Akhir-akhir ini kita semua tersentak mendengar dan membaca berbagai pemberitaan di media massa tentang Indonesia yang konon katanya sebagai negara penghasil beras, ‘lumbung padi’ yang cukup besar. Negara dengan kekayaan alam yang sangat melimpah, ditambah dengan predikat sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, kini sebagian rakyatnya ternyata masih banyak yang mengalami kekurangan gizi ‘malnutrisi’ atau busung lapar.
Sebuah paradoks memang. Namun hal ini setidaknya menggambarkan kepada kita bahwa selama ini kekayaan atau harta yang ada masih terkonsentrasi pada sebagian orang kaya saja. Dengan kata lain telah terjadi distorsi distribusi pada harta. Persaudaraan dan kasih sayang masih hanya sebagai wacana publik belaka tanpa realisasi. Jiwa-jiwa Umar bin Khattab yang selalu berkeliling melakukan ronda malam guna memastikan seluruh rakyatnya tidur dalam keadaan sudah terpenuhinya hak mereka dan dengan rela memanggul sendiri gandum ketika didapati ada rakyatnya yang belum makan, sepertinya belum tertanam dan terbentuk pada spirit penguasa sang pemegang amanah di negeri ini.
Tidak diragukan lagi bahwa busung lapar, malnutrisi, atau apapun namanya adalah akibat dari kemiskinan di mana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) mereka sendiri karena daya beli yang mereka miliki sangat rendah.
Lantas sebagai saudara mereka, apakah kita akan selamanya diam, hanya mencela dan menyalahkan ini semua pada kemalasan mereka sehingga mereka miskin? Atau kita menyalahkan sepenuhnya pada para tetangga sekitar yang tak acuh atas nama dogma agama yang memang telah memvonis mereka (tetangga yang tak acuh pada kemiskinan tetangganya) sebagai orang-orang yang belum sempurna keimanannya tanpa adanya tindakan nyata dari kita sendiri? Ataukah kita hanya bisa mencibir pemerintah yang menyatakan penyakit ini sebagai kejadian luar biasa?
Tidak salah jika agama Islam telah memperingatkan umatnya agar harta kekayaan jangan hanya beredar pada sebagian orang kaya saja. Karena memang beragam permasalahan sosial maupun ekonomi berpangkal dari tidak lancarnya distribusi harta ini. Salah satunya adalah problematika merebaknya penyakit busung lapar ini. Itulah mengapa prinsip distribusi kekayaan dalam ekonomi Islam adalah pemerataan pendapatan walaupun bukan berarti mesti sama rata. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya: “Supaya harta itu jangan hanya beredar pada sebagian orang kaya di antara kalian”.
Salah satu upaya Islam dalam pemerataan pendapatan adalah dengan adanya ajaran zakat. Di mana dalam harta kekayaan si kaya terdapat hak yang harus ditunaikan kepada fakir miskin dan beberapa golongan yang berhak menerimanya. Dengan adanya zakat (yang diambil dari golongan kaya dan dibagikan kepada orang-orang miskin) diharapkan tidak hanya dapat membersihkan harta dan jiwa muzakki dari sifat kikir dan terlalu cinta dunia serta membersihkan si mustahik dari sifat iri, dengki atas kekayaan saudaranya, tetapi juga mampu memberikan pengaruh secara ekonomi. Mengapa? Karena dengan lancarnya skema dan syariat zakat, akan menambah pendapatan masyarakat sehingga apa yang dinamakan dalam istilah ekonomi dengan MPC (marginal propensity to consume) atau ’tambahan alokasi pendapatan untuk konsumsi’ masyarakat miskin akan meningkat pula. Implikasinya, daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan sendirinya akan meningkat. Bukankah dengan satu ajaran saja Islam telah memberikan solusi yang tepat dan efektif?
Namun kenyataan menunjukkan bahwa belum sepenuhnya masyarakat muslim sadar akan kewajiban zakat. Meninggalkan kewajiban ini tidak membuat perasaannya bersalah dan tidak tenang sebagaimana ketika dia meninggalkan shalat. Padahal kedudukan antara keduanya adalah sama. Banyak ayat Alquran yang menggandengkan dua kewajiban ini dalam satu paket ayat. Oleh karena itulah, khalifah Abu Bakar Shiddiq sangat keras kepada orang yang tidak mau membayar zakat. Seperti tercermin dalam pernyataannya: “Demi Allah aku tidak akan memisahkan sesuatu yang telah Allah dan Rasulnya satukan” (maksudnya zakat dan shalat).
Busung lapar merupakan fenomena yang ditimbulkan oleh rendahnya daya beli masyarakat tertentu sebagai akibat adanya ketimpangan ekonomi sehingga dalam sistem pasar bebas –pasar yang dibentuk berdasarkan mekanisme harga yakni melalui jumlah permintaan dan penawaran, kelompok ini akan terpinggirkan karena tidak memiliki daya beli yang memadai.
Untuk mengatasi hal ini selayaknya pemerintah sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs fulfillment) rakyatnya harus mengupayakan agar daya beli masyarakat terutama pada kebutuhan pokok dapat tetap terjaga sehingga dapat dengan mudah masuk keluar pasar.
Dalam hal ini, khalifah Umar bin Khattab telah mengajarkan kepada kita melalui jejak sirahnya. Beliau pernah mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan kupon dan membagikannya kepada golongan masyarakat yang ketika itu sebagian masyarakat mengalami tingkat daya beli yang sangat rendah dan tidak mampu membeli kebutuhan pokok. Saat itu terjadi kenaikan harga gandum yang sangat tajam, dan meski Umar telah menerapkan kebijakan impor untuk menurunkan harga, masyarakat tetap tidak mampu untuk membelinya. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan tersebut (menerbitkan kupon) untuk menaikkan daya beli masyarakat miskin. Itulah komitmen seorang Umar bin Khattab, komitmen yang seharusnya dimiliki pula oleh para pemegang amanah kekuasaan dalam hal menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat yang dipimpinnya.
Pemerintah juga dalam hal ini bisa melakukan upaya lewat pasar itu sendiri, sebagaimana yang diusulkan oleh ahli ekonomi Islam Bangladesh, M.A. Mannan. Menurutnya, pemerintah dapat mengenakan zero to ‘N’ pricing untuk barang dan fasilitas publik. Yang dimaksud dengan zero to ‘N’ pricing adalah penerapan harga yang berbeda-beda untuk sasaran konsumen serta jumlah barang dan jasa yang berbeda-beda (Hendrie Anto, 2003). Atau dalam istilah ekonomi konvensional dikenal dengan istilah diskriminasi harga (price discrimination).
Kebijakan ini diterapkan guna mewujudkan komitmen Islam terhadap pemerataan dan keadilan terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin ketika disparitas (jurang perbedaan) pendapatan si kaya dan si miskin cenderung lebar dengan menerapkan harga khusus pada barang-barang dan jasa publik yang vital seperti listrik, air, susu bayi, obat-obatan serta kebutuhan pokok lainnya.
Dengan adanya upaya optimalisasi zakat di atas, perhatian pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang adil, baik langsung ataupun melalui sektor pasar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia, diharapkan kasus-kasus yang bertitik tolak dari adanya kemiskinan serta distorsi distribusi dalam harta kekayaan ini dapat diantisipasi dan dicegah kemunculannya kembali di masa mendatang.
Akhirnya, marilah kita semua sebagai umat Islam untuk lebih mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri sendiri. Bukan hanya perkataan namun berupa tindakan nyata yang saudara kita butuhkan. Banyak jalan kebaikan jika memang zakat belum mampu kita tunaikan. Pintu infak, sedekah masih terbuka lebar. Mari kita ubah preferensi konsumsi kita dengan tidak hanya mempertimbangkan want (keinginan) yang cenderung dikuasai nafsu tetapi harus berdasarkan need (kebutuhan) yang benar-benar kita butuhkan sehingga tidak terjerumus dalam lembah tabdzir. Dan hanya kepada Allah lah segala permasalahan dikembalikan. Billahi taufik wal hidayah.
(Artikel dalam Buku Ekonomi Islam Substantif, penulis Atep Firmansyah)