Bank Syariah Pasca UU 21

Perlahan, infrastruktur keuangan syariah mulai dilengkapi. Setelah Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) diundangkan pada April 2008, dalam rentang yang tidak begitu lama, Selasa 17 Juni 208 DPR RI mengesahkan RUU bank syariah menjadi UU setelah melalui proses panjang nan berliku. Dari 10 fraksi di DPR, hanya satu fraksi yang menolak pengesahan UU ini, Partai Damai Sejahtera (PDS).

Kehadiran UU No 21 tahun 2008 ini membawa angin segar bagi industri perbankan syariah. Beberapa kalangan memprediksi UU ini akan melahirkan lompatan-lompatan akselerasi perkembangan bank syariah. Optimisme banyak kalangan ini cukup beralasan. Dalam catatan panjang perjalanan bank syariah di Indonesia, lahirnya UU dan fatwa yang menjadi landas pijak bank syariah menimbulkan dampak signifikan. Setelah UU No. 7 tahun 1992, berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan 9 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Selanjutnya pasca keluarnya UU No. 10 tahun 1998, terjadi perkembangan jaringan bank syariah yang cukup pesat pada tahun 1999. Terdapat 2 bank umum syariah, yaitu BMI dan BSM, 1 unit usaha syariah (UUS), 40 kantor dan 78 BPRS. Pada 2000, UUS bertambah menjadi 3 buah dengan 62 kantor dan berkembang menjadi 6 UUS dengan 127 kantor dan 83 BPRS pada 2002. Terakhir, setelah keluarnya fatwa MUI tentang bunga bank haram tahun 2003, terjadi peningkatan DPK di atas 100% pada tahun 2004.

Saat ini, bank syariah telah memiliki empat BUS: BMI, BSM, BSMI dan BRI Syariah (sejak November 2008 BRI Syariah di-spin-off menjadi BUS), 28 UUS, dan 128 BPRS. Total aset bank syariah per November 2008 sebagaimana dilansir Bank Indonesia sebesar 47,178 Triliun. Sementara market share bank syariah masih bertengger di angka 2.01%. Jauh dari target Bank Indonesia 5.18% pada akhir 2008. Target optimistis ini boleh saja tidak mungkin tercapai, tapi setidaknya, dengan berkaca pada catatan perjalangan panjang di atas, payung hukum ini secara fantastis akan menstimulus terjadinya acceleration quantum (lompatan akselerasi) bank syariah di masa mendatang. Beberapa pasal dalam undang-undang yang baru ini akan memperkuat tesis itu. Dalam pasal 68 ayat 1 diatur, bank konvensional yang memiliki UUS dengan nilai aset mencapai minimal 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka bank konvensional tersebut harus melakukan pemisahan (spin-off) UUS menjadi BUS.

Sementara pasal 5 ayat 7 menetapkan, BUS dan BPRS tidak dapat dikonversi menjadi  bank konvensional. Sebaliknya bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah. Selanjutnya, pada pasal 17 ayat 2 dikatakan bahwa jika terjadi  merger atau akuisisi antara bank syariah dengan bank lainnya, maka harus menjadi bank syariah. Hal lain yang bisa mendorong akselerasi bank syariah dari sisi poin undang-undang adalah dimungkinkannya warga asing atau lembaga asing yang tergabung dalam kemitraan badan hukum Indonesia untuk mendirikan atau memiliki bank umum syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Dengan demikian, dana-dana investor asing khususnya Timur Tengah yang selama ini harus “mangkir” di Malaysia dan Singapura karena alasan payung hukum dapat ditarik ke Indonesia.

Selain faktor hukum, kondisi ekonomi makro dan geliat industri perbankan syariah juga memainkan peran penting dalam mempercepat naiknya grafik posisi bank syariah di Indonesia. Dari sisi industri, BI memproyeksikan akan terdapat 10 Bank Umum Syariah (BUS) pada 2009. Hingga akhir tahun 2009, otoritas moneter ini memproyeksi berdirinya 5 hingga 6 BUS dari 4 BUS yang ada saat ini. (Republika, 11/01/08).  Skenario penambahan jumlah BUS ini melalui rencana akuisisi sejumlah bank konvensional yang memiliki UUS. Setelah diakuisisi, mereka akan memisahkan UUS dan menggabungkan ke bank hasil akuisisi. Selanjutnya, bank tersebut akan dikonversi menjadi BUS. (Zuhdi: 2008)

Lain Bank Indonesia, lain pula analisis Pakar Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim. Ekonom dari Karim Business Consulting ini memprediksikan 12 BUS pada tahun 2009. Dengan asumsi ini, berarti akan ada penambahan sekitar 8 BUS pada 2009. Rinciannya, dua BUS dari BUMN, empat BUS konversi dari pihak swasta, satu BUS baru milik Timur Tengah, serta dua BUS konversi milik Timur Tengah.

Dari perspektif kondisi makro ekonomi, banyak kalangan menilai krisis keuangan global menjadi salah satu momentum kebangkitan bank syariah. Islamic Micro Banking akan mendapat momentumnya seiring dampak krisis global yang lebih dirasakan nasabah-nasabah korporat besar. Lembaga keuangan mikro syariah, seperti BPRS dan BMT akan lebih terintegrasi ke dalam sistem perbankan syariah. Ini karena salah satu cara menghadapi krisis global adalah dengan memperkuat fundamental ekonomi: sektor riil. Dan bank syariah telah terbukti memainkan peran penting itu.

Khusus 2009, kegiatan kampanye menyambut pesta demokrasi yang melibatkan uang bernominal besar menjadi potensi tersendiri bagi peningkatan aset bank syariah. Meningkatnya kebutuhan masyarakat akibat naiknya inflasi musiman yang didorong naiknya jumlah uang beredar (money supply) di pesta demokrasi mendorong meningkatnya permintaan pembiayaan konsumtif sejenis kartu kredit syariah dan lain-lain. (Karim: 2008)

Berdasarkan indikator-indikator di atas, diproyeksikan pertumbuhan industri perbankan syariah di tahun-tahun mendatang masih akan mengalami high-growth (pertumbuhan tinggi) dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga),  jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah,  serta jumlah sektor perekonomian yang dibiayai.

Tantangan Bank Syariah
Kendati prospek bank syariah di masa depan cukup menjanjikan terutama setelah dikeluarkannya UU No 21 tahun 2008.  Bank syariah menghadapi sejumlah tantangan krusial dan sophisticated. Tantangan-tantangan itu setidaknya bisa diurai dari dua benang merah: internal dan eksternal. Dari internal, tantangan paling krusial adalah masalah SDM. Saat ini lebih dari 70% SDM bank syariah berlatarbelakang bank konvensional yang "miskin" pengetahuan syariah. Tak pelak, banyak praktek transaksi di bank syariah yang kerap mengundang tuding dan kritik berbagai pihak. Produk-produk yang ditawarkan terkesan rigid dan tidak inovatif. Aspek-aspek shariah compliant seringkali menuai tanda tanya. Pelayanan dan kebijakan manajerial dituding lambat dan tidak populis. Tak pelak, sejumlah kalangan menganggap bank syariah tak ubahnya bank konvensional yang hanya dimodifikasi tanpa menyentuh substansi. Tidak hanya itu, semakin besarnya kapasitas ekspansi BUS dan UUS juga menuntut penambahan kuantitas SDM yang memadai. Menurut Bisnis Indonesia (22/05/08) Bank Syariah membutuhkan tambahan SDM sebanyak 14.000 orang pada akhir tahun 2008. Mampukah Bank Syariah memenuhinya? Waktu yang akan menjawab. 

Tantangan lainnya adalah keterbatasan jaringan dan permodalan. Keterbatasan ini menyebabkan upaya akselerasi harus tertatih-tatih. Tidak sedikit dari umat Islam yang tetap menjadi nasabah bank konvensional dengan alasan layanan bank syariah tidak terjangkau. Ironis memang, tapi dengan hanya total aset tidak lebih dari 47,178 triliun sulit bagi bank syariah untuk melakukan ekspansi secara kolosal. Kebijakan pembukaan office channeling bank syariah yang dimulai bulan Maret 2006 lalu awalnya menerbitkan harapan baru untuk meng-cover keterbatasan jaringan bank syariah. Sayang, kebijakan office channeling ini tidak diimbangi dengan program edukasi dan sosialisasi, sehingga terjadi kesenjangan antara supply dari sisi bank dan demand dari sisi masyarakat. Perannya pun jadi mandul. Padahal jika bank-bank syariah melakukan edukasi secara masif dan intensif, pertumbuhan  aset perbankan syariah bisa sangat signifikan.

Pada sisi eksternal, tantangan terberat bank syariah adalah upaya merubah paradigma masyarakat yang selama ini sudah akrab dengan bank konvensional. Apalagi selama berpuluh-puluh tahun, para tokoh agama seakan memberikan legitimasi dan tidak mempermasalahkan keberadaan bank konvensional. Sampai keluarnya fatwa MUI pun, kalangan pakar hukum islam ini masih "sepakat untuk tidak sepakat" dengan keharaman bunga bank. Kondisi ini menyebabkan umat berada dalam titik gamang. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa kehadiran bank syariah hanyalah trend pasar yang biasa terjadi dalam dunia bisnis: sebuah strategi untuk meraup untung dan memikat masyarakat dengan berlindung di bawah nama besar “Syariah”. Meminjam istilah Umar Vadillo, Kapitalisme Religius. Kondisi ini diperparah dengan sosialisasi dan edukasi yang belum bertaji sehingga keberadaan bank syariah kerap dianggap ’asing’ hatta di kalangan umat Islam sendiri. Saat ini, sosialisasi yang digencarkan masih berpusat pada ranah kalangan “berpendidikan”, belum membumi pada level gross root.

Ala kulli hal, perjalanan bank syariah masih panjang dan berliku. Keberadaan UU tidak cukup membuat fundamental bank syariah kuat dan berkembang. Kekuatan SDM adalah kunci dari arah dan masa depan bank syariah. Saat ini, bank syariah memerlukan SDM-SDM yang holistik-integratif: memiliki kemampuan yang memukau di bidang keuangan tetapi juga tidak “rikuh” dengan teks-teks fiqh klasik. Dengan SDM yang tangguh, masalah inovasi produk, shariah compliant, edukasi dan sosialisasi akan teratasi. Bahkan dengan SDM yang qualified, keterbatasan permodalan dan jaringan pun akan mudah dicarikan jalan keluarnya. Wallahu a’lam.
(Artikel dalam buku Ekonomi Islam Substantif, penulis Mahbubi Ali)

Klik suka di bawah ini ya