juansyah yang tak lain dan tak bukan adalah paman dari Ajengan Ilyas sendiri. Hingga sekarang, keluarga Uwen tetap menjadi penganut Ahmadiyah, namun karena terikat tali kekerabatan sesama turunan Abdul Ghofur (kakek Ajengan Ilyas), tidak pernah terdengar perselisihan yang berarti antara keluarga Uwen dengan yang lain. Khususnya dengan keluarga Ruhiat. Mereka dapat saling menghargai perbedaan pilihan masing-masing. Islam memang mengajarkan nilai toleransi tinggi. Tidak kemudian akibat perbedaan yang ada menjadi biang permusuhan.
Intrik Politik Cipasung
Maret 1986 adalah bulan paling berat dalam keberadaan Cipasung. Pemilu 1987 menjadi gara-garanya. Hingga saat itu, sebagai pesantren yang terbilang besar di Jawa Barat, Cipasung belum menyatakan dukungannya kepada Golkar secara eksplisit dan terang. Dan itu rupanya yang membuat gerah pihak Golkar. Golkarisasi di Jawa Barat sejak 1971, yang dikenal dengan proyek buldozer, dianggap belum afdol tanpa bergabungnya Cipasung. Orang politik rupanya tak cukup puas dengan dukungan Ajengan Ilyas terhadap Konsep Kembali ke Khittah 1926 yang dideklarasikan dalam Munas NU 1983. Konsep itu secara implisit sebenarnya menguntungkan Golkar karena warga NU dilepaskan keterkaitannya dari PPP. Golkar ingin dukungan terhadapnya dilakukan sejelas dan sedemonstratif mungkin.
Karena yakin Ajengan Ilyas tak mungkin secara sukarela melakukan hal itu sekalipun ada iming-iming materi, maka dibuatlah suatu “perangkap”. Satu peluang yang dipandang bisa dijadikan jalan ialah rencana pengembangan IAIC melalui pembangunan Masjid Amal Bhakti Pancasila. Dalam pertemuan teknis dengan Bupati, Ketua DPRD dan Kakandepag Tasikmalaya, Ajengan Ilyas mulai menyadari bahwa dirinya “terperangkap”. Di depan seluruh tamu undangan yang dihadiri santri, alumni, dan ulama se-Jawa Barat saat peresmian Mesjid Amal Bhakti, Ajengan Ilyas harus menyatakan dukungan untuk Golkar dalam Pemilu 1987.
Peristiwa golkarisasi itu dilukiskan sebagai kiamat kecil di Cipasung. Keluarga Cipasung hingga saat itu memang masih menjadi pendukung setia PPP, termasuk ibunda Ajengan Ilyas. Ibu Aisyah khawatir, Cipasung akan bernasib sama dengan Pesantren Cibeas yang setelah resmi bergabung dengan Golkar, kemudian ditinggalkan oleh sebagian besar santrinya. Ia khawatir Cipasung akan menjadi “bekas pesantren”, sesuatu yang diwanti-wanti jangan sampai terjadi oleh suaminya, Abah Ruhiat.
E. EPILOG
Fenomena Sakitnya Kiai, Matahari Kembar, hingga Regenerasi yang Mampet
Pada Bulan Maret 2003, Ajengan Ilyas terkena gejala stroke dan penyempitan pembuluh jantung. Daya hidupnya yang tinggi membuat dokter dapat bekerja maksimal. Ajengan Ilyas berangsur sembuh. September 2003 ia menjalani operasi katarak mata di RS Mata Cicendo Bandung. Dan terbilang berhasil. Namun, Bulan April 2004 ia kembali terkena serangan jantung dan stroke ringan. Berulang kali keluar-masuk rumah sakit, tetapi daya hidupnya tak pernah padam.
Di usianya yang ke-73, tubuh Ajengan Ilyas memang tampak ringkih dan lemah. Meski demikian ia masih menunjukkan kepercayaan diri yang tak surut. Namun pertanyaan berikut ini seakan telah menjadi rahasia umum, siapakah yang akan menggantikan Ajengan Ilyas Ruhiat kelak? Ihwal inilah yang kerap menjadi isu aktual di Cipasung. Apalagi setelah pada Februari 2006 lalu Ajengan Ilyas kembali masuk rumah sakit. Menurut sumber yang terpercaya, soal regenerasi ini bagi Ajengan Ilyas tidak terlalu merisaukan. Toh masih banyak adik-adik hingga anak-menantunya yang sedia menggantikan posisinya. Sejak awal katanya, kepemimpinan Cipasung adalah kolektif. Artinya semuanya bisa berjalan seperti biasa meski tanpa kehadiran sang kiai. Ajengan Ilyas percaya bahwa di tengah konflik psikologis yang manusiawi antara dia dengan adik-adiknya, sebenarnya terjalin suatu kehangatan persaudaraan. Terbukti dalam karirnya di NU selama tujuh tahun, ditambah MUI Pusat dan DPA, hanca pengajiannya di Cipasung selalu ada yang menggantikan. Sikap adik-adiknya yang merasa sama-sama sebagai anak Abah Ruhiat, justru membuat Ajengan Ilyas semakin ringan menjalani amanat kepemimpinan Cipasung. Kini semua adiknya sudah siap, jadi tak ada alasan baginya untuk khawatir.[6]
Dengan keberhasilan mengembangkan lembaga pendidikan bersama adik-adik dan anak-menantunya, tak berlebihan jika Ajengan Ilyas masih menyimpan satu harapan: berdirinya Universitas Cipasung. Jika para pelanjut Cipasung nantinya tetap dapat mempertahankan semangat kerja Ajengan Ilyas, perwujudan harapan itu hanyalah tinggal menunggu waktu. IAIC kini telah memiliki empat fakultas: tarbiyah, syariah, ushuluddin dan dakwah. Selain itu telah didirikan pula STTC dan STIEC.
Sementara harapan Ajengan Ilyas untuk mendapatkan penerus di bidang kajian agama, kini tertumpu pada cucu-cucunya. Ia percaya teks dalam kitab Ta’lim Muta’allim, yang menjelaskan bahwa seseorang yang bersungguh-sungguh mencintai dunia ilmu pengetahuan, Allah akan menjadikannya seorang cerdik pandai. Jika bukan dirinya maka anaknya, jika bukan anaknya maka cucunya yang akan “jadi”. Ajengan Ilyas pun kerap berdoa, agar dari sekian jumlah cucunya, ada yang meneruskan jejaknya sebagai kiai pesantren dan berkhidmah bagi umat.
Tetapi, lain halnya dengan masyarakat sekitar Cipasung. Sebagai bagian dari komunitas yang bangga dengan keberadaan Cipasung, mereka ikut pula membicarakan “di belakang”, mencoba memprediksi siapa yang bakal jadi panutan mereka ke depan. “Yang penting akhlaknya seperti Pak Ilyas,” kata seorang sesepuh di kampung sekitar Cipasung. “Soal lainnya diperhitungkan belakangan.” lanjutnya kemudian, “Tapi siapa ya? Kami juga bingung!”
[1] Abdul Aziz Al-Bone, Pesantren Salafiyah: Pergulatan Spiritual dan Pencerdasan Bangsa, 2006.
[2] Berdasarkan hasil wawancara dengan Kang Zaenal Muttaqin, ustadz sekaligus kepala bagian kesekretariatan Ponpes Cipasung.
[3] Lihat peta Desa Cipakat, pada lampiran.
[4] Iip D. Yahya, Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan 1, 2006, hal. 21-22.
[5] Lihat Tadzkirat, Buku Panduan Ponpes Cipasung, 2007.
[6] Hasil perbincangan dengan seorang santri senior Cipasung.
(Tulisan ini adalah Laporan Hasil Penelitian penulis pada tahun 2007 bersama Lembaga Riset InterCAFE, FEM IPB)