Perkembangan Pasar Sukuk: Perbandingan Indonesia, Malaysia dan Dunia

Abstract

The growth of sukuk in Indonesia is relatively slow compare to the global trend of sukuk. Even this country have potential market and awareness to develop Islamic economic system. This paper tries to analyze the growth of sukuk market in Indonesia, comparing with Malaysia and global Islamic bonds using descriptive statistic. This research also tries to find some problems of developing sukuk in Indonesia and the solution that might put.

Keywords: Obligasi Syariah, Pasar Modal Islam, Perkembangan Sukuk



I.   PENDAHULUAN
Konsep keuangan berbasis syariah Islam dewasa ini telah diterima secara luas di dunia dan telah menjadi alternatif baik bagi pasar yang menghendaki kepatuhan syariah (syariah compliance), maupun bagi pasar konvensional sebagai sumber keuntungan (profit source). Diawali dengan perkembangan yang pesat di negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara,  produk keuangan dan investasi berbasis syariah Islam saat ini telah diaplikasikan di pasar-pasar keuangan Eropa, Asia, bahkan Amerika Serikat. Selain itu, lembaga-lembaga yang menjadi infrastruktur pendukung  keuangan Islam global juga telah didirikan, seperti Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution (AAOIFI), International Financial Service Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Islamic Research and Training Institute (IRTI).
Salah satu instrumen keuangan syariah yang telah diterbitkan baik oleh negara maupun korporasi adalah sukuk atau obligasi syariah. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony Anhalt-Jerman. Penerbitan sukuk negara (sovereign  sukuk) tersebut biasanya ditujukan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan bendungan, unit pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan menggunakan  sukuk  dengan  jangka waktu pendek (Islamic Treasury Bills) yang juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang (Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, 2008).
Perkembangan sukuk di dunia dimulai dengan penerbitan sovereign sukuk, namun pada tahun-tahun berikutnya sukuk korporasi (corporate sukuk) lebih mendominasi. Data Standard & Poor’s Reports (2008) menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sovereign sukuk masih mendominasi pasar sukuk global yaitu sebesar 42% dan sukuk yang diterbitkan oleh lembaga keuangan sebesar 58%. Namun pada tahun 2007, justru sukuk korporasi yang mendominasi pasar sukuk global, yaitu sekitar 71%, lembaga keuangan 26%, dan pemerintah tinggal 3%. Umumnya, penerbitan sukuk korporasi ditujukan untuk ekspansi usaha, terutama oleh perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara (Malaysia).
Di Indonesia, sukuk korporasi lebih dikenal dengan istilah obligasi syariah. Pada tahun 2002, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah. Sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas, pada Oktober 2002 PT. Indosat Tbk mengeluarkan obligasi syariah yang pertama kali di pasar modal Indonesia dengan tingkat imbal hasil 16,75%, imbal hasil ini cukup tinggi dibanding rata-rata return obligasi konvensional. Pada akhir tahun 2008, sedikitnya telah ada 23 perusahaan yang telah menerbitkan obligasi syariah di Indonesia. Emiten penerbit obligasi syariah tersebut berasal dari beragam jenis usaha, mulai dari perusahaan telekomunikasi, perkebunan, transportasi, lembaga keuangan, properti, sampai industri wisata.
Walaupun dipandang sangat potensial dan prospektif, perkembangan obligasi syariah di Indonesia dapat dikategorikan sangat lambat. Total emisi hingga pertengahan 2008 baru mencapai lima triliun rupiah lebih ($500 juta). Dibandingkan dengan Malaysia yang pada pertengahan 2007 saja telah membukukan total emisi RM 111,5 miliar ($33 miliar). Menurut Achsien (2004), banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan obligasi syariah di Indonesia, diantaranya adalah sosialisasi kepada investor, opportunity cost, aspek likuiditas, sampai regulasi atau perundang-undangan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1.    Bagaimanakah perkembangan pasar obligasi syariah (sukuk) di Indonesia, jika dibanding dengan negara tetangga Malaysia dan pasar global secara umum?
2.    Instrumen  sukuk, baik yang diterbitkan oleh perusahaan (corporate sukuk) maupun oleh negara (sovereign sukuk)  berkembang sangat pesat di dunia. Namun, mengapa perkembangan sukuk di Indonesia sangat lambat? Walaupun selama ini Indonesia dianggap sebagai pasar potensial untuk pengembangan industri keuangan syariah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana penulis memperoleh data dari buku, jurnal, paper, surat kabar, atau publikasi lainnya. Sedangkan data-data kuantitatif yang disajikan dalam penelitian ini merupakan data-data sekunder yang penulis peroleh dari publikasi institusi-institusi terkait.

II. GAMBARAN UMUM SUKUK
2.1 Definisi Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat (note). Menurut Udovitch dalam Adam (2006, hal. 57), penggunaan kata tersebut dapat ditelusuri pada literatur Islam klasik, terutama pada aktivitas perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan bersamaan dengan kata hawalah (transfer/pengiriman uang) dan mudharabah (aktivitas bisnis persekutuan). Sejumlah penulis sejarah perdagangan  Islam dari barat menyimpulkan bahwa kata-kata Sakk merupakan kata dari suara latin “Cheque” atau “Check” yang biasa dikenal dalam perbankan modern.  Dalam pengertian praktis, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh maupun proporsional dalam sebuah atau sekumpulan aset (Hakim, 2005).
Sukuk sebagai produk keuangan Islam sering disejajarkan dengan obligasi (bond) walaupun memiliki karakteristik yang agak berbeda. Menurut Adam (2006, hal. 63), sukuk memiliki sifat-sifat umum yang membuatnya memiliki kualitas yang sama dengan produk keuangan konvensional lainnya, seperti dalam tabel berikut:

Tabel 2.1. Karakteristik Umum Sukuk
Dapat diperdagangkan (Tradable)
Sukuk mewakili pihak pemilik aktual dari asset yang jelas, manfaat asset, atau kegiatan bisnis, dan dapat diperdagangkan menurut harga pasar (market price)
Dapat diperingkat (Rateable)
Sukuk dapat diperingkat oleh Agen Pemberi Peringkat, baik regional maupun Internasional.
Dapat ditambah (Enhanceable)
Sebagai tambahan terhadap asset yang mewadahinya (underlying asset) atau aktivitas bisnis, sukuk dapat dijamin dengan jaminan (collateral) lain berdasarkan prinsip syariah.
Fleksibilitas Hukum (Legal Flexibility)
Sukuk dapat distruktur dan ditawarkan secara nasional dan global dengan perlakuan pajak yang berbeda.
Dapat ditebus (Reedemable)
Struktur pada sukuk memungkinkan untuk dapat ditebus.
Sumber: Adam (2006)

          Kemudian jika dibandingkan dengan beberapa instrumen keuangan konvensional, sukuk memiliki beberapa perbedaan seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.2. Perbandingan Sukuk dengan Produk Konvensional
PEMBANDING

SUKUK
Obligasi
Surat obligasi murni mewakili hutang kepada penerbit
Sukuk mewakili pihak yang memiliki asset yang ber-wujud atau jelas, kegitan ekonomi dan jasa.
Saham
Saham  mewakili pihak yang  memiliki seluruh perusahaan
Sukuk diterbitkan oleh perusahaan akan menunjukkan kepemilikan atas asset, proyek, jasa, dan kegiatan tertentu terkait perusahaan.
Produk Derivatif
Produk derivatif mewakili turunan berganda dari kontak yang berbeda yang dibuat berdasarkan kontrak dasar utama.
Sukuk hanya berhubungan dengan satu kontrak dan memelihara kesinambungan aset sepanjang waktu.
Sekuritisasi
Sekuritisasi secara umum berhubungan dengan peng-ubahan pinjaman dan berbagai jenis tagihan menjadi sekuritas yang dapat dipasarkan melalui penggabungan pinjaman menjadi satu kesatuan kemudian menjual kepe-milikannya.
sukuk adalah sertifikat dengan nilai yang sama yang mewakili bagian kepemilikan yang sepenuhnya terhadap aset yang tangibel, manfaat dan jasa, kepemilikan aset atas suatu proyek, atau kepemilikan dalam aktivitas investasi khusus (Standar AAOIFI)

Sumber: Adam (2006)

          Menurut Accounting and Audition Organization for Islamic Finance Institution (AAOFI), sukuk adalah sertifikat dengan nilai yang sama yang mewakili bagian kepemilikan yang sepenuhnya terhadap aset yang tangibel, manfaat dan jasa, kepemilikan aset atas suatu proyek, atau kepemilikan dalam aktivitas investasi khusus.
 Di Indonesia, pada awalnya penggunaan istilah sukuk hanya populer dikalangan akademisi, sukuk lebih dikenal dengan istilah Obligasi Syariah. Namun, sejak peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM)  No.IX.13.A  mengenai Penerbitan Efek Syariah dan ditetapkannya UU. No.19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, istilah sukuk menjadi lebih sering digunakan.
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional tahun 2004, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip Syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Dalam Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Sukuk didefinisikan sebagai Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: (1) kepemilikan aset berwujud tertentu; (2) nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi  tertentu; atau (3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.

Sumber : Global Research-GCC  (2008)
Gambar 2.1. Struktur Dasar Sukuk

          Beberapa karakteristik sukuk yang menjadi pembeda dengan obligasi konvensional antara lain: 1) Merupakan bukti kepemilikan atas aset yang berwujud atau  hak  manfaat; 2) Pendapatan dapat berupa imbalan,  fee, bagi hasil, atau margin, sesuai dengan akad yang dipakai pada penerbitan sukuk; 3) Mensyaratkan adanya aset yang mewadahinya (underlying aset); 4) Tidak mengandung unsur riba, maisyir, dan gharar; 5) Dalam penerbitannya, memerlukan peran Special Purpose Vehicle (SPV).

Tabel 2.3. Perbandingan Sukuk dan Obligasi
Deskripsi
Sukuk
Obligasi
Penerbit
Pemerintah dan korporasi
Pemerintah dan korporasi
Sifat instrument
Sertifikat kepemilikan / penyertaan atas suatu asset/ investasi
Instrumen pengakuan utang (surat hutang)
Penghasilan
Imbalan/ bagi hasil/ margin
Bunga / kupon/ capital gain
Jangka waktu
Pendek - menengah
Menengah- panjang
Underlying
Perlu
Tidak perlu
Price
Market price
Market price
Jenis investor
Syariah dan konvensional
Konvensional
Pihak yang terkait
Obligor, SPV, investor, trustee
Obligor/ issuer, investor
Penggunaan dana
Harus sesuai syariah
Bebas
Sumber : Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah

Beberapa kelebihan sukuk antara lain: 1) Dapat menjangkau investor yang lebih luas, terutama bagi investor yang concern terhadap aspek Syariah, 2) Untuk mendiversifikasikan portofolio sebagai sumber dana, 3) Penawaran yang relatif masih rendah, dengan tingkat permintaan yang tinggi, 4) Pada umumnya, sukuk memiliki harga yang rendah atau minimal sama dibandingkan dengan obligasi konvensional. Sedangkan beberapa kelemahan sukuk antara lain; 1) Struktur yang lebih rumit karena mensyaratkan adanya asset yang mewadahinya (underlying asset), 2) Pajak dan ketidakpastian hukum, 3) Tidak memiliki benchmark yang resmi, karena sukuk pemerintah belum diterbitkan (Ascarya, 2007, hal 23).

2.2. Jenis-Jenis Sukuk
          Merujuk pada  fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Obligasi Syariah, akad   yang   dapat   digunakan   dalam   penerbitan   Obligasi   Syariah   antara   lain: mudharabah   (muqaradah)/qiradh,   musyarakah,   murabahah,   salam,   istisna,   dan ijarah  (DSN, 2006).
1.  Akad Mudharabah atau Muqaradah (Trust Financing, Trust Investment)
          Mudharabah  adalah  perjanjian  kerja  sama  usaha  antara  dua  pihak  dengan pihak  pertama  menyediakan  modal,  sedangkan  pihak  lainnya  menjadi  pengelola. Dalam  fatwa  Dewan  Syariah Nasional tentang Obligasi  Syariah  Mudharabah disebutkan  bahwa  Obligasi  Syariah  Mudharabah  adalah  Obligasi  Syariah  yang berdasarkan  akad  mudharabah  dengan  memperhatikan  substansi  Fatwa  Dewan Syariah Nasional MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah.
2. Akad Ijarah (Operational Lease)
Ijarah  adalah  sebuah  kontrak  yang  didasarkan  pada  adanya  pihak  yang membeli dan menyewa peralatan yang dibutuhkan klien dengan uang sewa tertentu. Pemegang  Surat  Berharga  Ijarah  sebagai  pemilik  yang  bertanggung  jawab penuh untuk segala sesuatu yang terjadi pada milik mereka. Dalam Fatwa  Dewan  Syariah Nasional  No.  41/DSN-MUI/III/2004  tentang  Obligasi Syariah  Ijarah disebutkan bahwa Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad ijarah yaitu akad  pemindahan  hak  guna  (manfaat)  atas  suatu  barang  dalam  waktu  tertentu dengan  pembayaran  sewa  (ujrah),  tanpa  diikuti  dengan  pemindahan  kepemilikan barang itu sendiri. Ditambah dengan  memperhatikan  substansi  Fatwa  Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
3. Akad Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
Surat  Berharga  Musyarakah  dibuat  berdasarkan  kontrak  musyarakah  yang hampir menyerupai Surat Berharga Mudharabah. Perbedaan utamanya adalah pihak perantara akan menjadi pasangan dari grup pemilik yang menjadi pemegang obligasi Musyarakah di dalam suatu perusahaan gabungan, yang pada mudharabah, sumber modal  hanya  berasal  dari  satu  pihak.  Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah  Nasional  No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang   pembiayaan   musyarakah   disebutkan   bahwa pembiayaan musyarakah  yaitu  pembiayaan berdasarkan  akad kerjasama  antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana  dengan  ketentuan  bahwa  keuntungan  dan  resiko  akan  ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
4. Akad Salam (In-Front Payment Sale)
Salam adalah penjualan suatu komoditi, yang telah ditentukan kualitas  dan kuantitasnya yang akan diberikan kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan di masa depan  pada  harga  sekarang.  Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah  Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam disebutkan bahwa   jual beli barang dengan  cara  pemesanan  dan  pembayaran  harga  lebih  dahulu  dengan  syarat-syarat tertentu disebut dengan salam.
5. Akad Istisna (Purchase by  order or manufacture)
Istisna   adalah   suatu   kontrak   yang   digunakan   untuk   menjual   barang manufaktur  dengan usaha  yang  dilakukan  penjual   dalam  menyediakan  barang tersebut  dari  material,  deskripsi  dan  harga  tertentu. Dalam  Fatwa  Dewan  Syariah Nasional  No. 06/DSN-MUI/IV/2000  tentang  jual  beli  istisna  disebutkan  bahwa jual  beli  istisna  yaitu  akad  jual  beli  dalam  bentuk  pemesanan  pembuatan  barang tertentu  dengan  kriteria  dan  persyaratan  tertentu  yang  disepakati  antara  pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani).
6. Akad Murabahah (Deferred Payment Sale)
Murabahah   adalah  jual   beli   barang   pada   harga   asal   dengan  tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN- MUI/IV/2000  tentang  murabahah  disebutkan  bahwa pihak  pertama  membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama pihak pertama sendiri, dan pembelian ini harus  sah  dan  bebas  riba. Kemudian  nasabah  membayar  harga  barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

2.3. Risiko Sukuk
Secara umum, risiko pada sukuk mirip dengan risiko obligasi konvensional karena keduanya merupakan instrumen pada pasar modal. Menurut Chartered Financial Analyst (2007), risiko-risiko yang dihadapi investor sukuk sebagai berikut:
1.     Risiko Tingkat Pengembalian (Rate of Return Risk)
Risiko tingkat pengembalian ada pada semua tipe sukuk dengan pengembalian tetap (fixed rate). Imbal hasil yang mengacu pada LIBOR atau benchmark konvensional lainnya membuat return pada sukuk dipengaruhi suku bunga. Sedangkan pada akad mudharabah, imbal hasil sangat bergantung pada kinerja perusahaan yang  dapat naik dan turun.
2.     Risiko Kredit (Credit Risk)
 Risiko kredit pada sukuk ijarah dihadapi oleh investor disebabkan kegagalan pembayaran (default) atas sewa underlying asset. Kecenderungan default menjadi lebih besar karena mekanisme penjadwalan ulang atas hutang dengan imbal hasil/suku bunga lebih tinggi tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. Risiko kredit pada sukuk harus dinilai secara independen khususnya jika pemberi pinjaman memiliki alternatif penggantian lain ketika underlying asset tidak dapat menutupi kerugian yang terjadi.
3.      Risiko Nilai Tukar (Foreign Exchange Rate Risk)
   Risiko nilai tukar dapat terjadi jika return atas pengelolaan underlying asset diberikan dalam mata uang asing. Penerbit dapat menghitung dan memberikan jaminan atas risiko tersebut dalam rangka melindungi investor dari pergerakan nilai tukar.
4.     Risiko Tingkat Harga (Price/Collateral Risk)
  Risiko tingkat harga terjadi ketika spesifikasi aset yang tercermin pada nilai penerbitan  sukuk yang diajukan berbeda dengan  nilai pasar sesungguhnya dan laporan atas nilai underlying asset. Sukuk ijarah paling rentan menghadapi risiko ini karena aset yang disewakan dapat mengalami depresiasi hingga di bawah harga pasar. Pengelolaan yang baik atas aset menjadi faktor penting dalam menghadapi risiko ini.
5.   Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
  Pertumbuhan pasar sekunder yang lambat membuat investor sukuk menghadapi risiko likuditas. Kecenderungan membeli dan menahan (buy and hold)  pada mayoritas investor sukuk membuat mekanisme transfer kepemilikan sukuk tidak efisien. Hal ini terjadi pula pada Sukuk Salam, dimana aset yang mewadahi kontrak merupakan komoditas pertanian. Sehingga perdagangan pada sekuritas tersebut menimbulkan unsur spekulasi. Zero Coupon Sukuk seperti Sukuk Istisna dan Murabahah juga tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder karena mirip dengan jual beli hutang (bai ad-dayn) yang dilarang oleh mayoritas ulama.
6. Risiko Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance Risk)
Perkembangan pasar yang pesat memungkinkan adanya struktur sukuk yang tidak memenuhi aspek syariah. Standarisasi dan perhatian atas aturan-aturan syariah pada sukuk dibuat dalam rangka melindungi investor muslim dari praktek-praktek yang prinsip-prinsip Islam

2.4. Penelitian Terdahulu.
Penelitian yang dilakukan oleh Ascarya dan Yumanita berjudul “Comparing The Development Islamic Financial/Bond Market in Malaysia and Indonesia” pada tahun 2007 membandingkan pengembangan sukuk di Malaysia dan di Indonesia dalam aspek nilai, likuiditas, dan instrumen yang digunakan. Perkembangan sukuk tersebut juga dilihat melalui framework pengembangan  keuangan Islam dan karakteristik pasar keuangan Islam di kedua negara.
Kesimpulan dari penelitian tersebut terkait permasalahan sukuk di Indonesia antara lain : 1) Komitmen pemerintah dalam pengembangan sistem keuangan Islam di Indonesia masih sangat minim. Sudah saatnya pemerintah memberikan dukungan dan komitmennya terutama pada level-level strategis, untuk mengakselerasi dan memberikan arah yang jelas dalam pengembangan sistem keuangan Islam; 2) Kerangka hukum yang mewadahi sistem keuangan Islam masih sangat minim, sehingga para pelaku pasar masih merasa gamang dan memilih menunggu (wait and see) kepastian dari pemerintah; 3) Belum adanya instrumen syariah yang dikeluarkan pemerintah yang diperlukan sebagai dasar kebijakan dan benchmark bagi institusi keuangan syariah. Oleh karenanya, penerbitan instrument keuangan syariah negara seperti sukuk, Islamic Treasury Bills, dan instrumen syariah dari bank sentral lainnya, menjadi prioritas selanjutnya; 4) Pengembangan SDM ekonomi syariah  yang belum tergarap dengan baik.
          Penelitian lain tentang sukuk di Indonesia dilakukan oleh Pramono (2006) berjudul “Obligasi Syariah (Sukuk) untuk Pembiayaan Infrastruktur: Tantangan dan Inisiatif Strategis”. Dalam karya tulis tersebut Pramono menawarkan alternatif baru yaitu skema pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui penerbitan obligasi syariah (sukuk). Dengan potensi dana Timur Tengah yang besar, emisi Obligasi Syariah diharapkan dapat mengakhiri ketergantungan pembiayaan dengan basis hutang yang menghasilkan beban bunga.
          Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa upaya mengembangkan obligasi syariah sebagai alternatif pendanaan infrastruktur menghadapi beberapa tantangan strategis yang perlu segera diselesaikan, yaitu berkaitan dengan aspek regulasi, aspek pendukung operasional, dan infrastruktur lainnya. Menjawab tantangan tersebut, beberapa inisiatif strategis yang perlu segera dijalankan dalam upaya mengoptimalkan peluang pengembangan instrumen obligasi syariah seperti usulan regulasi, optimalisasi peran BUMN, insentif perpajakan dan prasyarat pendukung lainnya.
Beik dan Hafidudin (2007) dalam paper berjudul “Enhancing The Role of Sukuk on Agriculture Sectore Financing in Indonesia: Proposed Model” melihat bahwa sektor pertanian menempati posisi strategis dan penting dalam ekonomi Indonesia. Data menunjukkan bahwa 44% angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian dan 71,33% alokasi lahan di Indonesia digunakan untuk sektor pertanian. Namun ternyata sumbangsih sektor pertanian terhitung sangat kecil sekitar 13,4%.
          Dalam rangka pengembangan sektor pertanian, penelitian tersebut mengusulkan  skema pembiayaan  berbasis sukuk, terutama dengan akad mudharabah bil istisna dan salam yang dianggap paling kompatibel dengan sektor pertanian. Regulasi yang komprehensif serta kebijakan yang mendukung menjadi prasyarat utama kesuksesan model tersebut.

III. PERKEMBANGAN PASAR SUKUK
3.1.                                                                                                                                                   Perkembangan Pasar Sukuk di Indonesia.
          Pengembangan sukuk di Indonesia didorong oleh inisiasi sektor swasta. Diawali oleh penerbitan sukuk mudharabah pada tahun 2002 oleh Indosat dengan nilai 175 miliar. Perkembangan sukuk korporasi di Indonesia pada umumnya merupakan inisiasi dari underwriter, bukan dari korporasi penerbit sukuk itu sendiri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang kelebihan dan kelemahan sukuk (Ascarya, 2007).
Pada akhir Juli 2008, telah ada 31 penerbitan sukuk korporasi di Indonesia dengan nilai total 5,1 triliun. Penerbitan sukuk pertahunnya cenderung fluktuatif. Nilai nominal penerbitan terbesar terjadi pada tahun 2007 (Rp.1.3 triliun) dan 2008 (Rp.1.5 triliun).

Sumber: BEI, KSEI (2008), diolah dalam miliar Rp
Gambar 3.1. Nilai dan Jumlah Penerbitan Sukuk  Korporasi (Pertahun)

Sumber: BEI, KSEI (2008), data diolah dalam miliar Rp
Gambar 3.2. Nilai dan Jumlah Penerbitan Sukuk Korporasi (Kumulatif)

Dilihat dari masa jatuh tempo, mayoritas sukuk korporasi di Indonesia memiliki jatuh tempo lima tahun (19 penerbitan). Namun, sukuk dengan masa jatuh tempo hingga 10 tahun juga semakin banyak diterbitkan, mengingat perusahaan asuransi dan dana pensiun termasuk investor utama yang membutuhkan instrumen investasi jangka panjang.
Untuk perusahaan yang melakukan penerbitan ganda (double issuing), masa jatuh tempo sukuk mengikuti masa jatuh tempo obligasi konvensionalnya.

Sumber: BEI, KSEI (2008), data diolah
Gambar 3.3. Masa Jatuh Tempo Sukuk Korporasi di Indonesia

            Sukuk korporasi meraih 5% dari pasar obligasi keseluruhan dalam segi  besaran nominal dan meraih 10% dari segi jumlah penerbitan. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan pangsa pasar perbankan syariah (1.7%).

Sumber: BI (2008), diolah
Gambar 3.4. Perbandingan Share Obligasi Syariah dan Konvensional

          Selain itu, berdasarkan akad yang digunakan, penerbitan sukuk korporasi di Indonesia baru menggunakan akad Mudharabah dan Ijarah. Penerbitan sukuk pertama kali menggunakan akad mudharabah, akad ini dianggap paling memenuhi kepatuhan syariah.
Akad ijarah pertama kali digunakan pada tahun 2004 dan sejak saat itu akad ijarah paling banyak dipakai. Hal ini terkait dengan struktur ijarah yang mampu memberikan pengembalian tetap (fixed return). Sejalan dengan trend obligasi konvensional, dimana suku bunga tetap lebih populer dibandingkan dengan suku bunga mengambang.

Sumber: BEI, KSEI (2008), diolah
Gambar 3.5. Jenis Akad pada Sukuk Korporasi di Indonesia

3.2. Perkembangan Pasar Sukuk di Malaysia
Malaysia adalah negara terdepan dalam pengembangan keuangan syariah. Malaysia telah menjadi pasar sukuk terbesar melihat fakta bahwa hampir 70% atau $ 62 miliar dari total emisi sukuk secara global hingga akhir 2007 diterbitkan di Malaysia. Sedangkan total penerbitan sukuk korporasi hingga 2007 telah mencapai RM 30 miliar (Financial Stability and Payment Systems Report, 2007). Malaysia tidak hanya memimpin pasar sukuk dilihat dari besaran volumenya, namun juga dalam hal variasi struktur sukuk yang inovatif dan kompetitif dalam rangka menarik investor yang lebih luas.
          Dimulai dengan penerbitan RM 125 juta oleh Shell MDS Sdn. Bhd. Pada tahun 1990, pasar sukuk Malaysia semakin berkembang dalam segi volume dan pengalaman. Pasar sukuk Malaysia semakin mendalam dengan penerbitan terbaru sebesar RM 15.4 miliar ($ 4.7 miliar) oleh Binarian GSM Bhd, sebuah holding-company  yang memfasilitasi privatisasi operator seluler.
           Dalam periode 2001-2007, dengan rata-rata perkembangan penerbitan sukuk pertahunnya sebesar 22% Malaysia telah menjadi salah satu pasar sukuk dengan perkembangan terpesat di dunia. Pada tahun 2001, Guthrie Sukuk diterbitkan sebagai sukuk korporasi Malaysia pertama yang diperdagangkan di bursa global (global sukuk), diikuti oleh penerbitan sukuk global oleh pemerintah Malaysia (Malaysia Global Inc) pada tahun 2002.
          Pertumbuhan pasar sukuk lokal dan global Malaysia selama lima tahun terakhir menunjukkan data yang sangat impresif, yakni dengan pertumbuhan rata-rata 33% per tahun. Seperti laporan yang ditunjukkan oleh IFIS (Islamic Financial Institutions Statistic), 88% penerbitan sukuk pada tahun 2009 diterbitkan di Malaysia. Dari jumlah 774 penerbitan sukuk, 679 diantaranya berdomisili di negeri jiran ini.

Tabel 3.1. Penerbitan Sukuk di Malaysia, 2000-2009
Tahun
Sovereign Sukuk
Corporate Sukuk
Quasi Sovereign Sukuk
Total
Persentase Pertumbuhan
2000
0
336
0
336

2001
250
530
33
813
142%
2002
800
1684
19
2503
208%
2003
1180
4637
0
5717
132%
2004
1479
5497
8
7211
20%
2005
706
10722
66
12065
65%
2006
1311
18050
7020
26798
130%
2007
6030
26778
13985
47126
79%
2008
1677
9536
5087
16299
-65%
2009
12728
12319
13660
48615
198%

           Faktor-faktor yang menjadi kunci pesatnya pertumbuhan sukuk di Malaysia dalam lima tahun terakhir antara lain:
1. Pengembangan struktur yang inovatif
           Fleksibilitas dalam struktur merupakan faktor kunci yang mendorong berkembangnya penerimaan pasar terhadap sukuk. Struktur sukuk disesuaikan dalam rangka membidik target pasar yang  spesifik. Dalam beberapa tahun terakhir, struktur sukuk di Malaysia telah berkembang dari struktur berbasis hutang dengan perjanjian jual beli (murabahah), menjadi berbasis sewa (ijarah), bagi hasil (musyarakah), kontrak kerja (istishna), dan struktur campuran (hybrid sukuk) melalui kombinasi akad-akad dalam syariah dalam rangka menggapai investor yang lebih luas. 
2. Perlakuan hukum yang jelas
           Perlakuan hukum yang jelas dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi institusi keuangan Islam untuk berinvestasi pada instrumen sukuk. Hal ini dicapai melalui adopsi Capital Adequacy Standar yang dikeluarkan Islamic Financial Services Board (IFSB), terkait dengan prinsip prudent dalam investasi sukuk terutama dalam peraturan permodalan.
3. Strategi yang fokus dalam pengembangan sistem keuangan Islam secara  komprehensif.
          Dalam rangka menjadi pusat transaksi sukuk global (global hub), Malaysia menggunakan menfokuskan strategi pada penciptaan lingkungan yang kondusif bagi penerbitan sukuk yaitu: 1) Peraturan yang fasilitatif bagi penerbitan sukuk; 2) Penyediaan infrastruktur yang komprehensif; 3) Insentif dalam aktivitas investasi 4) Struktur yang inovatif dan penyediaan SDM; 4) Pricing yang kompetitif; 5) Framework syariah yang jelas.

3.3. Perkembangan Pasar Sukuk di Dunia
Laporan Standar & Poor’s Rating Services (2008) menunjukkan bahwa aset industri keuangan syariah secara global diperkirakan telah mencapai $500 miliar, dengan rata-rata pertumbuhan 10% pertahun dalam satu dekade terakhir. Saat  ini, terdapat 300 institusi keuangan Islam yang tersebar di lebih dari 75 negara, terkonsentrasi di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara (Malaysia dan Brunei), dan mulai merambah pasar Eropa dan Amerika Serikat.
Sejalan dengan fakta tersebut, sukuk sebagai salah satu instrumen keuangan Islam turut memberikan kontribusi cukup signifikan. Sampai Oktober 2007, dari segi nominal tercatat penerbitan sukuk di dunia telah mencapai $39 miliar. Sedangkan dalam enam tahun terakhir, jumlah penerbitan sukuk di dunia mencapai 360 sukuk (Global Research-GCC, 2008).
          Pasar sukuk dimulai ketika pemerintah Malaysia pada tahun 2002 menerbitkan sukuk senilai $600 juta, disusul dengan Bahrain yang menerbitkan sovereign sukuk dengan akad Ijarah dan Salam. Penerbitan sukuk terpusat di Negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Gulf Cooperation Countries (GCC) dan sebagian negara Asia. Selama periode 2001-2007, 62,1% dari total nilai emisi sukuk diterbitkan di negara-negara GCC dan sisanya sekitar 36 % diterbitkan di Asia, terutama Malaysia, Pakistan, dan Brunei.
         Dalam periode yang sama, Uni Emirat Arab (UEA) tercatat sebagai negara dengan jumlah dana terbesar dengan kontribusi 36.2% dari total penerbitan sukuk di dunia, diikuti Malaysia dengan kontribusi 32.1%, walaupun data menunjukkan bahwa Malaysia merupakan negara dengan jumlah penerbitan terbanyak yaitu 137 kali, dibandingkan dengan UEA dengan jumlah penerbitan 29 kali. Hal ini terjadi karena pada tahun 2006-2007 UEA menerbitkan sukuk dengan nilai nominal sangat besar seperti Nakhael Sukuk ($3.52 miliar), PCFC Sukuk ($3.5 miliar),dan Aldar Properties Sukuk  ($2.5 miliar)

            Sumber: Global Research-GCC (2008)
Gambar 3.6. Total Share Sukuk di Dunia

          Pada awalnya, perkembangan sukuk di dunia disponsori oleh negara (sovereign sukuk). Namun pada perkembangan selanjutnya, sukuk korporasi lebih mendominasi pasar. Penerbitan oleh korporasi, berkembang sangat pesat dari $0.8 miliar pada tahun 2003 hingga $9.9 miliar pada tahun 2006. Sampai 2007, total emisi sukuk korporasi yang pernah diterbitkan senilai $ 22,4 miliar dan sukuk negara senilai $ 9 miliar.
          Banyak penerbitan dalam skala besar oleh korporasi di dunia merupakan sukuk semi-pemerintah (quasi-sovereign). Dengan cara ini korporasi memperoleh benefit dalam hal jaminan negara. Korporasi-korporasi utama yang aktif dalam penerbitan sukuk antara lain Nakheel, PCFC, Aldar Properties, dan DP World dari Uni Emirat Arab, SABIC dari Arab Saudi, dan Nukleus dari Malaysia. Sekitar 30% dari total penerbitan sukuk di dunia merupakan kontribusi perusahaan-perusahaan tersebut. 
 Sumber: Global Research-GCC (2008) dalam juta $
Gambar 3.7. Nilai Emisi Sukuk Negara dan Korporasi di Dunia

Dilihat dari akad yang digunakan, sukuk ijarah mendominasi pasar dengan kontribusi 43,65% dari total penerbitan. Diikuti sukuk musyarakah (27,5%) dan sukuk mudharabah (18,4%). Akad-akad tersebut pada umumnya dipilih berdasarkan kepentingan serta kebutuhan penerbit, seperti kesederhanaan struktur atau menyesuaikan dengan kebutuhan keuangan perusahaan. 
  Sumber: Global Research-GCC (2008)
Gambar 3.8. Jenis-jenis Akad dalam Penerbitan Sukuk di Dunia


IV. PENUTUP
          Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1.    Perkembangan sukuk korporasi di Indonesia dilihat dari nilai emisi maupun jumlah penerbitan terbilang sangat lambat. Sedangkan tengah terjadi booming sukuk  di pasar keuangan internasional. Terutama di negara-negara Timur Tengah, Asia Tenggara (Malaysia), bahkan mulai merambah pasar Eropa dan Amerika.
2.    Terdapat banyak tantangan dalam pengembangan sukuk secara umum, mulai dari aspek syariah, kerangka hukum, regulasi, pasar, sampai kompleksitas produk. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran karena sukuk dapat dikategorikan produk baru yang diintegrasikan pada pasar keuangan konvensional yang telah mapan.
3.    Sedangkan permasalahan umum yang tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia adalah aspek karakteristik/kompleksitas produk. Sukuk adalah instrumen baru keuangan syariah yang mempunyai ciri khas dan karakteristik yang berbeda dibandingkan produk lain. Mengembangkan sukuk agar kompatibel dengan pasar modal modern tanpa menanggalkan aspek kepatuhan syariah menjadi sebuah tantangan tersendiri.  
4.    Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sukuk mengikuti pola kebijakan pengembangan ekonomi syariah secara umum, yaitu bottom up approach. Sehingga mengembangkan pasar menjadi faktor kunci dalam menumbuhkan pasar sukuk di Indonesia.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang diusulkan:
1.    Minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat selalu menjadi masalah utama dalam pengembangan ekonomi Islam secara umum termasuk pada instrumen pasar modal syariah semisal sukuk. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi mengenai sukuk atau instrumen keuangan syariah lainnya perlu digarap lebih serius melalui lembaga pendidikan formal maupun informal yang lebih intensif merupakan solusi terbaik.
2.    Penyediaan SDM profesional di bidang pasar modal syariah harus digarap secara serius melalui jenjang pendidikan yang lebih formal. Dikhawatirkan, konversi praktisi pasar modal konvensional melalui pelatihan-pelatihan ekonomi syariah menyisakan permasalahan pada sisi pola pikir (mindset) yang sulit diubah. Pendirian perguruan tinggi dengan kekhususan ekonomi syariah atau pembukaan program studi ekonomi syariah harus diperbanyak lagi. Hal ini penting dalam rangka menghindari gap antara perkembangan pasar modal syariah yang pesat dengan kuantitas SDM yang menyokongnya.
3.    Kepastian perpajakan melalui revisi regulasi pajak harus segera dilakukan. Minimal besaran pajak pada sukuk sama dengan obligasi, sehingga sukuk dan obligasi dapat berkompetisi secara seimbang di pasar modal.
4.    Penelitian dan riset terkait sukuk di Indonesia juga perlu ditingkatkan intensitasnya, dengan begitu diharapkan sukuk dapat menjadi instrumen keuangan ideal yang dapat menjadi salah satu solusi perbaikan ekonomi Indonesia di masa depan.
5.    Peranan pemerintah yang lebih dominan juga sangat diharapkan. Misalnya, secara bertahap mengganti instrumen-instrumen berbasis hutang dalam membiayai proyek tertentu atau menutupi defisit anggaran dengan instrumen sukuk.



DAFTAR PUSTAKA


Ascarya dan Diana Yumanita, 2007, Comparing The Development Islamic Financial/Bond Market in Malaysia and Indonesia, IRTI Publications  (2008) : Saudi Arabia.

Achsien, Iggie H., 2003, Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. Kedua.

Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, 2007, Mengenal Instrumen Investasi dan Pembiayaan berbasis Syariah, Depkeu: Jakarta

Ernst & Young Reports, 2007, The Islamic Funds and Investment Reports, Uni Emirat Arab.

Global Investment House Reports, 2008, Sukuk-The New Dawn of Islamic Finance Era, Kuwait.

Hakim, Cecep Maskanul, 2005, Obligasi Syariah di Indonesia: Kendala dan Prospek, Makalah, disampaikan pada kuliah informal Ekonomi Islam, Fakultas Universitas Indonesia, 16 April 2005

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, 2004, Cet. Kedua

Muhammad  Al-Amine,  Muhammad  Al-Bashir,  Sukuk  Market:  Inovations  and        Challenges, IRTI Publications  (2008) : Saudi Arabia

Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, 2007, Investasi pada Pasar Modal Syariah,   Kresna: Jakarta.

Pramono, Sigit, Obligasi Syariah (Sukuk) untuk Pembiayaan Infrastruktur:
Tantangan dan Inisiatif Strategis, Artikel. SEBI: Jakarta

Tim Studi Standar Akuntansi Syariah di Pasar Modal (2007), Studi Standar Akuntansi Syariah di Pasar Modal Indonesia, Bapepam-LK: Jakarta.

(Ditulis bersama dengan Muhamad Jarkasih)

Klik suka di bawah ini ya