Pajak kini menjadi isu politik yang sangat sensitif. Karena kekecewaan yang menumpuk terhadap pengelolaan (pemungutan/pendayagunaan) pajak, muncullah gerakan moral yang sangat serius dampaknya, boikot pajak. Jika tidak ditangani dengan cepat, gerakan itu bisa jadi bola liar yang mengancam legitimasi pemerintah, bahkan eksistensi negara itu sendiri. Pajak adalah darah kehidupan (life blood) negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Naudzubillah.
Menurut fikih Islam, definisi pajak adalah sedekah wajib yang dipungut pemerintah atas warga negara. Disebut sedekah karena tidak ada imbalan langsung (iwadl mubasyir) yang diterima si pembayar. Wajib dalam arti bisa dipaksakan demi kepentingan umum (mashalih ammah).
Mengingat betapa mutlaknya peranan pajak bagi eksistensi negara dan kemaslahatan rakyat (jika dikelola secara benar), Islam memberi perhatian super serius melalui ajaran utamanya (rukun Islam), yakni zakat. Sepanjang sejarah negara, pajak telah berkembang (berevolusi) melalui tiga konsep
makna. Pertama, pajak sebagai upeti (dharibah) yang harus dibayar oleh rakyat semata-mata karena mereka adalah hamba yang harus melayani kepentingan sang penguasa sebagai tuannya, sang penguasa. Pajak sebagai upeti ini berjalan berabad-abad pada tahap awal sejarah kekuasaan para raja feodal di seluruh permukaan bumi. Para raja mengklaim dirinya sebagai titisan dewa penguasa jagat raya. Pada tahap ini, pajak didefinisikan sebagai bukti kesetiaan rakyat sebagai abdi dalem kepada sang raja sebagai ngar-so dalem, meminjam istilah Jawa.
Tidak ada kaidah moral ataupun undang-undang yang mengatur bagaimana dan untuk siapa seharusnya uang pajak dikelola. Juga, belum dikenal konsep korupsi sebagai kejahatan penguasa atau pejabat atas keuangan negara. Era upeti ini adalah era feodalisme raja-raja absolut.
Kedua, pajak dikonsepsikan sebagai imbal jasa (jizyah) dari rakyat kepada penguasanya. Konsep ini muncul setelah rakyat pembayar pajak (tax payers) mulai menyadari bahwa raja/penguasa bukanlah dewa yang boleh memperlakukan rakyat semaunya. Penguasa adalah manusia juga yang memegang kuasa karena mandat dari rakyatnya. Baik rakyat pembayar pajak maupun penguasa pemungut pajak kurang lebih adalah manusia yang setara. Maka, jika penguasa memungut pajak, tidak boleh lagi cuma-cuma. Pajak harus diimbangi dengan pelayanan kepada rakyat yang membayarnya.
Konsep kedua ini jelas lebih maju dan terasa lebih beradab dibandingkan konsep pertama. Tetapi, ada cacat bawaan dan struktural yang dapat memperlebar kesenjangan antara rakyat yang kuat di satu pihak dan rakyat lemah-miskin di lain pihak. Karena konsepnya imbal jasa (jizyah), pembayar pajak besar merasa berhak mendapatkan pelayanan besar dari negara; sementara pembayar pajak kecil hanya berhak atas pelayanan kecil; dan rakyat miskin yang tidak mampu membayar pajak harus nerimo dengan sisa pelayanan (tricle down effect), jika masih ada.
Era ini adalah era kita abad modern kapitalistik dewasa ini, era demokrasi semu dan elitis,demokrasi pasar bebas tanpa nurani; saat kemakmuran melimpah ruah hanya untuk sebagian kecil orang; sebagian terbesar umat manusia justru semakin tenggelam dalam kemiskinan dan keterhinaan paripurna. Negara melayani yang kuat dan kaya saja.
Jika ingin menegakkan keadilan, seperti dalam Pancasila, tidak ada pilihan lain bagi kita selain yang ketiga, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta langit dan bumi, untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua. Islam menyebut pajak dengan makna zakat, yang secara harfiah berarti kesucian dan pertumbuhan. Artinya, dengan pajak sebagai zakat, kita menyucikan hati kita dari kedengkian sesama, sekaligus mengembangkan kemakmuran dan keadilan untuk semua.
Artinya, pajak bukan lagi sebagai persembahan (upeti) ataupun imbal jasa (jizyah) kepada penguasa, melainkan sebagai derma pembebasan untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua, terutama mereka yang lemah, miskin, dan papa (Attaubat 60). Dalam konsep ini, setiap rupiah dari uang pajak adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pejabat negara sebagai pelayan Allah dan rakyat (amil) dengan penuh rasa tanggung jawab. Mereka yang menyalahgunakan uang pajak, bertanggung jawab kepada rakyat di dunia dan Allah di akhirat kelak.
Oleh: Masdar Farid Masudi, Intelektual NU
Sumber: Republika Online