Positivisme dan Sekularisme, itulah akar permasalahan yang menyebabkan munculnya beberapa paradigma baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, salah satunya adalah ilmu Ekonomi Islam. Positivisme menganggap bahwa seluruh realita yang ada merupakan objek yang hanya dapat diukur nilai kebenarannya menggunakan logika sebab-akibat (kausalitas). Oleh karena itu, ilmu ekonomi konvesional yang berdiri di atas landasan filosofis ini akan menganggap dirinya bebas nilai (value free) sehingga ilmuwan harus menjaga jarak dari objek yang diamatinya. Dengan filosofi ini, maka secara tidak langsung ilmu ekonomi konvensional telah menjelma menjadi "anjing penjaga" bagi kepentingan para kapitalis.
Sekularisme merupakan pemikiran yang berupaya untuk memisahkan agama dari kehidupan manusia. Dengan demikian ilmu pengetahuan pun tak luput dari usaha sekularisasi ini. Sumber kebenaran hanyalah ilmu belaka yang akhirnya mengendalikan manusia sendiri, sedangkan wahyu Tuhan tidak lagi dipakai sebagai petunjuk hidup. Hal inilah yang mengakibatkan berbagai destruksi kehidupan manusia dan menimbulkan banyak ketimpangan. Keadaan ini mendorong para intelektual Islam beramai-ramai mendekonstruksi “kecacatan” dalam ekonomi konvensional, untuk kemudian dilanjutkan dengan mencoba memberi tawaran atau solusi yang bertanggung jawab melalui Islam. Dengan bersumber dari agama yang diyakini memberikan pedoman hidup yang sempurna dan sesuai dengan perkembangan zaman ini, maka sudah selayaknya ilmu Ekonomi Islam berperan sebagai sebuah jawaban realitas ekonomi yang telah terhegemoni oleh kapitalisme.
Pendefinisian ilmu Ekonomi Islam oleh para intelektual Islam telah bersepakat bahwa ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam, lalu jika begitu akan muncul pertanyaan yang dipakai mazhab apa, tafsirnya milik siapa, dan pertanyaan sejenisnya. Penulis tidak akan membahas masalah tersebut, karena ilmu ekonomi berbeda dengan ilmu fiqih dan pembahasan mengenai hal itu tidak akan melahirkan sebuah jawaban yang mencerdaskan. Menurut penulis, ilmu Ekonomi Islam berdiri di atas paradigma yang khas. Paradigma itu mencakup Al-Qur'an dan As-Sunnah beserta sebab-sebab turunannya ditambah dengan rasionalitas dan penelitian empiris yang terus bergerak dinamis dari teks ke konteks atau sebaliknya dari konteks ke teks. Paradigma itu tentu saja harus dalam koridor maqashidus syariah.
Mengenai paradigma atau landasan epistemologis Ekonomi Islam sudah jelas dan kita tidak perlu meragukannya lagi. Tetapi ada kesulitan yang dialami ketika kita mencoba merumuskan teori Ekonomi Islam. Hal inilah yang sering dikritik, bahwa mengapa jika paradigmanya dengan asumsi-asumsi ekonomi yang berbeda tetapi teorinya masih sama. Hal ini tentu saja wajar –bukan sekedar apologi- karena ilmu Ekonomi Islam baru mulai menggeliat kembali beberapa tahun terakhir, sedangkan ekonomi konvensional telah dan terus berkembang beberapa abad yang lalu hingga saat ini. Tentunya ini dapat menjadi tantangan dan peluang bagi intelektual muda.
Menariknya, Kuntowijoyo malah memberi semangat agar para ilmuwan Islam tidak minder (tidak rendah diri) jika dikatakan tidak ilmiah, karena ukuran ilmiah-objektif positivisme ilmu-ilmu sekular nyata-nyata telah gagal. Tentu saja kita setuju dengan himbauan itu karena kita sedang membangun sebuah keilmuan bahkan peradaban yang lebih baik di tengah-tengah hegemoni Barat. Toh peradaban Barat sendiri merupakan kepanjangan tangan dari masa kejayaan Islam dan ilmuwan Barat juga banyak yang mengambil pemikiran para cendekiawan Muslim seperti: Ibnu Rusyd, Al-Ghazalli, Ibnu Sina, Abu Yusuf, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah dan lain sebagainya. Akhirnya masa depan Ekonomi Islam sendiri tentu saja tergantung pada perjuangan dan kerja keras para intelektual muslim yang pantang menyerah.
Contoh paling utama dari turunan paradigma ilmu Ekonomi Islam adalah bebasnya ekonomi dari system riba atau instrumen bunga eksploitatif yang digantikan dengan sistem bagi hasil. Dapat kita ilustrasikan secara sederhana begini: Ketika kita meminjam kredit dari bank, maka sesuai dengan kesepakatan perjanjian, kita harus membayar pokok pinjaman beserta bunganya pada waktu jatuh tempo. Bunga inilah yang dituduh bersifat ribawi karena persentasenya telah ditetapkan di awal, tidak memperhatikan apakah usaha kita mendapat laba atau menderita rugi. Berbeda dengan sistem bagi hasil, yang harus dibayarkan adalah pokok pinjaman ditambah sejumlah bagi hasil, bila usaha kita mendapat untung dan jika usaha kita mengalami kerugian, maka kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan persentase waktu akad. Oleh sebab itu dinamakan bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing) dimana shahibul maal (kreditur) dan mudharib (debitur) sama-sama berbagi resiko sesuai dengan kondisi riil yang dialami.
Beralih ke wilayah empiris, Ilmu Ekonomi Islam telah memberikan kontribusi yang nyata, mulai dari didirikannya program studi Ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi sebagai proyek pencerdasan umat, hingga munculnya BMT, bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pasar modal syariah sebagai upaya peningkatan taraf perekonomian umat sekaligus sebagai counter terhadap kapitalisme. Dengan begitu, kita dapat melihat adanya semangat profetis atau kenabian dalam tubuh ilmu Ekonomi Islam. Segera melakukan humanisasi, menyadarkan umat akan bahaya hegemoni ilmu ekonomi konvensional yang melahirkan berbagai bentuk patologi sosial; melakukan liberasi - menawarkan ilmu Ekonomi Islam sebagai upaya mentranformasikan umat menuju transendensi – menghadirkan nilai-nilai keilahiahan, sebagai semangat integralisasi realitas dengan teks (wahyu). Tugas ini merupakan salah satu upaya untuk melakukan gerakan transformasi sosial yang membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Umat Islam sudah semestinya memberikan apresiasi terhadap upaya mulia ini. Upaya untuk menggeser kesadaran ideologis umat menuju kesadaran ilmu.