Bicara industri perbankan syariah, mau tidak mau kita harus membahas tentang size dan market share. Sebab, tanpa size dan pangsa pasar yang signifikan, sulit bagi perbankan syariah untuk memainkan peran yang menentukan dalam perekonomian nasional.
Nyatanya, hingga saat ini--lebih 17 tahun sejak bank syariah pertama di Indonesia didirikan--size bank-bank syariah yang ada masih relatif kecil dan market share perbankan syariah masih berkutat di angka sekitar dua persen. Bank Indonesia telah mematok market share lima persen, namun tampaknya hal itu masih sangat sulit direalisasikan.
Meskipun secara grafik pertumbuhan industri perbankan syariah tumbuh mengesankan, namun harus diingat bahwa hal itu merupakan sifat alamiah sebuah industri yang baru berkembang. Walaupun persentase pertumbuhannya relatif tinggi, angka riilnya (aset, omzet, maupun laba) relatif rendah. Dan jangan lupa, industri perbankan konvensional tidak diam di tempat. Mereka pun terus tumbuh, sehingga diperlukan lompatan bagi industri perbankan syariah untuk meningkatkan market share tadi, misalnya menjadi lima persen.
Dari mana kita harus memulai? Bicara mengenai upaya mendongkrak market share perbankan syariah harus diawali dengan menelisik kembali posisi apa yang diberikan oleh para stakeholders kepada bank syariah: sebagai alternatif atau solusi. Kalau sebagai alternatif, pendekatannya adalah market driven (business driven). Sedangkan kalau bank syariah akan dijadikan sebagai solusi, pendekatannya adalah mission driven.
Yang masih terjadi sampai saat ini adalah bank syariah lebih dipandang sebagai alternatif, dan karena itu pendekatan yang dipilih adalah market driven, artinya diserahkan kepada mekanisme pasar. Industri perbankan syariah yang masih bayi (infant industry) disuruh bertempur dengan perbankan konvensional yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Selama pendekatan ini yang kita pakai, maka kita tidak akan bisa mencapai pangsa pasar bank syariah yang signifikan.
Secara sederhana kita dapat menjelaskan melalui Pendekatan Ekuitas: Total Ekuitas lima Bank Umum Syariah (BUS)--yang ada saat ini--hanya sekitar Rp 2,5 triliun. Bandingkan dengan total ekuitas perbankan konvensional yang mencapai di atas Rp 200 triliun. Jadi, dari segi ekuitas, perbankan syariah itu hanya 2,5/200. Jumlah tersebut adalah sekitar satu persen--tidak persis satu persen, dibandingkan total ekuitas perbankan konvensional.
Jadi, kemungkinan pertumbuhan bank syariah itu adalah satu per 100 dibandingkan pertumbuhan perbankan nasional. Bagaimana mungkin kita mau mengejar market share lima persen? Tiga persen saja ajaib, apalagi lima persen!
Sementara kita tahu bahwa pertumbuhan bank ditentukan oleh CAR (rasio kecukupan modal)-nya. Taruhlah kita berandai tahun depan Ekuitas BUS (Bank Umum Syariah) adalah Rp 5 triliun, maka dengan CAR minimal delapan persen, maksimal aset yang dapat dicapai BUS adalah Rp 60 triliun. Sedangkan bank konvensional, dengan modal di atas Rp 200 triliun (dengan Ekuitas/CAR yang memungkinkan untuk terus bertambah akibat laba yang ditahan), maka maksimal aset adalah Rp 2.400 triliun. Demikian pula, akumulasi laba bank konvensional lebih Rp 30 triliun per tahun, sedangkan akumulasi laba bank syariah kurang dari Rp 1 triliun per tahun.
Seperti disebutkan di atas, ketika bank-bank syariah tumbuh, bank-bank konvensional juga tumbuh. Ini yang sering kita lupakan. Kita hanya menyebut pembilang (BUS) dan melupakan penyebut (perbankan nasional yang didominasi bank-bank konvensional). Padahal, bank konvensional itu tumbuh jauh lebih besar daripada bank syariah. Ibarat berkendara, industri perbankan syariah harus melewati jalanan biasa yang sering diwarnai kemacetan, sedangkan industri perbankan konvensional melewati jalan tol yang bebas hambatan.
Jadi, kalau pendekatannya adalah market driven, mustahil bank syariah bisa mengejar target pangsa pasar lima persen! Karena itu, pendekatan yang ditempuh pemerintah sebaiknya--dan memang wajar saja-- adalah mission driven. Setidaknya, ada empat alasan mengapa pemerintah harus menjadikan bank syariah sebagai solusi. Pertama, aspek religius atau emosional. Ketiga agama langit--Islam, Yahudi, dan Nasrani--mengharamkan riba. Indonesia adalah negara religius dengan dominasi Muslim.
Kedua, aspek rasional. Plato, Cicero, Thomas Jefferson, dan ahli-ahli lain mengatakan bahwa interest (bunga) adalah alat eksploitasi. Ketiga, aspek nasionalisme. Kalau kita perhatikan, Islamic finance (system keuangan syariah) sesuai dengan cita-cita para founding fathers (pendiri Republik Indonesia) akan ekonomi berdasarkan kekeluargaan.
Kalau bank syariah sebagai solusi, tantangan kita adalah menjadikan ekonomi syariah sebagai mainstream. Harusnya kita bicara ini proyek negara, yang didukung penuh oleh pemerintah, sejak dari presiden hingga para pembantunya.
Keempat, aspek actual. Dari kenyataan praktis, orang-orang kecewa terhadap jahat dan rentannya ekonomi konvensional. Karena itu, tak heran kalau pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Benedictus; Menteri Keuangan Prancis, Christian Lagard; maupun Negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, Cina dan India) mengecam sistem ekonomi yang ada sekarang dan mem-propose sistem ekonomi baru yang lebih adil (dan yang kita inginkan tentunya adalah system ekonomi Islam). Saya sering mengatakan dengan nada guyon, ''Kalau Sarkozy (presiden Prancis) mendorong penggunaan sistem ekonomi Islam atau syariah, masak Zarkasih (orang, tokoh atau pejabat Indonesia dan Muslim pula) tidak tergerak hatinya untuk menjadikan sistem ekonomi Islam sebagai solusi? Masak sih Zarkasih kalah sama Sarkozy?''
Lalu, bagaimana pendekatan atau langkah yang harus diambil? Ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh, yakni, pertama: New Asset Approach, yaitu menciptakan aset-aset baru melalui perluasan/pendirian UUS (Unit Usaha Syariah) dan BUS yang baru. Tentu saja, kita ketahui bahwa pendirian BUS baru membutuhkan modal, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Kemungkinan kedua adalah: Asset Conversion Approach. Yaitu, by design melalukan konversi aset-aset bank konvensional secara bertahap ataupun secara sekaligus (total konversi sebuah bank konvensional menjadi syariah).
Untuk itu, jalan yang lebih cepat dan realistis adalah meminta bank-bank BUMN untuk menyiapkan sebuah ACP (Asset Conversion Plan) untuk rentang waktu lima tahun ke depan. Di mana, stakeholders perbankan syariah --Menko Perekonomian, Gubernur BI, Menneg BUMN, dan dirut bank-bank BUMN maupun DSN-MUI--perlu duduk bersama untuk merumuskan formula yang terbaik, terutama menyangkut pola maupun kerangka waktunya sekaligus insentifnya.
Pertanyaannya, untuk eksekusi ACP tadi, mana yang lebih mudah: a) melalui BUS yang sudah ada (misalnya Bank Mandiri ke Bank Syariah Mandiri); b) mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS) baru (misalnya Bank Mandiri mendirikan UUS baru dengan nama Unit Syariah Mandiri, lalu aset Bank Mandiri dikonversi ke Unit Syariah Mandiri secara bertahap, misalnya tiap tahun sebesar 20 persen, sehingga dalam waktu lima tahun seluruh aset tersebut sudah disyariahkan); atau c) menggunakan UUS yang sudah ada (misalnya Bank BTN menggunakan Bank BTN Syariah)?
Menurut hemat saya, lebih mudah menggunakan UUS (baru ataupun yang sudah ada). Sebab, UUS itu masih satu entitas dengan bank induknya. Ibaratnya, uang keluar kantong kiri masuk kantong kanan. Aset disyariahkan, tapi tidak terjadi penggembosan. Sedangkan kalau menggunakan BUS yang sudah ada, aset bank induknya berpindah. Terjadi penggembosan aset di bank konvensional tadi, yang tentunya berisiko banyaknya kendala psikologis.
Bila ACP dilakukan, akan membesarkan size bank syariah, baik secara individu (yakni, hadirnya bank-bank syariah yang mempunyai modal dan aset besar, sehingga menjadi pemain besar) maupun industri perbankan syariah secara nasional. Hal itu akan membuat gairah dan ghirah para pelaku industri perbankan syariah makin terpacu untuk maju dan memberikan kiprah terbaik kepada umat. Dan yang paling penting, Stabilisasi Sistem Keuangan Indonesia.
Oleh: Dr. A. Riawan Amin, Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo)
Sumber: Republika Online