Kondisi perekonomian Indonesia semakin muram. Pertumbuhan ekonomi semakin menurun dari 7,1 persen pada kuartal IV 2004 saat pemerintahan baru dilantik, menjadi 4,6 persen pada kuartal I 2006. Target pertumbuhan ekonomi 2006 sebesar 5,9 persen diyakini sulit tercapai.
Sektor riil masih berjalan tertatih-tatih di tengah prestasi stabilitas makroekonomi. Ketika ekspor Mei 2006 mencatat rekor tertinggi sepanjang republik ini berdiri yaitu 8,34 miliar dolar AS, surplus perdagangan mencatat surplus 3 miliar dolar AS pada triwulan II 2006 juga nilai tukar semakin stabil dan menguat, sektor riil justru terpuruk.
Kondisi sektor riil yang terutama diwakili oleh industri manufaktur kini sudah dalam tahap merisaukan. Anjloknya penjualan, tipisnya likuiditas, rendahnya kucuran kredit, lambatnya restitusi pajak, dan maraknya penyelundupan, membuat industri nasional harus menanggung beban yang sangat berat. Penurunan kinerja emiten-emiten industri manufaktur di BEJ pada semester I 2006 menjadi bukti nyata bahwa terpuruknya sektor riil nasional bukan lagi sekedar wacana belaka.
Ironisnya, di saat sektor riil tertimpa beban luar biasa berat, sektor moneter ternyata tidak merasakan hal yang sama. Industri perbankan secara konsisten terus meningkat labanya dari Rp 1,5 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 15,8 triliun pada Mei 2006. Pada waktu yang sama, aset perbankan nasional bertambah Rp 49,3 triliun. IHSG juga booming dan sempat menyentuh level 1.500 pada awal Mei 2006 lalu. Sektor finansial seolah berada di awan. Fenomena decoupling begitu jelas terlihat di depan mata.
Jebakan suku bunga
Kontradiksi sektor riil-moneter tersebut bersumber dari kebijakan suku bunga tinggi dari Bank Indonesia (BI). Kebijakan suku bunga tinggi diyakini penentu kebijakan akan membuat tekanan inflasi mereda. Namun, tingginya BI rate, yang sejak diperkenalkan pertama kali pada 5 Juli 2005 telah mengalami lima kali kenaikan, membuat sektor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak. Tingginya BI rate justru membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja. Per Mei 2006, dana perbankan yang 'menganggur' tidak disalurkan ke sektor riil mencapai Rp 393 triliun, yang kemudian ditanam kembali di sektor finansial yaitu di SBI, SUN, dan instrumen lain.
Begitu menariknya BI rate yang kini berada di level 12,25 persen bahkan juga telah mendorong BPD-BPD yang memegang dana pemerintah daerah untuk ikut bermain di SBI. Per Maret 2006, kepemilikan BPD di SBI mencapai Rp 70 triliun.
Dampak dari semua itu adalah mengerikan. Saat sektor finansial dengan konsep bunga berbunga terus menuntut imbalan yang meningkat menuju tak terbatas, sektor riil justru menuju titik nadir. Biaya operasi moneter menjadi sangat signifikan dan terus meningkat seiring kenaikan suku bunga. Biaya pengendalian moneter pada 2005 adalah Rp 18 triliun dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 20 triliun pada tahun 2006 ini.
Dengan demikian, jumlah uang beredar semakin tinggi, yang kemudian ditransmisikan pada kenaikan harga aset, inflasi melambung, dan terciptalah bubble economy. Ketika senjang antara sektor riil dan moneter membesar, pada titik tertentu dipastikan akan meledak dan berakhir dengan krisis ekonomi.
Tingginya suku bunga ditengarai merupakan salah satu strategi BI untuk menarik modal asing sehingga nilai tukar menjadi tampak stabil bahkan menguat. Dengan BI rate bertengger di atas 12 persen dan ekspektasi inflasi 8 persen, Indonesia menawarkan suku bunga riil lebih dari 4 persen, salah satu yang tertinggi di dunia.
Amerika Serikat saja yang sejak Juni 2004 telah 17 kali menaikkan the fed fund rate yang kini bertengger di 5,25 persen, hanya mampu menawarkan suku bunga riil tidak lebih dari 1,75 persen. Tidak heran bila modal-modal asing menabrak SBI dan SUN dalam jumlah signifikan yang membuat nilai tukar rupiah menguat dan neraca pembayaran mengalami surplus.
Menuju Free-Interest Economy
Bunga adalah akar dari semua krisis finansial perekonomian modern. Penerapan bunga membuat output di sektor riil 'dipaksa' tumbuh sesuai tingkat yang diinginkan sektor finansial. Dengan demikian, penerapan bunga secara sistemik akan membuat upaya-upaya mendapatkan laba jangka pendek semakin marak sehingga mendorong eksploitasi sumber daya manusia dan alam secara berlebihan.
Dalam dunia modern, dampak bunga terhadap perekonomian dan lingkungan menjadi makin mengkhawatirkan. Ketika sistem bunga dikombinasikan dengan reserve fractional banking, maka efek inflasioner bunga bertemu dengan kemampuan sektor perbankan untuk menciptakan uang. Dampaknya adalah pertumbuhan uang beredar menuju tak terbatas. Dalam jangka panjang, perekonomian dengan sistem bunga dan fractional reserve banking selalu menemui masalah pertumbuhan uang beredar secara berlebihan.
Sistem keuangan modern juga sangat labil karena secara sistemik memfasilitasi kegiatan spekulasi. Pasar uang telah menjadi arena perjudian legal terbesar di dunia. Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods pada 1973, senjang antara perdagangan uang dan perdagangan barang semakin melebar. Menurut BIS, pada April 2004, rata-rata volume transaksi harian valas mencapai 1,9 triliun dolar AS yang terdiri dari transaksi spot 0,6 triliun dolar AS, dan transaksi derivatif 1,3 triliun dolar AS.
Untuk menghindarkan perekonomian dari instabilitas, kita membutuhkan reformasi total dalan sistem keuangan modern yang bermuara pada penghapusan sistem bunga, fractional reserve banking, dan kegiatan spekulasi di pasar uang.
Dalam konteks inilah, menjadi penting bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk selalu mengarahkan kegiatan sektor keuangan sebagai pendukung sektor riil. Sektor riil-lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan, bukan sebaliknya. Di sinilah sistem keuangan Islam yang selalu terkait dengan sektor riil, tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi model solutif masalah perekonomian bangsa.
Oleh: Yusuf Wibisono (Staf Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI)
Republika Online